HADITS-HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’ YANG BANYAK BEREDAR PADA BULAN
RAMADHAN
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
HADITS PERTAMA : TENTANG GANJARAN ORANG YANG MELAKSANAKAN IBADAH
PUASA DAN SHALAT TARAWIH
عَنِ النَّضْرِ بْنِ شَيْبَانَ قَالَ لَقِيتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقُلْتُ حَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ يَذْكُرُهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ قَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَقَالَ شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Dari Nadhir bin Syaibân, ia mengatakan, ‘Aku pernah bertemu
dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya,
‘Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu
(maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu) tentang Ramadhân.’ Ia
mengatakan, ‘Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu)
pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyebut bulan Ramadhân lalu bersabda, ‘Bulan yang Allâh Azza wa Jalla
telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat
malamnya. Maka barangsiapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan
dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla, niscaya dia akan
keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya”. [HR Ibnu
Mâjah, no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, no. 2201 lewar jalur periwayatan Nadhr bin
Syaibân]
Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaibân itu layyinul
hadîts (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu
Hajar rahimahullah dalam kitab Taqrîb beliau rahimahullah.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga telah menilai hadits ini lemah
dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits yang sah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Hadits yang beliau rahimahullah maksudkan yaitu hadits yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim dan ulama hadits lainnya lewat jalur
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang shalat (qiyâm Ramadhân atau Tarawih) dengan
dasar iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.
Juga ada sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits shahih riwayat Bukhâri dan Muslim, yaitu :
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak jima’ juga
tidak fasiq, niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang
ibu” [HR. Bukhâri dan Muslim]
HADITS KEDUA : TENTANG PUASA ITU SETENGAH DARI KESEHATAN
… وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ وَالطُّهُورُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ
“Puasa itu setengah kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman”.
Dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3519 dalam
Kitab ad-Dâ’awât, juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad beliau
rahimahullah (4/260 dan 5/363) lewat jalur periwayatan Juraisy an-Nahdy dari
seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.
Sanad hadits ini dha’if, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah
seorang yang majhûl (tidak dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul
Madini rahimahullah (lihat, Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78 karya Ibnu Hajar
rahimahullah).
Hadits dhaif lainnya yang senada yaitu :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ , الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat
badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran.” [HR. Ibnu Mâjah, no. 1745
lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]
Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin Ubaidah dinilai haditsnya
lemah oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana dijelaskan dalam kitab
Tahdzîb, 10/318-320. Beliau ini seorang yang shalih dan ahli ibadah, akan
tetapi lemah dalam periwayatan hadits.
Al-Hâfizh dalam kitab Taqrîbnya mengatakan, “Dha’if.”
Hadits yang sah tentang hal ini adalah riwayat yang menjelaskan
bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang lelaki
dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam hadits yang panjang tesrbut
terdapat kalimat :
صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ
“Berpuasalah pada bulan kesabaran yaitu Ramadhân”. [HR Imam Ahmad
dengan sanad yang shahih]
Hadits yang lain yaitu hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bulan Ramadhân :
شَهْرَ الصَّبْرِ
“bulan kesabaran (Ramadhan)”.
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (2/263, 384 dan 513),
juga dikeluarkan oleh Imam Nasa’i rahimahullah (3/218-219). Dan hadits lain
lewat jalur periwayatan a’rabiyûn sebagaimana dalam Majma’uz Zawâid (3/196)
oleh al Haitsami rahimahullah.
HADITS KETIGA : TENTANG RAMADHAN DIBAGI TIGA
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ (وفي رواية : ووَسَطُهُ) مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhân itu adalah rahmat, tengahnya adalah maghfirah
(ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka”. [HR Ibnu Abi
Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain lewat jalur periwayatan Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu]
Hadits ini sangat lemah. Silahkan lihat kitab Dha’if Jâmi’is
Shagîr, no. 2134 dan Faidhul Qadîr, no. 2815
Hadits lemah yang senada dengan hadits diatas yaitu :
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيّ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ مُبَارَكٌ ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً ، وَقِيَامَهُ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ …وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُه رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ …
“Dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada
hari terakhir bulan Sya’bân. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Wahai manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi
kalian, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu
bulan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu
kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa
yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan, maka sama (nilainya)
dengan menunaikan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang
menunaikan satu kewajiban pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan tujuh
puluh ibadah wajib pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan
kesabaran adalah surga …. Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat,
pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka
…..”. [HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain]
Sanad hadits ini dha’îf (lemah), karena ada seorang perawi yang
bernama Ali bin Zaid bin Jud’ân. Orang ini seorang perawi yang lemah
sebagaiamana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, Yahya rahimahullah,
Bukhâri rahimahullah, Dâru Quthni rahimahullah, Abu Hâtim rahimahullah dan
lain-lain.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah sendiri mengatakan, “Aku tidak
menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya jelek.” Imam Abu Hatim
rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mungkar.”
