Alhamdulillah.
Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan
sahabatnya.
Sejarah
masuknya agama Islam ke negeri kita tercinta, Indonesia, sungguhlah unik dan
menakjubkan. Betapa tidak, konon, nenek moyang kita beragama Hindu dan Buddha
serta berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha pula. Walau
demikian, semua itu tidak dapat menghadang laju pergerakan para penyebar syiar
Islam. Kisah sejarah ini semakin unik karena nenek moyang kita memeluk agama
Islam dengan sukarela, tanpa paksaan dan iming-iming materi. Keputusan berani
mereka ini tentu berisiko berat karena mereka pastilah berhadapan dengan para
penguasa dan pemuka masyarakat mereka. Coba Anda bayangkan, kira-kira bagaimana
sikap para pendeta, biksu, dan pemuka agama Hindu dan Buddha tatkala mengetahui
pilihan masyarakatnya?
Tahukah
Anda, siapakah tokoh-tokoh penyebar agama Islam di bumi Nusantara ini? Apakah
profesi mereka yang berhasil mengislamkan nenek moyang kita? Konon, mereka
adalah para pedagang muslim yang singgah di berbagai pelabuhan Nusantara, lalu
mereka berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Sekarang, coba Anda bandingkan
dengan kemajuan dakwah penyebaran syiar Islam di zaman kini. Dengan berbagai kemudahan
dan fasilitas yang ada, para juru dakwah zaman sekarang belum kuasa mengukirkan
sejarah segemilang yang ditorehkan para pedagang kala itu.
Melalui
tulisan sederhana ini, saya mengajak Anda mengenal sejauh manakah keluhuran
perilaku pedagang muslim sehingga begitu memikat simpati masyarakat. Dengan
mengetahui berbagai etika dan adab pengusaha muslim sejati, diharapkan Anda
dapat merintis kembali sejarah emas tersebut.
Etika
pertama: Ketulusan niat
Niat
adalah dasar dan pembangkit segala bentuk ucapan dan tindakan. Bila niat Anda
tulus dan luhur, niscaya ketulusan niat ini terpancar dalam ucapan dan tindakan
Anda. Seorang pedagang muslim menjalankan perniagaannya dalam rangka menjaga
kehormatan dirinya sehingga (dia) tidak merendahkan diri dengan meminta-minta.
Dengan berniaga, keluhuran jiwa seorang muslim terbukti dengan tercukupinya
kebutuhan dan nafkah setiap orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.
“Andai salah seorang di antara kalian pergi mencari kayu bakar dan
memanggulnya di atas punggungnya, sehingga dengan itu ia dapat bersedekah dan
mencukupi kebutuhannya (tidak meminta-minta kepada) orang lain, itu lebih baik
daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik orang itu memberinya atau
menolak permintaannya, karena sesungguhnya tangan yang (berada) di atas lebih
utama daripada tangan yang (berada) di bawah. Mulailah (nafkahmu dari) orangorang
yang menjadi tanggung jawabmu.” [1]
Etika
kedua: Tangguh dan pantang menyerah
Di
antara kepribadian pedagang muslim yang membedakannya dari selainnya ialah
ketangguhan mental dan jiwanya. Berbagai aral yang melintang di jalan hidupnya
tidak menjadikan semangatnya luntur. Kegagalan dan tantangan, yang kadang
menghiasi perjuangannya, tidak menjadikannya lemah dan kendur semangat. Dia
akan selalu optimis dan menatap masa depan dengan penuh kepercayaan.
Semboyannya hanya satu, “Selama hayat di kandung badan maka keberhasilan dan
rezekinya pastilah mengalir.” Semboyan ini bukanlah diperoleh dari sesuatu yang
hampa, melainkan diperoleh dari janji Allah dan Rasul-Nya.
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ
“Dan apa pun nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allahlah
(datangnya).” (QS. An-Nahl:53)
Etika
ketiga: Tawakal
Keimanan
Anda–sebagai pengusaha muslim–kepada Allah tidak menjadikan Anda bertopang dagu
dan pasrah dengan setiap kenyataan. Keimanan terus mendorong Anda untuk
berusaha tanpa kenal lelah. Walau demikian, Anda menyerahkan hasil dari usaha
keras Anda kepada kehendak dan karunia Allah.
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضاً
“Kamilah yang menentukan, di antara mereka, penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian
lainnya beberapa derajat, agar mereka dapat mengambil manfaat satu sama lain.”
(QS. Az-Zukhruf:32)
Betapa
indah gambaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
tawakal berikut ini, “Andai engkau bertawakal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, niscaya Allah memberimu rezeki sebagaimana Allah memberi
rezeki kepada burung yang di pagi hari meninggalkan sarangnya dan ketika senja
hari tiba, ia telah kenyang.” [2]
Coba
Anda cermati burung-burung yang ada di sekitar rumah Anda. Di pagi hari, adakah
burung yang tidak meninggalkan sarangnya? Bila ada, maka dapat dipastikan itu
adalah burung yang sedang menderita sakit. Dengan demikian, tawakal yang benar
tidak menyebabkan Anda menjadi manusia pemalas. Akan tetapi, tawakal menjadikan
Anda dapat menatap hari esok dengan penuh percaya diri tanpa ada kekhawatiran
sedikit pun.
