Al
Imam an-Nawawi di dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” telah menulis satu bab,
yaitu “Keutamaan Fakir”. Ada sebagian peneliti kitab ini yang menggarisbawahi
bab tersebut, yakni berkaitan dengan ucapan imam an-Nawawi tentang keutamaan
fakir. Dia berkata, “Bagaimana seorang fakir memiliki keutamaan sedangkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam telah berlindung kepada Allah dari kefakiran?”
Jika
diteliti, ucapan Imam an-Nawawi tersebut ternyata lebih mendalam maknanya
daripada ucapan si peneliti. Imam an-Nawawi juga mengetahui bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari kefakiran. Hanya saja apa yang
beliau ucapkan adalah untuk menekankan dan mengingatkan pembaca tentang sesuatu
yang mungkin tidak diketahui, yaitu besarnya pahala ujian kefakiran ini, yang
disyariatkan untuk berlindung darinya. Beliau menyampaikan adab seorang fakir
yang terdiri dari dua hal:
Pertama;
Berlindung
kepada Allah subhanahu wata’ala darinya. Dan memohon kepada Allah agar
diberikan kecukupan dan penjagaan kehormatan, berdasarkan keumuman dalil yang
menunjukkan disyariatkannya berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala dari
bala’. Dan juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berlindung
kepada Allah dari kefakiran serta memerintahkan hal itu.
Beliau
mengucapkan,
“Ya
Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran, dan
aku berlindung kepada-Mu ari adzab kubur, tidak ada ilah yang hak disembah
selain Engkau.”
Beliau
juga bersabda,
“Berlindunglah
kalian kepada Allah dari kefakiran, kekurangan, kehinaan dan dari berbuat
zhalim atau dizhalimi.” (Silsilah shahihah, no 1445)
Ke
dua;
Rela
terhadap ketetapan Allah subhanahu wata’ala. Jika seorang muslim tertimpa
kemiskinan atau kekurangan harta maka hendaklah dia bersabar dan rela dengan
takdir Allah, karena tidaklah Allah subhanahu wata’ala menciptakan kefakiran
melainkan hanya untuk memilah dan menguji hamba. Allah subhanahu wata’ala
menjelaskan hal itu dengan sangat gamblang dalam firman-Nya, artinya,
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan, “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS.
2:155-156)
Coba
kita perhatikan bagaimana Allah subhanahu wata’ala telah menjadikan kekurangan
harta sebagai bagian dari bala’ yang dengannya Dia menguji manusia. Dan
bagaimana pula Allah subhanahu wata’ala menisbatkan ujian tersebut dari
diri-Nya dalam firman-Nya,“Sungguh Kami akan menguji
kalian.” Kemudian perlu kita renungkan pula bagaimana Allah
menyebut kekurangan harta sebagai musibah, bagaimana pula Dia memberikan kabar
gembira bagi orang-orang yang sabar menerima ujian kefakiran dan kekurangan tersebut.
Dia pun mengajarkan kepada mereka adab kesabaran berupa istirja’ (mengembalikan
urusan kepada Allah dengan mengucap inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un) dan
menjanjikan bagi mereka rahmat dan kesejahteraan.
Saudaraku,
para fakir! Anda diciptakan di muka bumi ini, namun kadang anda terhalang untuk
mendapatkan kelezatannya. Itu tidak lain untuk menguji kadar keimanan anda dan
agar diketahui bagaimana sikap anda, apakah anda menggerutu dan ingkar ataukah
anda bersikap rela dan sabar.
Ingatlah,
bahwa semua orang yang ada di muka bumi ini sedang diuji, orang fakir diuji
dengan kefakirannya dan orang kaya diuji dengan kekayaannya. Ketika Allah
subhanahu wata’ala memuliakan Nabi Sulaiman dengan harta dan kerajaan maka
beliau berkata, “Ini adalah keutamaan dari Rabbku, untuk
mengujiku apakah aku bersyukur ataukah justru kafir.” Maka
selayaknya seorang fakir juga berkata, “Ini adalah ketetapan Rabbku, untuk
mengujiku apakah aku bersabar ataukah ingkar.” Bahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ujian kefakiran itu lebih ringan
dibandingkan ujian kekayaan.
Saudaraku,
janganlah engkau bersedih hati dengan kefakiranmu, hadapi kefakiran dengan dua
hal; Berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala darinya, dan bersabar atasnya.