Silahkan lihat kitab Silsilah ad-Dha’îfah Wal Maudhû’ah, no. 871,
at-Targhîb wat Tarhîb, 2/94 dan Mizânul I’tidâl, 3/127.
HADITS KEEMPAT : TENTANG TIDUR DAN DIAMNYA ORANG YANG BERPUASA
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun
dia tidur di atas kasurnya”. [HR Tamâm]
Sanad hadits ini dha’if, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin
Abdullah bin Zujâj dan Muhammad bin Hârûn bin Muhammad bin Bakar bin Hilâl.
Kedua orang ini tidak ditemukan keterangan tentang jati diri mereka dalam kitab
Jarh wat Ta’dil (yaitu kitab-kitab yang berisi keterangan tentang cela atau
cacat ataupun pujian terhadap para rawi). Ditambah lagi, dalam sanad hadits ini
terdapat perawi yang bernama Hâsyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang
perawi yang majhûl (tidak diketahui keadaan dirinya), sebagaimana dijelaskan
oleh adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab beliau rahimahullah Mizânul I’tidâl.
Imam Uqaili rahimahullah mengatakan, “Orang ini haditsnya mungkar.”
Ada juga hadits lain yang semakna dengan hadits diatas yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh Dailami rahimahullah dalam kitab Musnad Firdaus
lewat jalur Anâs bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh :
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ نََائِمًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa itu tetap dalam ibadah meskipun dia tidur di
atas kasurnya”.
Sanad hadits ini maudhû’ (palsu), karena ada seorang perawi yang
bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk pemalsu hadits,
sebagaimana diterangkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab ad-Dhu’afa.
Silahkan, lihat kitab Silsilah ad-Dha’îfah wal Maudhû’ah, no. 653
dan kitab Faidhul Qadîr, no. 5125
Ada juga hadits lain yang semakna :
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang yang sedang berpuasa itu ibadah, diamnya merupakan
tasbih, amal perbuatannya (akan dibalas) dengan berlipatganda, doa’nya mustajab
dan dosanya diampuni”. [(Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân dan
lain-lain dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi Aufa.]
Sanad hadits ini maudhû’, karena dalam sanadnya terdapat seorang
perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha’i, seorang pendusta. [Lihat,
Faidhul Qadîr, no. 9293, Silsilatud Dha’ifah, no. 4696]
HAITS KELIMA : TENTANG DO’A BUKA PUASA
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu, beliau Radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila hendak berbuka,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan :
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Wahai Allâh! UntukMu kami berpuasa dan dengan rizki dari Mu kami
berbuka. Ya Allâh ! Terimalah amalan kami ! Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”. [Diriwayatkan oleh Daru Quthni t dalam kitab Sunan
beliau rahimahullah, Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal Lailah, no. 473
dan Thabrani t dalam kitab al-Mu’jamul Kabîr]
Sanad hadits ini sangat lemah (dha’îfun jiddan), karena :
Pertama : Ada seorang rawi yang bernama Abdul Mâlik bin Hârun bin
‘Antarah. Orang ini adalah sseorang rawi yang sangat lemah.
– Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Abdul Mâlik itu dha’if.”
– Imam Yahya rahimahullah, “Dia seorang pendusta (kadzdzâb).”
– Sementara Ibnu Hibbân rahimahullah mengatakan, “Dia seorang pemalsu hadits.”
– Imam Sa’di mengatakan, “Dajjâl (pendusta).”
– Imam Dzahabi rahimahullah, ‘Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits.”
– Ibnu Hatim mengatakan, “Matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama).”
– Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Abdul Mâlik itu dha’if.”
– Imam Yahya rahimahullah, “Dia seorang pendusta (kadzdzâb).”
– Sementara Ibnu Hibbân rahimahullah mengatakan, “Dia seorang pemalsu hadits.”
– Imam Sa’di mengatakan, “Dajjâl (pendusta).”
– Imam Dzahabi rahimahullah, ‘Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits.”
– Ibnu Hatim mengatakan, “Matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama).”
Kedua : Dalam sanad hadits ini terdapat juga orang tua dari Abdul
Mâlik yaitu Hârun bin ‘Antarah. Dia ini seorang rawi yang diperselisihkan oleh
para Ulama ahli hadits. Imam Daru Quthni rahimahullah menilainya lemah,
sedangkan Ibni Hibbân rahimahullah telang mengatakan, “Mungkarul hadîts (orang
yang haditsnya diingkari), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya.”
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah,
Ibnu Hajar rahimahullah, al Haitsami rahimahullah dan Syaikh al-Albâni
rahimahullah dan lain-lain. Silahkan para pembaca melihat kitab-kitab ; Mizânul
I’tidal (2/666), Majma’uz Zawâ’id (3/156 oleh Imam Haitsami rahimahullah),
Zâdul Ma’âd dalam kitab Shiyâm oleh Imam Ibnul Qayyim t dan Irwâ’ul Ghalîl
(4/36-39 oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah)
Hadits dhaif lainnya tentang do’a berbuka yaitu :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ n كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau Radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berbuka, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan :
بسم الله اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dengan nama Allâh, Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan
rizki dari Mu aku berbuka”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani rahimahullah dalam kitab
al-Mu’jamus Shagîr, hlm. 189 dan al-Mu’jam Ausath.
Sanad hadits ini lemah (dha’îf), karena
Pertama : Dalam sanad hadits ini terdapat Ismail bin Amar al
Bajali. Dia adalah seorang rawi yang lemah. Imam Dzahabi rahimahullah
mengatakan dalam kitab adh-Dhu’âfa, “Bukan hanya satu orang saja yang
melememahkannya.”
Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah mengatakan, “Orang ini sering
membawakan hadits-hadits yang tidak boleh diikuti.”
Imam Ibnu Hâtim rahimahullah mengatakan, “Orang ini lemah.”
Kedua : Dalam sanadnya terdapat Dâwud bin az-Zibriqân. Syaikh
al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Orang ini lebih jelek daripada Ismail bin
Amr al bajali.”
Sementara itu, Imam Abu Dâwud rahimahullah, Abu Zur’ah
rahimahullah dan Ibnu Hajar rahimahullah memasukkan orang ini ke golongan
matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli hadits).
Imam Ibnu ‘Adi mengatakan, “Biasanya apa yang diriwayatkan oleh
orang ini tidak boleh diikuti.” (lihat, Mizânul I’tidâl, 2/7)
Hadits Thabrani rahimahullah ini pernah dibawakan oleh Ustadz
Abdul Qadir Hassan dalam risalah puasa, namun beliau tidak mengomentari
derajatnya.
Masih tentang do’a berbuka, ada hadits dha’if lainnya yang senada
yaitu :
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengucapkan :
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku
berbuka”.
Hadits ini dha’if l(lemah). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dâwud, no. 2358, al-Baihaqi, 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunni. Lafazh
hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, hanya beda dalam kalimat awalnya.
Hadits ini lemah karena ada dua illah (penyebab) :
Pertama : Mursal [1]. Karena Mu’adz bin Zuhrah, seorang tabi’in
bukan shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua : Juga karena Mu’adz bin Zuhrah ini seorang rawi yang
majhûl, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Hushain bin
Abdurrahman. Sementara Ibnu Abi Hâtim rahimahullah dalam kitab beliau
rahimahullah Jarh Wa Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan maupun pujian
untuknya.
Sebatas yang saya ketahui, tidak ada satu riwayatpun yang sah
tentang do’a berbuka puasa kecuali riwayat dibawah ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, adalah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa, beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengucapkan :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dahaga telah lenyap, urat-urat telah basah dan pahala atau
ganjaran tetap ada insya Allâh”
Hadits ini hasan riwayat Abu Dâwud, no. 2357; Nasâ’i, 1/66; Daru
Quthni, ia mengatakan, “Sanad hadits ini hasan.”; al Hâkim, 1/422 dan Baihaqi, 4/239.
Syaikh al-Albâni rahimahullah sepakat dengan penilai Daru Quthni terhadap
hadits ini.
Sebatas yang saya ketahui, semua rawi (orang-orang yang
meriwayatkan) hadits ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali Husain bin Wâqid.