Etika
keempat: Berniaga namun tidak lalai dari mengingat Allah ta’ala
Di
antara karakter pengusaha muslim yang sangat indah dan membedakan Anda dari
pengusaha nonmuslim ialah bahwa Anda senantiasa ingat kepada Alloh ta’ala.
Dengan demikian, Anda senantiasa menjalankan kewajiban ibadah kepada Allah tanpa
terganggu oleh berbagai aktivitas perniagaan Anda.
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak terlalaikan dari mengingat Allah, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat, (disebabkan) oleh perniagaan dan tidak pula oleh
jual beli. Mereka takut kepada suatu hari yang, di hari itu, hati dan
penglihatan berguncang.” (QS. An-Nur:37)
Anda
senantiasa sadar bahwa Allah ta’ala mengetahui setiap perbuatan dan ucapan
Anda. Anda pun percaya bahwa setiap ucapan dan perbuatan Anda pastilah mendapat
balasan yang setimpal. Kesadaran ini menjadikan Anda waspada dan tidak
menghalalkan segala macam cara dalam mencari keuntungan niaga.
“Jangan pernah engkau merasa (seluruh) rezekimu terlambat datang,
karena sesungguhnya tiada seorang pun hamba yang mati, hingga telah datang
kepadanya rezeki terakhir yang ditentukan untuknya. Oleh karena itu,
bertakwalah kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki.
Tempuhlah yang halal dan tinggalkan yang haram.” [3]
Anda
berlaku santun dalam menjalankan perniagaan, karena Anda beriman bahwa harta
kekayaan dunia bukanlah standar keberhasilan, baik di dunia atau akhirat. Harta
kekayaan hanyalah titipan dan bahkan ujian, adakah Anda bersyukur atau
sebaliknya, kufur.
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah bahwa harta benda dan anak keturunanmu hanyalah cobaan,
dan sesungguhnya Allah, di sisi-Nya terdapat pahala yang agung.”
(QS. Al-Anfal:28)
Anda
percaya bahwa keberhasilan hidup tidaklah diukur dari banyak atau sedikitnya
kekayaan Anda. Terlalu rendah dan hina bila kesuksesan hidup diukur dengan
materi.
“Andai dunia beserta isinya adalah seberat sayap nyamuk, niscaya
Allah tidak pernah memberi kesempatan kepada orang kafir untuk meneguk walau
hanya seteguk air minum.” [4]
Etika
kelima: Jujur
Syariat
Islam mengajarkan untuk selalu berbuat jujur dalam segala keadaan. Anda berlaku
jujur walau–secara lahiriah–kejujuran Anda dapat menimbulkan kerugian pada diri
Anda sendiri.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقَيراً فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah, meski terhadap diri kalian sendiri atau
terharap ibu-bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya atau pun miskin, Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Dengan demikian, janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, sesungguhnya Allh itu Maha Mengetahui
segala perilaku yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisa’:135)
“Wahai para pedagang!” Spontan mereka menegakkan leher
dan pandangan guna memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau bersabda, “Sesungguhnya, kelak di hari kiamat, para pedagang akan
dibangkitkan sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa
kepada Allah, berbuat baik, dan berlaku jujur.” [5]
Al-Qadhi
‘Iyadh rahimahullah berkata, “Kebiasaan para pedagang
adalah menipu dalam perniagaan dan berambisi untuk menjual barang dagangannya
dengan segala cara yang dapat mereka lakukan. Tanpa terkecuali: dengan sumpah
palsu dan yang serupa. Karenanya, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memvonis
mereka sebagai orang-orang jahat (fajir). Beliau hanya mengecualikan–dari vonis
ini–para pedagang yang senantiasa menghindari hal-hal yang diharamkan,
senantiasa memenuhi sumpah, dan jujur dalam setiap ucapannya.” [6]
Etika
keenam: Senantiasa memudahkan orang lain
Perniagaan
dan keuntungan bukanlah citacita akhir Anda dari berniaga. Keuntungan hanyalah
sarana untuk memudahkan urusan dunia dan akhirat Anda. Wajar bila Anda selalu
bersikap ringan tangan dan rendah hati pada setiap urusan, termasuk ketika
sedang berniaga.
Dari
sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semoga Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa
memberikan kemudahan ketika ia menjual, ketika membeli, dan ketika menagih.“
[7]
Sikap
Anda ini merupakan cerminan nyata dari keimanan Anda bahwa kehidupan dunia ini
hanyalah sesaat, dan selanjutnya–cepat atau lambat–Anda pasti berpindah ke alam
akhirat. Karenanya, Anda tak kenal lelah untuk terus-menerus menabur
benih-benih kehidupan akhirat semasa hidup di dunia fana ini.
