Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya: Apakah memelihara
jenggot wajib hukumnya atau hanya boleh? Apakah mencukurnya berdosa atau hanya
merusak Dien? Apakah mencukurnya hanya boleh bila dsiertai dengan memelihara
kumis?
Jawaban:
Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, kami katakan, terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahih keduanya dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, kami katakan, terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahih keduanya dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis
(hingga habis) dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh lebat,-peny)” [1]
Di dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot
memanjang, selisihilah orang-orang Majusi” [2]
Imam An-Nasai di dalam sunannya mengeluarkan hadits dengan sanad
yang shahih dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Barangsiapa yang tidak pernah mengambil dari
kumisnya (memotongnya), maka dia bukan termasuk dari golongan kami” [3]
Al-Allamah besar dan Al-Hafizh terkenal, Abu Muhammad bin Hazm berkata,
“Para ulama telah besepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh
adalah fardlu (wajib)”
Hadits-hadits tentang hal ini dan ucapan para ulama perihal
memotong habis kumis dan memperbanyak jenggot, memuliakan dan membiarkannya
memanjang banyak sekali, sulit untuk mengkalkulasi kuantitasnya dalam risalah
singkat ini.
Dari hadits-hadits di muka dan nukilan ijma oleh Ibnu Hazm
diketahui jawaban terhadap ketiga pertanyaan diatas, ulasan ringkasnya: Bahwa
memelihara, memperbanyak dan membiarkan jenggot memanjang adalah fardhu, tidak
boleh ditinggalkan sebab Rasulullah memerintahkan demikian sementara
perintahnya mengandung makna wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah” [Al-Hasyr : 7]
Demikian pula, menggunting (memotong) kumis wajib hukumnya akan
tetapi memotong habis adalah lebih afdhal (utama), sedangkan memperbanyak atau
membiarkannya begitu saja, maka tidak boleh hukumnya karena bertentangan dengan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Potonglsh kumis”,
“Potonglah kumis sampai habis”, “Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya
(memotongnya) maka dia bukan termasuk dari golongan kami”
Keempat lafazh hadits tersebut, semuanya terdapat di dalam
riwayat-riwayat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sedangkan pada lafazh yang terakhir tersebut terdapat ancaman yang
serius dan peringatan yang tegas sekali. Hal ini kemudian mengandung
konsekuensi wajibnya seorang muslim berhati-hati terhadap larangan Allah dan
RasulNya dan bersegera menjalankan perintah Allah dan RasulNya.
Dari hal itu juga diketahui bahwa memperbanyak kumis dan
membiarkannya merupakan suatu perbuatan dosa dan maksiat. Demikian pula,
mencukur jenggot dan memotongnya termasuk perbuatan dosa dan maksiat yang dapat
mengurangi iman dan memperlemahnya serta dikhawatirkan pula ditimpakannya
kemurkaan Allah dan azab-Nya.
Di dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas terdapat
petunjuk bahwa memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya
termasuk perbuatan menyerupai orang-orang majusi dan orang-orang musyrik
padahal sudah diketahui bahwa menyerupai mereka adalah perbuatan yang munkar,
tidak boleh dilakukan berdasarkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam:
Artinya: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk dari golongan mereka” [4]
Saya berharap jawaban ini cukup dan memuaskan.
Wallahu waliyyut taufiq Washallahu wa sallam ‘ala Nabiyyina
Muhamad wa alihi wa shahbih.
[Kumpulan fatwa-fatwa, juz III, hal.362-363]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il
Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa
Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc]
__________
Foote Note
[1]. Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Libas (5892, 5893), Shahih Musim, kitab Ath-Thaharah (259).
[2]. Shahih Muslim, kitab Ath-Thaharah (260)
[3]. Sunan At-Turmudzi, kitab Al-Adab (2761), Sunan An-Nasai, kitab Ath-Thaharah (13) dan kitab Az-Zinah (5047)
[4]. Sunan Abu Daud, kitab Al-Libas (4031), Musnad Ahmad (5093, 5094, 5634)
__________
Foote Note
[1]. Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Libas (5892, 5893), Shahih Musim, kitab Ath-Thaharah (259).
[2]. Shahih Muslim, kitab Ath-Thaharah (260)
[3]. Sunan At-Turmudzi, kitab Al-Adab (2761), Sunan An-Nasai, kitab Ath-Thaharah (13) dan kitab Az-Zinah (5047)
[4]. Sunan Abu Daud, kitab Al-Libas (4031), Musnad Ahmad (5093, 5094, 5634)
Sumber: almanhaj.or.id
0 komentar:
Posting Komentar