Dia seorang rawi yang tsiqah namun memiliki sedikit kelemahan , sehingga
tepatlah kalau sanad hadits ini dinilai hasan.
HADITS KEENAM : TENTANG KEUTAMAAN I’TIKAF
مَنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
“Barangsiapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan
Ramadhân, maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali”.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dalam kitab beliau
Syu’abul Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhuma. hadits ini
Maudhû’.
Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab beliau Dha’if Jami’ish
Shaghiir, no. 5460, mengatakan ,”Maudhû.’ Kemudian beliau rahimahullah
menjelaskan penyebab kepalsuan hadits ini dalam kitab beliau rahimahullah
Silsilah ad-Dha’ifah, no. 518
Hadits dha’if lain yang hampir senada yaitu :
مَنِ اعْتَكَفَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang beri’tikaf atas dasar keimanan dan mengharapkan
pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat”.
Hadits dha’if riwayat Dailami rahimahullah dalam Musnad Firdaus.
Al-Munâwi rahimahullah, dalam kitab beliau Faidhul Qadîr, syarah Ja’mi’ Shaghîr
(6/74, no. 8480) mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat rawi yang tidak aku
ketahui.”
HADITS KETUJUH : TENTANG BERANDAI-ANDAI RAMADHAN SEPANJANG TAHUN
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا (فِي ) رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةُ كٌلَّهَا
“Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada pada buan Ramadhân,
niscaya semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun”.
Maudhu’. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, no.
1886 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali, dari asy-Sya’bi dari
Nâfi’ bin Burdah, dari Abu Mas’ud al-Ghifari- ia mengatakan, “Suatu hari, aku
mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda , “(lalu
beliau menyebutkan hadits diatas).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan hadits di atas dalam
kitab beliau rahimahullah al-Maudhû’ât, 2/189 lewat jalur periwayatan Jarîr bin
Ayyûb al Bajali dari Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu
‘anhu . kemudian beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits ini maudhû’ (palsu)
dipalsukan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang
tertuduh telah memalsukan hadits ini adalah Jarîr bin Ayyûb.
Yahya rahimahullah mengatakan, ‘Orang-orang ini tidak ada
apa-apanya (laisa bi syai-in).’
Fadhl bin Dukain rahimahullah mengatakan, ‘Dia termasuk orang yang
biasa memalsukan hadits.’
An-Nasa’i dan Daru Quthni rahimahullah mengatakan, ‘Matrûk (orang
yang haditsnya tidak dianggap).'”
Imam Syaukani rahimahullah dalam kitab al-Fawâ-idul Majmû’ah Fil
Ahâdîtsil Maudhû’ah, no. 254 mengomentari hadits diatas, “Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Ya’la rahimahullah lewat jalur Abdullah bin Mas’ûd
Radhiyallahu ‘anhu secara marfuu. Hadits ini maudhû (palsu). Kerusakannya ada
pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan lafazhnya merupakan susunan yang bisa dinilai
oleh akal bahwa itu adalah hadits palsu.’
HADITS KEDELAPAN : TENTANG RAMADHAN BULAN TERBAIK BAGI KAUM
MUSLIMIN
مَا أَتَى عَلَى الْمُسْلِمِينَ شَهْرٌ خَيْرٌ لَهُمْ مِنْ رَمَضَانَ وَلَا أَتَى عَلَى الْمُنَافِقِينَ شَهْرٌ شَرٌّ مِنْ رَمَضَانَ
“Tidak ada bulan yang datang kepada kaum Muslimin yang lebih baik
daripada Ramadhân . dan tidak datang kepada kaum Munafiqin bulan yang lebih
buruk daripada bulan Ramadhân”.
Hadits ini dha’if. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah
(2/330, Fathurrabbani, 9/231-232), Ibnu Khuzaimah, no. 1884 dan lain-lainnya.
Semua riwayat ini melalui jalur periwayatan Katsîr bin Zaid rahimahullah dari
Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’
Al-Haitsami rahimahullah dalam kitabnya Majma’uz Zawâid, 3/140-141
mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan Thabrani
rahimahullah dalam kitabnya al-Ausath dari Tamîm dan aku tidak menemukan
riwayat hidup Tamîm.” Maksudnya Tamîm (bapaknya Amr) seorang perawi yang
majhûl.
