Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bagaimana hukumnya kalau kita menyewakan atau menjual barang
dengan harga beda? Misalnya untuk sewa 1 bulan = 100.000 dan sewa 2 minggu =
70.000. Serta untuk menjual barang cash = 100.000, kredit selama 2 bulan @
70.000. Bagaimana hukum keduanya (sewa atau beli harga beda)? Kalau hukumnya
haram, bagaimana sebaiknya? Jazakallah atas petunjuknya,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Langsung saja, masalah hukum perkreditan yang ditanyakan di sini
insya Allah boleh, walaupun terjadi perbedaan harga, asalkan transaksinya
jelas. Ketika pembeli pergi membawa barang, telah ada kepastian pilihan harga
yang ia ambil.
Untuk lebih lanjutnya bisa baca artikel yang telah saya tulis
tentang hukum jual beli kredit.
Wassalamu’alaikum
HUKUM PERKREDITAN
Macam-Macam Praktek Perkreditan
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di
masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat
sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan
mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum
telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan
oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk
mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap
sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak
berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya
pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna
dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu
metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman
sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode
tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak
hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan
dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan.
Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau
kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama
mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang
dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam
syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian
dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan.
Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat
ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan
beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek
hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka
dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه
درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian
bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau
menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli
bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau
menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya
jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk
jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن
عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج
المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر
رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku
untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan,
Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan
dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah
bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan
dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud,
Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga
dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau
tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli
dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi
penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan
cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi
ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum
transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan
barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya
ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas
waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan
kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan
adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama
tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk
perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو
الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan
maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka
ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka
penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan
lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan
cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu
barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera
penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan
harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka
berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran
dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani
penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan
menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta
manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang
muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp
10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp
12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun
telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban
untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan
bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli
tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah,
atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di
benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT
perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah
mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada
pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga
motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut
dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya.
Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak
showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank.
Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu
memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan
tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad
jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan
yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan
memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan
segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung
dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut
uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung
membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut
pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila
penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba
jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله
وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba
(rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya
(sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka
itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show
Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran
ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan
dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah
menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu
buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan
nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke
pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah
salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من
ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق
عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang
membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai
menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu
hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin
Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل
فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت
فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث
تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya
membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang
lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku
keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna
menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku
yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin
Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau
membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang
tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.”
(Riwayat Abu dawud dan Al Hakim) ([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di
antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia
terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur
terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya
kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia
menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan
dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan
berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan
ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima
bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain
seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal
bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka
seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar
dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka
larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku
juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah
atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat
adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan
diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu
dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga.
Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu
dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli
terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan
berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya
dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang
layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu
hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar
hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan
faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan
menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan.
Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah
Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri
setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan
Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ
وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa
kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya
Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama:
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah
akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul
Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi
ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari
gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq.
Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq 2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany
4/348-349.
***
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri (Pembina Komunitas Pengusaha
Muslim Indonesia)
Sumber: www.PengusahaMuslim.com
Dipublikasikan oleh www.KonsultasiSyariah.com
Sumber: www.PengusahaMuslim.com
Dipublikasikan oleh www.KonsultasiSyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar