Kita
sering mendengar hadits:
النِّسَاءُ نَاقِصَاتُ عَقلٍ وَدِينٍ
“Wanita
itu kurang akal dan agamanya.”
Sehingga
dengan itu ada sebagian lelaki menjadikannya sebagai cercaan terhadap wanita.
Sebenarnya ada makna hadits tersebut?
Jawab:
Samahatusy
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah ibnu Baz t menjawab,
“Makna hadits Rasulullah n:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغلَبُ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا نُقْصَانُ عَقْلِهَا؟ قاَلَ: أَلَيْسَتْ شَهَادَةُ الْمَرْأَتَيْنِ بِشَهَادَةِ رَجُلٍ؟ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا نُقصَانُ دِينِهَا؟ قَالَ: أَلَيْسَتْ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Aku
tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa
mengalahkan akal lelaki yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum
wanita).” Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksudnya kurang
akalnya wanita?” Beliau menjawab, “Bukankah persaksian dua orang wanita sama
dengan persaksian seorang lelaki?” Ditanyakan lagi, “Ya Rasulullah, apa maksudnya
wanita kurang agamanya?” “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan
tidak pula puasa?” jawab beliau.
Rasulullah
n menerangkan kurangnya akal wanita dari sisi lemahnya ingatan/hapalannya.
Persaksiannya baru diterima bila disertai persaksian wanita yang lainnya, guna
memperkuat/mengokohkan persaksian yang ada. Karena bila si wanita bersendirian
dalam memberikan persaksian terkadang ia lupa sehingga ia menambah ataupun
mengurangi dalam persaksian tersebut. Sebagaimana Allah l berfirman:
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari kaum lelaki di antara kalian. Jika
tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika salah seorang dari wanita itu
lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya.”(Al-Baqarah:
282)
Adapun
kurangnya agama si wanita karena saat ia haid dan nifas, ia harus meninggalkan
shalat dan puasa, tanpa tuntutan mengqadha shalat yang ditinggalkan. Ini sisi
kurangnya agamanya. Akan tetapi kekurangan ini bukan celaan baginya dan ia
tidak berdosa karenanya. Karena kekurangan tersebut didapatkannya dengan
ketentuan syariat Allah k. Allah k lah yang mensyariatkan hal tersebut kepada
kaum wanita sebagai kasih sayang/kelembutan terhadapnya dan kemudahan baginya. Karena
bila si wanita puasa dalam keadaan ia haid atau nifas, niscaya akan
memadaratkannya. Maka termasuk rahmat Allah, Dia mensyariatkan kepada wanita
untuk tidak berpuasa saat haid dan nifas. Sebagai gantinya, ia mengqadha di
waktu yang lain setelah suci.
Untuk
shalat yang harus ditinggalkannya saat haid dan nifas, karena ketika dalam
keadaan haid si wanita mendapati pada dirinya sesuatu yang mencegahnya dari
thaharah/bersuci[1]. Maka termasuk
rahmat Allah k, Dia mensyariatkan si wanita untuk meninggalkan shalat. Demikian
pula saat nifas. Kemudian Allah mensyariatkan shalat yang ditinggalkan tersebut
tidak diqadha, karena kalau ada qadha niscaya akan memberikan keberatan yang
besar. Di mana pengerjaan shalat fardhu akan berulang dalam sehari semalam
sebanyak lima kali. Sedangkan haid terkadang waktunya lama/beberapa hari, bisa
7 hari atau 8 hari atau bahkan lebih. Nifas lebih lama lagi, kadang sampai 40
hari. Maka termasuk rahmat Allah kepada si wanita dan kebaikan Allah kepadanya,
Dia gugurkan penunaian shalat baginya dan gugur pula qadha shalat tersebut.
