Assalamualaikum..
Ustadz ana mau tanya berkenaan tulisan berikut..
Banyak orang bertanya kenapa terkadang telinga bersuara “Nging” ?
Apa sebab musababnya, karena musababnya ada yang mengatakan dengan tidak
berpedoman, bertahayul dan sangkaan jelek terhadap hal itu?
Sesungguhnya suara “NGING” dalam telinga, itu ialah Sayyidina
Rosululloh Saw sedang menyebut orang yang telinganya bersuara “NGING” dalam
perkumpulan yang tertinggi (malail a’laa) dan supaya ia ingat pada sayyidina
rosululloh Saw dan membaca sholawat.-
Hal ini berdasarkan keterangan dari kitab ( AZIZI ‘ALA JAMI’USH
SHAGHIR)
“Jika telinga salah seorang kalian berdengung(nging) maka
hendaklah ia mengingat aku (Sayyidina Rosululloh Saw) dan membaca sholawat
kepadaku.Serta mengucapkan “DZAKARALLOHU MAN DZAKARONII BIKHOIR”; (artinya,
Alloh ta’ala akan mengingat yang mengingatku dengan kebaikan)”.
Imam Nawawi berkata : Sesungguhnya telinga itu berdengung Hanya
ketika datang berita baik ke Ruh.Bahwa sayyidina Rosululloh Saw telah
menyebutkan orang ( pemilik telinga yang berdengung”Nging”) tersebut dengan
kebaikan di al mala’al a’la (majlis tertinggi) di alam ruh.
[ Kitab AZIZI ‘ALAL JAMIUSH SHAGIR ]
Dari: Mandala Alim
Jawaban:
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Hadis yang anda sebutkan, redaksinya,
إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي وَلْيُصَلِّ
عَلَيَّ ، وَلْيَقُلْ : ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ
”Apabila telinga kalian berdenging, hendaklah dia mengingatku, dan
membaca shalawat untukku, dan hendaknya dia mengucapkan, ’Semoga Allah
mengingat orang yang mengingatkan dengan mendoakan kebaikan.”
Ada beberapa catatan tentang riwayat di atas,
Pertama, tentang status keabsahan hadis
Hadis ini disebutkan oleh al-Azizi dalam as-Siraj al-Munir atau
yang dikenal dengan Azizi ‘Ala Jami’ush Shaghir, al-Kharaithi dalam Makarim
al-Akkhlaq, al-Uqailli dalam al-Maudhu’at, dari jalur Muhammad bin Ubaidillah
dari Ma’mar, dari bapaknya.
Al-Bukhari mengatakan,
معمر وأبوه كلاهما منكر الحديث
”Ma’mar dan bapaknya, keduanya adalah munkarul hadis.” (al-Lali’
al-Mashnu’ah, 2/242).
Sementara ad-Daruquthni menyebut Muhammad bin Ubaidillah dengan
‘Matruk’ (perawi yang tidak diindahkan hadisnya).
Bahkan al-Uqaili mengomentari hadis ini dengan,
ليس له أصل، محمد بن عبيد الله بن أبي رافع قال البخاري: منكر الحديث
“Hadis yang tidak ada asalnya (tidak ada di kitab hadis).
Sementara Muhammad bin Ubaidillah dinyatakan oleh Bukhari sebagai Munkarul
hadis.” (ad-Dhu’afa’ 390, dinukil dari Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah, 6/138).
Kesimpulannya, hadis ini sama sekali tidak bisa dipertanggung
jawabkan, karena itu, tidak perlu dihiraukan, apalagi dijadikan acuan.
Kedua, dalam hadis di atas, sama sekali tidak ada keterangan bahwa
telinga berdenging adalah tanda panggilan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hadis di atas hanya berisi anjuran untuk membaca
shalawat ketika telinga berdenging. Karena itu, tambahan bahwa denging telinga
adalah panggilan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas tambahan
dusta, mengada-ada, terlalu berlebihan dan memalukan.
Terlebih, jika hadis tersebut adalah hadis palsu. Menyebarkan
pernyataan semacam ini tidak ubahnya menyebarkan kedustaan atas nama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَدّثَ عَنِّي بِحَديثٍ يُــرَي أَنّه كَذِبٌ فَهو أَحَدُ
الكَاذِبِين
“Barangsiapa yang menyampaikan suatu hadis dariku, sementara dia
menyangka bahwasanya hadis tersebut dusta maka dia termasuk diantara salah satu
pembohong.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya, 1/7).
Imam Ibn Hibban dalam Al-Majruhin (1/9) mengatakan: “Setiap orang
yang ragu terhadap hadis yang dia riwayatkan, apakah hadis tersebut shahih
ataukah dhaif, tercakup dalam ancaman hadis ini.” (Dinukil dari Ilmu Ushul
Bida’, hlm. 160).
Mari kita renungkan, jika orang yang menyampaikan sebuah hadis,
sementara dia ragu terhadap status hadis tersebut, shahih ataukah dhaif, dan
dia tetap sampaikan hadis itu tanpa memberikan keterangan statusnya maka orang
semacam ini termasuk dalam ancaman, disebutb sebagai pendusta.
Dalam kasus ini, orang membawakan suatu hadis dan dia yakin hadis
tersebut adalah hadis dhaif, namun di sisi lain dia masih menganggap bahwa
hadis dhaif tersebut adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
dia sebarkan ke masyarakat, manakah diantara dua kasus di atas yang lebih layak
untuk disebut pendusta?
Ketiga, kita disyariatkan untuk banyak membaca shalawat. Namun
bukan berarti kita boleh memotivasi masyarakat untuk bershalawat dengan membuat
kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dusta atas nama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru merupakan bukti
bahwa kita tidak menghormati beliau dan melanggar kehormatan beliau. Kita bisa
bayangkan ketika ada orang yang memalsu tanda tangan kita untuk mendapatkan
keuntungan. Tentu kita akan marah dan menganggap perbuatan ini sebagai tindak
kriminal.
Ini baru dalam masalah dunia. Sementara hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berbicara masalah akhirat, yang itu urusannya jauh
lebih besar. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan ancaman neraka untuk setiap umatnya yang berdusta atas nama beliau.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
”Siapa yang secara sengaja berdusta atas namaku, hendaknya dia
siapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari 108
& Muslim 2)
Dalam riwayat lain, beliau bersabda,
مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ
“Siapa yang menyampaikan satu hadis atas namaku, yang belum pernah
aku sampaikan, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari 109).
Keempat, ada banyak kesempatan untuk bershalawat, sebagaimana yang
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Dan kita
sangat yakin, belum semuanya kita amalkan. Karena itu, bukan sikap mukmin yang
baik, ketika dia lancang mengikuti hadis palsu, sementara meninggalkan tuntunan
yang jelas-jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang jelas
sesuai sunah belum mampu kita kerjakan semuanya, maka jangan sampai kita
merambah kepada ajaran yang tidak ada dalilnya.
Keterangan tentang tempat dan waktu anjuran untuk bershalawat,
telah dijelaskan di: Waktu dan Tempat
untuk Bershalawat
Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar