Beberapa survey menyebutkan bahwa para istri tidak merasakan
kenikmatan ini dan sebagian mereka menyembunyikan bahkan berbohong dari suami
mereka, entah karena untuk menghibur suami atau alasan yang lain. Agama
Islam yang lengkap dan sempurna telah mengatur hal ini.
Ada tiga faktor utama penyebabnya:
Pertama: suami
cuek dan mau menang sendiri
Mungkin hal ini dilalaikan oleh sebagian suami, para suami ini
hanya berpikir bagaimana mereka menunaikan hajat dan merasakan kepuasan
kemudian selsai dan habis, titik. Memulai dengan kaku dan dingin tanpa
pemanasan kemudian ditutup dengan Istri ditinggal tidur atau langsung pergi
tanpa ada kata-kata penutup romantis yang sangat dinanti oleh istri.
Kedua:
istri malu mengungkapkan dan berkomunikasi
Kemudian faktor lainnya, sebagian istri juga berbalut rasa malu
dan segan ingin mengungkapkan keinginannya. Memang sifat dasar wanita yang
berbalut malu. Padahal tidak sedikit wanita yang sangat berharap dan mereka
juga sama dengan lelaki, jika tidak disentuh maka akan berpengaruh dengan emosi
dan psikologis mereka.
Ketiga: wanita
lebih butuh terhadap perhatian, kasih sayang dan belaian
Selain itu beberapa wanita tidak seperti laki-laki dimana jima’
adalah kebutuhan primer, karena kebutuhan primer wanita berupa perhatian, kasih
sayang dan belaian terkadang melebihi kebutuhan jima’. Sehingga ada beberapa
wanita yang sudah merasa cukup dengan perhatian, kata-kata lembut nan romantis
serta belaian meskipun tidak mendapatkan kenikmatan dalam berjima’. Akan
tetapi tetap saja yang satu ini diharapkan juga oleh wanita sebagaimana agama
Islam memperhatikan hal ini.
Patutlah para suami memperhatikan perkataan Umar bin Abdul
Aziz rahimahullah, beliau berkata,
لا تواقعها إلا وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها
بالفراغ
”Janganlah kamu menjima’ istrimu,
kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti yang engkau dapatkan,
supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya (maksudnya engkau
mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).”[1]
Wanita juga punya nafsu syahwat
seperti laki-laki
Ini perlu diketahui oleh para suami karena hakikatnya laki-laki
dan wanita sama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنما النساء شقائق الرجال
Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,
:أنه إذا أتى أهله فقد أحسن إلى أهله، لأن
المرأة عندها من الشهوة ما عند الرجل، فهي تشتهي الرجل كما يشتهيها، فإذا أتاها
صار محسناً إليها وصار ذلك صدقة.
“jika seorang laki-laki “mendatangi” istrinya hendaklah “berbuat
baik” kepadanya. Karena wanita memiliki syahwat sebagaimana laki-laki.
Wanita juga mempunyai “keinginan” sebagaimana laki-laki mempunyai
“keinginan”. Jika ia mendatangi istri dengan “berbuat baik” padanya
maka ini termasuk sedekah.”[3]
Tidak sedikit juga wanita yang memiliki “keinginan” yang lebih
besar bahkan tidak disangka-sangka oleh suami mereka.
Wanita mempunyai beberapa hak atas
suami dan sebaliknya
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوفِ
“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” (Al-Baqarah : 228)
Suami juga diperintahkan agar memperhatikan dan bermuamalah
dengan baik kepada istrinya, termasuk nafkah batin
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالمَعْرُوفِ
“…Dan bergaullah dengan mereka (istri) dengan cara yang ma’ruf/
baik.” (Qs. An-Nisa’ : 19)
Bisa juga kita lihat kisah sahabat Abu Darda’ radhiallahu
‘anhu yang sudah merasakan nikmatnya beribadah sampai lupa
terhadap istrinya. Maka ia ditegur oleh sahabatnya Salman, agar ia juga
memberikan nafkah batin kepada istrinya.
عن عون بن أبي جحيفة، عن أبيه، قال: آخى النبي صلى الله عليه وسلم
بين سلمان، وأبي الدرداء، فزار سلمان أبا الدرداء، فرأى أم الدرداء متبذلة، فقال
لها: ما شأنك؟ قالت: أخوك أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا،
“Diriwayatkan dari ‘Aun
bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia mengkisahkan: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan
tali persaudaraan antara sahabat Salman (Al Farisi) dengan sahabat Abu Darda’,
maka pada suatu hari sahabat Salman mengunjungi sahabat Abu Darda’, kemudian
ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’ dalam keadaan tidak rapi,maka ia
(sahabat Salman) bertanya kepadanya,
“Apa yang terjadi pada dirimu?”
