Ustad DR. Sufyan Baswedan
Sejak zaman dahulu, para pedagang memainkan peran vital dalam
kehidupan kaum Muslimin. Ribuan mil mereka tempuh dalam berniaga demi memenuhi
hajat manusia. Melalui akhlak mereka yang indah dan mengagumkan, banyak negeri
kafir masuk ke pangkuan Islam. Bahkan luasnya daerah yang “ditaklukkan” para
pedagang melebihi yang dicapai melalui perang dan pedang!
Lihatlah negeri kita dan bagaimana menjadi negara berpenduduk
Muslim terbesar di dunia. Tak lain berkat jasa para pedagang. Mereka berlayar
jauh dari Hadramaut dan India, terombang-ambing di tengah samudera
berbulan-bulan untuk menjejakkan kaki dan berniaga di Bumi Pertiwi.
Negeri subur makmur loh jinawi ini,
dari Sabang sampai Merauke, konon tak ada yang mengenal Islam sebelum mereka
datang. Yang tumbuh subur kala itu agama Hindu, Budha, dan penyembahan terhadap
berhala.
Para pedagang tadi bukanlah ulama. Kalau pun ada yang berilmu di
antara mereka, paling hanya satu-dua. Mereka tak pandai berceramah dan memberi
pengajian. Lagi pula untuk apa berceramah? Toh masyarakat Indonesia tak kan
faham bahasa mereka. Akan tetapi, sikap amanah mereka dalam berniaga demikian
mengesankan. Akhlak mereka dalam berdagang sungguh mengagumkan.
Perlahan-lahan masyarakat Indonesia tertarik dengan kejujuran dan
sifat amanah mereka. Ternyata sifat amanah dan jujur bukan sekadar kebiasaan.
Namun lahir dari akidah dan keyakinan. Islam-lah yang mengajarkan kepada mereka
untuk tidak menipu, tidak memakan harta secara batil, dan tidak memungut riba.
Memang, karakter bangsa Indonesia yang mudah terpedaya oleh
perilaku menjadi faktor penting dalam penyebaran setiap ajaran, termasuk Islam.
Oleh karenanya, berdakwah lewat tingkah laku lebih manjur dari pada ceramah
melulu.
Kesan yang kita rasakan saat bermuamalah dengan orang amanah jauh
lebih mendalam daripada mendengar 10 kali ceramah. Namun sayangnya, sifat
amanah hari ini sangat jarang dijumpai. Amanah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah sifat yang
pertama kali dicabut dari umat Islam.
Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menyampaikan dua hadis kepada kami. Aku telah menyaksikan kebenaran hadis
pertama, dan sedang menanti yang kedua. Beliau mengabarkan bahwa “Amanah[1] pertama kali turun pada jantung hati
manusia. Kemudian turunlah Al-Quran dan mereka pun belajar tentang amanah
darinya, dan belajar pula dari Sunnah Rasulullah”. Kemudian, beliau
mengabarkan bahwa sifat ini akan dicabut. Kata beliau, “Ketika seseorang terlelap dalam tidurnya, dicabutlah amanah
dari hatinya hingga tersisa sedikit saja. Kemudian ia terlelap lagi, dan
dicabutlah amanah yang tersisa hingga tinggal bekasnya. Seperti ketika engkau
menendang bara api dengan kakimu, lalu ia melepuh dan membengkak, namun tak ada
apa-apa padanya. Orang-orang pun lalu berjual-beli seperti biasa, namun hampir
tak seorang pun yang bersikap amanah. Sampai-sampai dikatakan bahwa di kabilah
Fulan ada satu orang yang amanah. Dan sampai-sampai ada orang yang berkata,
‘Alangkah cemerlang akal si Fulan, dan alangkah baik dan uletnya dia’ padahal
tak ada sedikit pun iman yang tersisa di hatinya’.” Hudzaifah
lantas berkata, “Sungguh, aku pernah mengalami suatu masa di mana aku tak
memedulikan siapa yang kuajak berjual-beli. Kalau dia seorang Muslim, maka
Islam-lah yang mencegahnya (dari sikap khianat). Namun jika ia seorang Yahudi
atau Nasrani, maka penguasa-lah yang akan membelaku. Ada pun sekarang, maka aku
takkan berjual-beli kecuali dengan Si Fulan dan Si Fulan.” (Muttafaq ‘alaih)
Benarlah apa yang disabdakan Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam. Mendapatkan orang yang amanah lebih sulit daripada
intan. Sampai-sampai jika ada seorang yang amanah, dia segera menjadi buah
bibir. “Di kabilah Fulan ada seorang yang amanah!” kata mereka. Artinya, dari
ratusan atau bahkan ribuan anggota kabilah tersebut hanya ada satu yang amanah!
Sungguh mengerikan dan ironis.
Agaknya memang seperti itulah kenyataannya. Amanah dan kejujuran
telah demikian mahal nilainya. Kalaulah di zaman sahabat amanah telah
sedemikian langka hingga Hudzaifah tak lagi mau berjual-beli dengan siapa saja,
maka bagaimana pula di zaman kita?
Kendati demikian, kita tidak boleh berputus asa karenanya. Bahkan
sebaliknya. Hadis di atas bukan sekadar memberitakan, namun juga menjadi
ancaman. Jangan sampai kita menjadi orang pandai, baik, dan ulet di mata orang
akan tetapi tak ada keimanan yang tersisa dalam dada. Artinya, siapa tidak
memiliki sifat amanah berarti bukanlah orang beriman sejati. Sebab sifat amanah
sangat erat kaitannya dengan iman.
Karenanya, dalam hadis lain disebutkan, “Tidak ada iman bagi yang tidak punya sifat amanah.” (HR.
Ahmad & Abu Ya’la dari Anas bin Malik, dengan derajat hasan lighairihi). Hadis ini juga menyiratkan betapa
mahalnya sifat amanah. Sebab makin langka sesuatu, otomatis semakin mahal
harganya. Karenanya, Nabi Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pedagang yang amanah, jujur, dan Muslim, akan bersama para syuhada
di hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘anhuma).[2]
Itulah Amanah. Kalimat indah yang mudah diucapkan namun amat sulit
ditemukan. (PM)
Pull-Quote:
1. “Tidak ada iman bagi yang tidak punya sifat amanah.” (HR. Ahmad & Abu Ya’la dari Anas bin Malik)
2. Nabi Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pedagang yang amanah, jujur, dan Muslim, akan bersama para syuhada
di hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
[1] Banyak ulama yang menafsirkan kata amanah di sini dengan
keimanan itu sendiri, yang bila menhunjam kuat dalam hati, niscaya semua
perintah agama akan ditegakkan, dan semua larangan pasti dijauhi. Termasuk
perintah untuk bersikap amanah dan jujur dalam bermuamalah. Lihat: Syarah Shahih Muslim oleh An Nawawi 2/168.
[2]
Hadis ini dinyatakan hasan-shahih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih at Targhieb wat Tarhieb (No.
1783). Dalam lafazh lainnya disebutkan, “…bersama para nabi, shiddieqien, dan
syuhada”.
0 komentar:
Posting Komentar