Dalam kitab Mizânul I’tidâl, 3/249, adz Dzahabi rahimahullah
mengatakan, “Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
tentang keutamaan bulan Ramadhân. Dan dari Amr, hadits ini diriwayatkan oleh
Katsîr bin Zaid. Tentang Amr bin Tamim, Imam Bukhâri rahimahullah mengatakan,
‘Haditsnya perlu diteliti (Fi hadîtsihi nazhar).”
Ini adalah salah satu istilah Imam Bukhâri dalam mengkritik dan
menerangkan cacat perawi yang sangat halus akan tetapi makna dan maksudnya
dalam sekali. Apabila Imam Bukhâri mengatakan, “Fiihi nazhar atau fi haditsihi
nazhar, maka perawi itu derajatnya lemah atau bahkan sangat lemah. ”
HADITS KESEMBILAN : TENTANG MENGQADHA PUASA RAMADHAN DENGAN CARA
BERTURUT-TURUT
مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلاَ يَقْطَعْهُ
“Barangsiapa yang memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân, maka
hendaknya dia mengqadha’nya dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus
(selang-seling)”.
Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni
rahimahullah dalam sunannya, 2/191-192 dan al-Baihaqi dalam sunan beliau, 2/259
lewat jalur Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh dari ‘Alâ bin Abdurrahman dari
bapaknya dari Abu Hurairah (ia mengatakan), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : (seperti hadits diatas).
Sanad hadits ini dha’if (lemah), karena Abdurrahman bin Ibrahim al
Qâsh adalah seorang rawi yang dha’if (lemah).
Ad-Daaru Quthni rahimahullah mengatakan, “Abdurrahman bin Ibrahim
al Qâsh adalah dha’îful hadîts (orang yang haditsnya lemah).”
Al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Talkhishul Habîr
,2/260, no. 920 mengatakan, “Ibnu Abil Hâtim rahimahullah telah menerangkan
bahwa bapaknya yaitu Abu Hâtim telah mengingkari hadits ini karena ada
Abdurrahman.”
Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim
al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma’in rahimahullah, Nasa’i rahimahullah
dan Daru Quthni rahimahullah.”
Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Mizânul I’tidâl, 2/545,
“Diantara hadits-hadits mungkarnya adalah ….. (kemudian beliau rahimahullah
membawakan hadits di atas)
Ada juga hadits dha’if lainnya yang bertentangan dengan hadits
dha’if di atas yaitu :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فِى قَضَاءِ رَمَضَانَ : إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, beliau Radhiyallahu ‘anhuma
mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
tentang qadha’ Ramadhân, ‘Jika ia mau, dia bisa mengqadha’nya dengan
dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau, dia juga bisa mengqadha’nya
secara beturut-turut (tanpa diselang-seling)”.
Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni
rahimahullah, 2/193 lewat jalur periwayatan Sufyân bin Bisyr, ia mengatakan,
‘Kami telah diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin Umar dari Nâfi’
dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan : (seperti hadits di atas)
Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini dha’if karena Sufyaan
bin Bisyr adalah seorang perawi yang majhûl, sebagaimana telah ditegaskan oleh
Syaikh al-Albâni rahimahullah, karena beliau rahimahullah tidak mendapatkan
riwayat hidupnya. Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan,
“Ringkasnya, tidak ada satu pun hadits marfu’ yang sah yang menerangkan
(mengqadha’ shaum Ramadhân) dengan selang-seling dan tidak juga berturut-turut.
Pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) ialah boleh mengqadha’ dengan cara
keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. [Lihat Irwâ’ul
Ghalîl, 4/97]
Demikianlah beberapa contoh hadits dha’if bahkan sebagiannya
maudhu’ yang banyak beredar dan sering diulang-ulang penyampaiannya diatas
mimbar pada bulan Ramadhân. Semoga naskah singkat ini bisa menjadi pengingat
bagi kita untuk tidak lagi menjadikan hadits-hadits diatas sebagai hujjah dalam
beramal. Cukuplah bagi kita dengan mengikuti hadits-hadits shahih atau hadits-hadits
yang layak dijadikan sebagai hujjah. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa
membimbing kita untuk mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
cara mengamalkan hadits-hadits yang tsabit dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan langsung dari rasulullah n oleh tabi’in tanpa perantara shahabat
_______
Footnote
[1]. Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan langsung dari rasulullah n oleh tabi’in tanpa perantara shahabat
0 komentar:
Posting Komentar