Ummu Darda’-pun menjawab,
“Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita yang
ada di) dunia.”
فجاء أبو الدرداء فصنع له طعاما، فقال: كل؟ قال: فإني صائم،
قال: ما أنا بآكل حتى تأكل، قال: فأكل، فلما كان الليل ذهب أبو الدرداء يقوم، قال:
نم، فنام، ثم ذهب يقوم فقال: نم، فلما كان من آخر الليل قال: سلمان قم الآن، فصليا
Maka
tatkala Abu Darda’ datang, iapun langsung membuatkan untuknya (sahabat Salman)
makanan, kemudian sahabat Salmanpun berkata,
“Makanlah (wahai Abu Darda)”
Maka
Abud Darda’ pun menjawab,
“Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”
Mendengar
jawabannya sahabat Salman berkata,
“Aku tidak akan makan, hingga engkau makan”
maka
Abu Darda’pun akhirnya makan. Dan tatkala malam telah tiba, Abud Darda’ bangun
(hendak shalat malam, melihat yang demikian, sahabat Salman) berkata
kepadanya,“Tidurlah, maka iapun tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan
sahabat Salmanpun kembali berkata kepadanya: tidurlah. Dan ketika malam telah
hampir berakhir, sahabat Salman berkata: bangunlah sekarang, dan shalat
(tahajjud).
فقال له سلمان: إن لربك عليك حقا، ولنفسك عليك حقا، ولأهلك عليك
حقا، فأعط كل ذي حق حقه، فأتى النبي صلى الله عليه وسلم، فذكر ذلك له، فقال النبي
صلى الله عليه وسلم: «صدق سلمان»
Kemudian Salman menyampaikan alasannya dengan berkata,
“Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki
hak atasmu, dan istri/keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya
engkau tunaikan setiap hak kepada pemiliknya.”
Kemudian sahabat Abud Darda’ datang kepada Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya, dan
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan bersabda:
Salman telah benar.”[4]
Anjuran Islam agar memperhatikan
nafkah batin istri
“Mendatangi istri” adalah termasuk sedekah dan ibadah, tentu
dalam ibadah kita harus melakukan dengan “cara yang baik”.
Dari Abi Dzar radhiallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
( وفي بُضع أحدكم صدقة ) – أي في جماعه لأهله
– فقالوا : يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر ؟ قال عليه الصلاة
والسلام : ( أرأيتم لو وضعها في الحرام ، أكان عليه وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في
الحلال كان له أجر ) رواه مسلم
”Dan di dalam kemaluan salah seorang di antara kalian
adalah sedekah.” -Maksudnya dalam jima’nya (hubungan intim) terhadap
istrinya– Maka mereka (Sahabat) berkata:”Wahai Rasulullah! Apakah
salah seorang di antara kami mendatangi keluarganya (menunaikan
syahwatnya/jima’) dan dia mendapatkan pahala?” Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berabda:”Bukankah apabila dia menunaikannya
(jima’) di tempat yang haram dia akan mendapatkan dosa?” Maka demikian juga
seandainya dia menunaikannya di tempat yang halal (istrinya) maka dia akan
mendapatkan pahala.”[5]
Begitu juga dengan kisah seorang wanita yang mengadu
kepada Amirul mukminin Umar bin Khattab bahwa suaminya malam harinya shalat
malam terus dan siangnya puasa terus. Artinya ia tidak mendapat nafkah batin.
maka Islam memerintahkan agar memperhatikan hal ini.
عن محمد بن معن الغفاري قال: أتت امرأة عمر بن الخطاب رحمه الله،
فقالت: يا أمير المؤمنين إن زوجي يصوم النهار، ويقوم الليل وإني أكره أن أشكوه،
وهو يعمل بطاعة الله فقال: نعم الزوج زوجك، فجعلت تكرر عليه القول، وهو يكرر عليها
الجواب، فقال له كعب الأسدي: يا أمير المؤمنين هذه المرأة تشكو زوجها في مباعدته
إياها عن فراشه، فقال له عمر: كما فهمت كلامها فاقض بينهما
Muhammad bin Ma’an al-Ghifari berkata,
“Seorang perempuan datang kepada ‘Umar lalu
berkata, ‘Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya suamiku siang hari puasa dan
malam hari shalat. Aku tidak senang mengadu kepadanya karena ia
menjalankan ketaatannya kepada Allah.’
Lalu ‘Umar berkata kepadanya, ‘Memang laki-laki itu adalah
suamimu (suami yang shalih).”
Lalu berkali-kali perempuan tadi mengulangi perkataannya dan
‘Umar pun berkali-kali pula mengulang jawabannya.
Lalu Ka’ab al-Asadi berkata kepada ‘Umar, “Wahai Amirul
Mu’minin, perempuan ini mengadukan keadaan suaminya karena ia membiarkan tidur
sendirian.’
Lalu ‘Umar menjawab, ‘Kalau seperti itu yang kau fahami dari
ucapannya, maka putuskanlah perkara antara keduanya.”
Akhirnya Ka’ab sebagai hakim setelah mendengar peryataan dari
suami-istri tersebut, memutuskan perkara dan berkata,
إن لها حقاً عليك يا رجل … نصيبها في أربع لمن عقل
فاعطها ذاك ودع عنك العلل
ثم قال: إن الله عز وجل قد أحل لك من النساء مثنى وثلاث ورباع، فلك
ثلاثة أيام ولياليهن تعبد فيهن ربك ولها يوم وليلة
‘Sesungguhnya istrimu mempunyai hak atas
dirimu, wahai kawan. Bagian dia ada pada yang empat (dua paha laki-laki dan dua
paha perempuan), bagi orang yang berakal. Berikanlah itu kepadanya, Dan
janganlah anda perpanjang alasan.’
Kemudian Ka’ab berkata, ‘Allah menghalalkan kamu menikahi
empat perempuan. Tiga malamnya menjadi hakmu untuk menyembah Tuhanmu. Dan satu
malam menjadi hak istrimu”[6]
Beberapa cara yang diajarkan Islam
Perlu diketahui bahwa Islam tidak secara vulgar dan rinci
menjelaskan bagaimana “berhubungan” yang baik dan berkualitas. Dan
termasuk kesalahan adalah menyebarluaskan dan merinci dengan
serincin-rincinya. Memberitahu posisi A, posisi B, tehnik A, tehnik B,
bahkan dengan gambar-gambar yang sangat berbahaya jika dilihat oleh pemuda dan
anak-anak. Karena masalah ini adalah fitrah manusia dan insting manusia akan
tahu sendiri. Dengan keterbukaan dan komunikasi yang jelas antar suami-istri
dan gambaran dasar, maka sudah cukup. Selebihnya fitrah dan insting mereka yang
jalan.
Walaupun beberapa buku petunjuk ataupun buku berlabel islami
ditulis “buku ini bagi yang sudah atau akan menikah” maka tidak menjamin akan
aman. Bahkan semakin dilarang, orang semakin mencari sebagaimana pepatah arab,
كل ممنوع مرغوب
“Setiap yang dilarang umumnya diinginkan/dicari”
Beberapa cara tersebut secara umum:
-melakukan pemanasan (foreplay)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
kepada Jabir radhiallahu ‘anhu ketika dia menikah dengan
janda,
“فهلا بكراً تلاعبها وتلاعبك” (رواه
الشيخان)، ولمسلم “تضاحكها وتضاحكك”
”Kenapa tidak gadis (yang engkau nikahi) sehingga engkau bisa mencumbunya dan dia mencumbumu?” [HR. Bukhari dan Muslim] dan dalam riwayat Muslim:”Engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu?”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
قال ابن قادمة رحمه الله: ويستحب أن يلاعب امرأته قبل الجماع لتنهض
شهوتها، فتنال من لذة الجماع مثل ما ناله
”Dianjurkan (disunahkan) agar seorang suami mencumbu istrinya
sebelum melakukan jima’ supaya bangkit syahwat istrinya, dan dia mendapatkan
kenikmatan seperti yang dirasakan suaminya.”[7]
–Boleh
dengan gaya apa saja selama masih di farji istri
Allah Ta’ala berfirman,
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
“Para istri kalian adalah ladang bagi
kalian. Karena itu, datangilah ladang kalian, dengan cara yang kalian
sukai.” [Al-Baqarah:223]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مقبلة ومدبرة إذا كان ذلك في الفرج
-jika ingin ‘Azl (coitus interuptus) hendaknya minta izin ke
istri
Karena memutus tiba-tiba bisa mengurangi kenikmatan istri.