SEBAB-SEBAB
KEFAKIRAN
1.Lemah
dan Malas
Penyakit
lemah dan malas terkadang menjadi salah satu sebab dari kefakiran bagi seorang
muslim. Karena Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia dalam keadan
memiliki potensi untuk berusaha dan bekerja di muka bumi, serta diberi
kemampuan untuk berjuang mencari rizki. Oleh karenanya Dia berfirman, artinya,
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS.
90:4)
Susah
payah mengharuskan seseorang untuk berusaha, bekerja keras dan berjuang untuk
memperoleh rezeki dan keberkahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
banyak-banyak berlindung dari sikap malas dan lemah, beliau bersabda,
“Ya
Allah aku berlindung kepadamu dari kegelisahan dan kesedihan, dari sifat lemah
dan malas, dari sikap pengecut dan kikir, dari belitan hutang dan tekanan
orang.” (HR. al-Bukhari)
2.Dosa
dan Maksiat
Kefakiran
dan kemelaratan merupakan bagian dari musibah, yang terkadang disebabkan karena
kemaksiatan sebagaimana musibah yang lain pada umumnya. Allah subhanahu
wata’ala berfirman, artinya,
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. 42:30)
Ibu
Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguh nya kebaikan itu sinar
di wajah, cahaya di dalam hati, kekuatan di badan, keluasan dalam rezeki,
kecintaan di dalam hati setiap orang. Sedangkan keburukan adalah kemuraman di
wajah, kegelapan di hati, kelemahan di badan, mengurangi rezeki, dan penyebab
kebencian di hati orang.”
Maka
cukuplah kemaksiatan itu akan menghilangkan keberkahan, sebagaimana dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,“Sesungguhnya seorang hamba
terhalang dari rizki dengan sebab dosa yang dia kerjakan.” (HR.
Ahmad & Ibnu Majah)
Terhalangnya
seseorang dari rezeki mungkin dengan lenyapnya rezeki tersebut, atau berkurang
jumlahnya, atau tidak memberinya manfaat sehingga meskipun harta yang dimiliki
sangat banyak, namun justru menjadi bencana baginya.
Oleh
karena itu selayaknya masing-masing kita melihat seberapa banyak telah
melakukan dosa, menyia-nyiakan shalat, kurang takut kepada Allah subhanahu
wata’ala, tidak mau bersilaturrahim dengan kerabat, buruk pergaulan dengan
sesama muslim dan lain-lain. Kalau kita menyadari, maka sungguh tidak ada seorang
pun di antara kita yang lepas dari berbuat dosa, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seluruh bani Adam banyak
berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR.
at-Tirmidzi)
3.
Penjagaan Allah subhanahu wata’ala kepada Hamba
Allah
subhanahu wata’ala itu Maha Tahu, boleh jadi jika seorang hamba diberi
kekayaan, justru akan menjadikannya celaka di dunia dan di akhirat, atau akan
menjadikan dia sombong dan besar kepala yang berakibat pada turunnya siksa dan
bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala menjaga hamba-Nya yang beriman dari dunia ini, padahal Dia
mencintainya. Sebagaimana kalian semua berhati-hati (menjaga) orang sakit dalam
memberi makan dan minum, karena khawatir terhadapnya.” (HR.
Ahmad, terdapat di Shahih al-Jami no. 181)
4.Telah
Ditetapkan Memperoleh Kedudukan di Sisi Allah subhanahu wata’ala
Termasuk
besarnya kemuliaan dan kemurahan Allah subhanahu wata’ala adalah Dia memuliakan
hamba-Nya sebelum hamba itu melakukan suatu prestasi, dan Dia telah menulis
untuk seorang hamba satu kedudukan yang tidak mungkin hamba tersebut
mencapainya hanya dengan amal perbuatannya. Sehingga dia memberikan kebaikan
dengan cara mengujinya, baik itu dalam harta, anak, atau badannya. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
“Sesungguhnya
jika seorang hamba telah ditulis baginya satu kedudukan yang tidak mampu dia
capai dengan amalnya, maka Allah mengujinya di dalam harta atau badan atau
anaknya.” (HR. Abu Dawud)
Dan
kedudukan yang tinggi hanya dicapai oleh seorang mukmin. Maka ketika ada
seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Sungguh aku mencintaimu.” Maka Nabi menjawab,“Siapkan dirimu menjadi orang fakir.” Wallahu
a’lam.
Sumber:
Buku saku “Risalah ila Faqir” Dept. Ilmiyah Darul Wathan (Kholif
Mutaqin/alsofwah)
http://www.kajianislam.net/modules/wordpress/2009/01/28/di-balik-ujian-kefakiran/
0 komentar:
Posting Komentar