Pada
suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita,
“(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang
hamba-Nya yang pernah Dia beri harta kekayaan, kemudian Allah bertanya
kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?’ (Dan mereka tidak dapat
menyembunyikan suatu kejadian pun dari Allah)[8]. Sang hamba menjawab, ‘Wahai
Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, aku berjual beli
dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku
meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang
tidak mampu.’ Kemudian, Allah ta’ala berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk
melakukan ini daripada engkau. Mudahkanlah hamba-Ku ini!’” [9]
Tidakkah
Anda menjadi tergiur mendengar kisah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas? Semasa di dunia, perniagaan Anda
berjalan lancar, harta melimpah, dan teryata di akhirat, kekayaan Anda
mengantarkan Anda ke pintu surga ….
Etika
ketujuh: Membelanjakan harta di jalan yang benar
Manisnya
kekayaan, mungkin saja menjadikan Anda lalai dan lupa daratan. Betapa tidak,
segala yang Anda inginkan dapat terwujud dengan mudah berkat kekayaan Anda yang
melimpah. Betapa sering Anda bisa menahan diri dan bersikap bersahaja tatkala
kantong Anda cekak. Namun, hal itu begitu berat untuk Anda lakukan bila kantong
Anda tebal.
Keimanan
dan keluhuran jiwa Andalah yang dapat menahan Anda dari sikap angkuh dan
melampaui batas ketika Anda berhasil mencapai kekayaan. Yang demikian itu,
karena Anda sadar bahwa suatu saat nanti kekayaan itu harus Anda
pertanggungjawabkan, dari mana Anda memperolehnya dan untuk tujuan apa Anda
membelanjakannya.
“Kelak, pada hari kiamat, tidaklah kedua kaki seorang hamba dapat
bergeser hingga ia ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan; tentang
ilmunya, apa yang ia perbuat dengannya; tentang hartanya, dari mana dan ke mana
ia belanjakan; dan tentang badannya, untuk apa ia gunakan.” [10]
Penutup
Semoga
paparan singkat ini menggugah semangat dan iman Anda untuk memancarkan iman dan
keluhuran jiwa Anda dalam setiap sikap dan perbuatan Anda, tanpa terkecuali
ketika Anda berniaga. Betapa besar pahala yang diraih bila Anda berhasil
membuktikan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akhlak mulia dan
menempatkannya di atas segala kepentingan dunia. Wallahu ta’ala a’lam.
Sumber:
Majalah Al-Furqon, Edisi 07, Tahun ke-10, Shafar 1432 H/Januari
2011 M.
Artikel
www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
—
Catatan kaki:
Catatan kaki:
[1]
HR. Al-Bukhari, Kitab “Az-Zakah”, Bab “La Shadaqata illa ‘Anzhahri Ghina”,
hadis no. 1362; HR. Muslim, Kitab “Az-Zakah”, Bab “Bayan Anna Al-Yad Al-‘Ulya
Khairun min Al-Yad As-Sufla”, hadis no. 1033.
[2]
HR. Ahmad, 1:30.
[3]
HR. Ibnu Majah, Kitab “At-Tijarat”, Bab “Al-Iqtishad fi Thalabil Ma’isyah”,
hadis no. 2144; oleh Al-Albani rahimahullah hadis
ini dinyatakan sebagai hadis sahih di Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, 6:209, no. 2607.
[4]
HR. At-Tirmidzi, Kitab “Az-Zuhud”, Bab “Ma Ja’a fi Hawani Ad-Dunya ‘ala Allah
Ta’ala”, hadis no. 2320.
[5]
HR. At-Tirmidzi, Kitab “Al-Buyu’”, Bab “Ma Ja’a fi At-Tujjar wa Tasmiyatan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Iyyahum”, hadis no. 1210; hadis ini dinyatakan
sebagai hadis sahih oleh Al-Albanirahimahullah di Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 2984.
[6]
Dinukil oleh Al-Mubarakfuri dalam kitabnya, Tuhfatul Ahwadzi,
4:336.
[7]
HR. Al-Bukhari, Kitab “Al-Bai’”, Bab “As-Suhulah wa As-Samahah fi Asy-Syira’
wal Bai’”, hadis no. 1970.
[8]
QS. An-Nisa’:42.
[9]
HR. Al-Bukhari, Kitab “Al-Istiqradh”, Bab “Husnu At-Taqadhi”, hadis no. 2261;
HR. Muslim, Kitab “Al-Musaqah”, Bab “Fadhlu Inzhari Al-Mu’sir”, hadis no. 1560.
[10]
HR. At-Tirmidzi, Kitab “Shifatul Qiyamah wa Ar-Raqa’iq”, Bab “Al-Qiyamah”,
hadis no. 2416.
0 komentar:
Posting Komentar