Syaikh Muhammad Mukhtar As-Syingkiti rahimahullah berkata,
أي: يكره النزع قبل فراغ المرأة؛ لأن الرجل ربما أنزل قبل أن تنزل
المرأة، فيكون قد أصاب شهوته ولم تصب المرأة شهوتها
“Dibenci mencabut (‘azl) sebelum wanita
menyelesaikan “hajatnya”. Karena terkadang laki-laki mencapai kepuasan sebelum
istri mencapai kepuasan. Terkadang ia sudah mendapati kenikmatan sedangkan
istri belum mendapatkan.”[9]
Inti dari permasalahan ini adalah adanya komunikasi yang terbuka
dan jelas antar suami dan istri, apa saja yang membuat suami puas, apa saja
yang membuat istri puas, baik dari tehnik, gaya, trik dan perbaikan stamina
keduanya. Dan perlu diketahui tidak semua rumah tangga bahagia hanya dengan
permasalahan ini saja. Tetapi hal ini juga tidak juga diremehkan dan tidak
diperhatikan.
Jangan sampai istri kecewa dan tidak
suka terhadap suaminya
Terdapat beberapa kasus bahwa rumah tangga harus berakhir hanya
karena masalah ranjang. Begitu juga ada wanita di zaman Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang ingin cerai dari suaminya karena suaminya
impoten. Hal ini perlu diperhatikan dan dimusyawarahkan dengan baik jika memang
akan menjadi masalah.
Seorang suami harus memperhatikan hal ini. Syaikh Muhammad
Mukhtar As-Syingkiti rahimahullah berkata,
ونبه العلماء على ذلك لما فيه من المفاسد، والعواقب الوخيمة، فإن
المرأة تكره زوجها حينئذٍ، وتحس أنه يريد قضاء حاجته فقط، وأنه لا يلتفت إليها، ولا
يريد أن يحسن إليها، ويكرمها في عشرته لها، فلربما حقدت عليه، ودخل الشيطان بينهما
فأفسدها عليه، فيشرع بناءً على مقاصد الشرع العامة من حصول السكن والألفة، فعليه
أن يعطي المرأة حقها
“Para ulama telah memperingatkan masalah ini karena ada mafsadah
dan akibat yang buruk. Yaitu seorang istri membenci suaminya ketika
itu. Istri merasa suaminya hanya sekedar ingin menunaikan syahwatnya saja,
tidak perhatian dan tidak ingin berbuat baik kepadanya dan tidak menghormatinya
dalam bermuamalah. Bisa jadi ia akan memusuhi suaminya. Dan setan masuk
kemudian merusaknya. Maka syariat dibangun diatas tujuan umum untuk menciptakan
kerukunan dan persatuan hati. Maka hendaklah ia memberikan hak kepada
Istrinya.”[10]
Ada juga suami yang hanya berbuat baik kepada istirnya ketika
ingin “meminta jatah” saja, kata-kata baik, ada rayuan dan belaian. Adapun jika
selain itu, maka kata-katanya kasar, membentak dan anti belaian. Sehingga istri
akan merasa benci terhadap suaminya.
Hal ini juga telah diingatkan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لاَ يَجْلِدْ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ
يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk (memukul)
istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia
menjimaknya di akhir (malam) hari”[11]
Semoga kita para lelaki bisa menjadi suami yang perhatian
terhadap istri dan berbuat baik terhadap mereka karena “wanita ingin lebih
dimengerti”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
terhadap Istrinya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam
bermuamalah dengan istriku.”[12]
wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi
wa sallam.
Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid
23 Muharram 1434 H
Penyusun: Raehanul Bahraen
[1] Al-Mugni lbni
Qudamah 8/136, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah
[2] HR. Ahmad no.26195,
hasan lighairihi, tahqiq Syu’aib Al-Arna’uth
[3] Syarah Al-Arba’in
An-Nawawiyah libni Utsaimin hadits ke-15
[4] HR. Bukhari no.
1968)
[5] HR. Muslim
[7] Al-Mugni lbni
Qudamah 8/136, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah
[8] HR. Bukhari (no.
4528) dan Muslim (no. 1435)
[9] Syarh Zadul
Mustaqni’ bab ‘Usyratun Nisa’ sumber: http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=129334
[10] idem
[11] HR
Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855
[12] H.R.
Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib
sahih. Al-Albani menilai hadits tersebut sahih
Muslimafiyah.com
0 komentar:
Posting Komentar