Yang
perlu diingat, tidak mesti wanita itu kurang akalnya dalam segala hal. Demikian
pula tidak mesti agamanya kurang dalam segala hal. Rasulullah n hanya
menerangkan kurangnya akal wanita dari sisi kurangnya ingatannya dalam
memberikan persaksian. Dalam hal kurangnya agama, Rasulullah n hanya
menyebutkan dari sisi ia meninggalkan shalat dan puasa di saat haid dan nifas.
Sehingga kekurangan tersebut tidak mesti menjadikan si wanita berada di bawah
lelaki (kurang dari lelaki) dalam segala hal dan tidak mesti lelaki lebih utama
dari si wanita dalam segala hal. Memang dari sisi jenis, secara umum kaum
lelaki lebih utama dari kaum wanita karena sebab yang banyak. Sebagaimana Allah
l berfirman:
“Kaum
lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa’:
34)
Akan
tetapi terkadang wanita melampaui lelaki pada beberapa keadaan, dalam banyak
perkara. Ada wanita yang akal, agama dan kekokohan hapalannya melebihi banyak
lelaki[2]. Yang
datang beritanya dari Nabi n hanyalah penyataan bahwa jenis wanita berada di
bawah jenis lelaki dalam hal akal dan agama dari dua sisi yang telah
diterangkan oleh Nabi n.
Terkadang
ada wanita yang memiliki banyak amal shalih sehingga ia melampui banyak lelaki
dalam amal shalihnya tersebut dan dalam ketakwaannya kepada Allah k. Demikian
pula dalam hal kedudukannya di akhirat kelak. Terkadang ada wanita yang
memiliki perhatian terhadap sebagian perkara lalu ia menghapal/mengingatnya
dengan kuat, lebih kuat dari ingatan/hapalan sebagian lelaki dalam banyak
permasalahan yang diperhatikan si wanita dan ia bersungguh-sungguh dalam
menghapal dan mengingatnya. Jadilah si wanita sebagai rujukan dalam sejarah
Islam dan dalam banyak hal. Hal ini tampak jelas bagi orang yang memperhatikan
keadaan para wanita di masa Nabi n dan setelahnya. Dengan demikian,
diketahuilah bahwa kekurangan yang ada tidaklah menjadi penghalang untuk
menjadikan wanita sebagai sandaran dalam periwayatan. Demikian pula dalam persaksian
bila ia disertai dengan wanita lainnya. Kekurangan tersebut tidak pula
menghalangi si wanita untuk bertakwa kepada Allah dan menjadi sebaik-baik hamba
Allah, bila ia tetap istiqamah dalam agamanya. Walaupun gugur darinya kewajiban
puasa saat haid dan nifas, namun tidak gugur kewajiban mengqadha. Sekalipun
gugur darinya kewajiban penunaian shalat saat haid dan nifas berikut qadhanya.
Semua ini tidaklah mengharuskan si wanita dianggap kurang dalam segala hal,
dari sisi ketakwaannya kepada Allah, dari sisi penunaiannya terhadap perintah
Allah dan dari sisi ingatannya terhadap perkara yang mendapatkan perhatiannya.
Ia kurang, khusus dalam akal dan agama sebagaimana yang diterangkan Nabi n.
Oleh
karena itu, tidak sepantasnya seorang mukmin melemparkan tuduhan bahwa si
wanita punya kekurangan dalam segala hal dan lemah agamanya dalam segala
perkara. Lemahnya dia dalam agama hanya dalam perkara khusus. Lemahnya dia
dalam hal akal juga hanya sebatas perkara yang berkaitan dengan ingatan saat
memberi persaksian dan semisalnya. Maka permasalahan ini harus dijelaskan dan
ucapan Nabi n harus dibawa kepada maknanya yang paling baik dan paling bagus[3]. Wallahu ta’ala a’lam. (Majmu’
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/292-294)
[1] Dengan terus
keluarnya darah yang najis dari kemaluannya. –pent.
[2] Contohnya Ummul
Mukminin Aisyah, semoga Allah meridhainya. –pent.
[3] Jangan dimaknakan
semaunya, tak sesuai dengan yang dimaksudkan Nabi n. –pent.
Asysyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar