Selamatan kematian adalah tradisi yang tersebar di tengah-tengah
masyarakat kita. Selamatan ini diadakan pada hari ke-7, 40, 100 dan 1000. Acara
ini dilakukan dalam rangka mengirim do’a kepada mayit, dilakukan dengan
keluarga mayit mengumpulkan jama’ah, di dalamnya juga tuan rumah menyajikan
makanan untuk para tamu. Bahkan bukan dengan itu saja, kadang disisipi amplop.
Mengenai hal ini sebenarnya telah disinggung oleh ulama masa silam, terutama
dari madzhab Syafi’i. Mereka membahasnya pada masalah niyahah (meratapi mayit), sebagiannya menyinggung dalam Kitabul Janaiz.
Larangan
Niyahah
Niyahah adalah jika seseorang bersedih dan menangisi mayit serta
menghitung-hitung berbagai kebaikannya. Ada yang mengartikan pula bahwa niyahah adalah menangis dengan suara keras dalam rangka meratapi
kepergian mayit atau meratap karena di antara kemewahan dunia yang ia miliki
lenyap. Niyahah adalah perbuatan terlarang. Demikian penjelasan penulis ‘Aunul Ma’bud ketika menjelaskan maksud niyahah. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 8: 277.
Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan
hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Malik Al
Asy’ariradhiyallahu ’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
« أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى
مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ
وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ».
وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan
jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran
leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu,
dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan
niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari
kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta
mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim
no. 934).
Ulama besar Syafi’i, Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mengenai orang
yang melakukan niyahah lantas tidak bertaubat sampai mati dan disebutkan sampai
akhir hadits, menunjukkan bahwa haramnya perbuatan niyahah dan hal ini telah
disepakati. Hadits ini menunjukkan diterimanya taubat jika taubat tersebut
dilakukan sebelum mati (nyawa di kerongkongan).” (Syarh Muslim, 6: 235)
Yang
Mesti Dilakukan pada Keluarga Mayit
Disunnahkan bagi tetangga orang yang meninggal dunia untuk
memberikan makanan kepada keluarga mayit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
memerintahkan untuk berbuat baik pada keluarga Ja’far,
اصْنَعُوا
لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah
dihinggapi perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu
Daud no. 3132 dan Tirmidzi no. 998. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan)
Coba lihat bagaimana yang dilakukan dalam selamatan kematian
dengan ritual yasinan dan tahlilannya. Keluarga mayit malah dibuat susah ketika
keluarganya meninggal dunia. Bukan mereka yang diberikan makan, malah yang jadi
tradisi, keluarga mayitlah yang jadi kerepotan menyediakan makan untuk para
tamu. Seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam yang ajarannya mengandung
pelajaran untuk berbuat baik terhadap sesama.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang disunnahkan ketika ada yang meninggal dunia
adalah keluarga mayit yang dibuatkan makanan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 316).
Di dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (12: 290) disebutkan bahwa terlarang keluarga mayit
membuatkan makanan untuk warga karena hal seperti ini malah menambah kesedihan
mereka, malah membebani kesusahan di atas kesusahan. Hal ini pun serupa dengan
perbuatan orang Jahiliyah. Ada riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al
Bajaliy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا
نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ
دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap berkumpul di kediaman si mayit dan makanan yang
dibuat (oleh keluarga mayit) setelah penguburannya merupakan bagian dari
niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ahmad 2: 204. Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
Imam
Syafi’i dan Pengikutnya Melarang Selamatan Kematian
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al Umm berkata,
وأكره
النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما أمر الله
عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك
يجدد الحزن
“Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah
kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan
seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’
(innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tamyaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada
tangisan. Karena berkumpul seperti ini pun hanya membuat keluarga mayit
mengungkitu kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318).
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ menukil perkataan penulis Asy Syaamildan ulama lainnya,
وأما
اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة
“Adapun yang dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan
dan mengumpulkan orang-orang di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan dalam
hal ini. Hal ini termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan.” Demikian perkataan penyusun Asy Syaamil lantas Imam Nawawi
pun menukilkan hadits Jarir bin ‘Abdillah di atas. (Lihat Al Majmu’, 5: 320).
Sama persis yang dinukilkan oleh Imam Nawawi, dikatakan pula
oleh Ibnu Taimiyah,
وَأَمَّا
صَنْعَةُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا يَدْعُونَ النَّاسَ إلَيْهِ فَهَذَا غَيْرُ
مَشْرُوعٍ وَإِنَّمَا هُوَ بِدْعَةٌ
“Adapun jika keluarga mayit yang membuatkan makanan dan mengundang
jama’ah untuk datang, seperti ini tidak ada tuntunan dan termasuk bid’ah.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 316).
Madzhab
Syafi’i Membatasi Ta’ziyah Hanya Tiga Hari
Sebagaimana disebutkan dalam Matan Abi Syuja’ atau Matan Al Ghoyah wat Taqrib,
ويعزى
أهله إلى ثلاثة أيام من دفنه
“Keluarga mayit dita’ziyah selama tiga hari setelah pemakaman si
mayit.” Ini adalah fikih dalam madzhab Syafi’i. Namun sayangnya fikih
ini disalahi oleh penganut madzhab Syafi’i di negeri kita. Karena acara
selamatan kematian dilakukan setelah 7, 40, 100 bahkan 1000 hari? Bukankah hal
ini menyalahi aturan madzhab sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ di atas?
Yang dimaksud ta’ziyah adalah memotivasi agar keluarga mayit
tetap sabar dan didoakan pada mereka agar mendapatkan pahala atas kesabaran
mereka pada musibah. Kata Syaikh Musthofa Al Bugho, pakar fikih Syafi’i di
zaman ini, berkata, “Dimakruhkan ta’ziyah setelah lebih dari tiga hari kecuali
bagi seorang musafir. Karena kesedihan setelah tiga hari biasa sudah hilang,
ini umumnya. Jadi, tidak perlu kesedihan itu diungkit dan diingat-ingat lagi.”
Lihat At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, hal. 96.
Sedangkan dalil lama ta’ziyah adalah tiga hari karena
berdasarkan masa ihdad(berkabung) adalah tiga hari kecuali berkabungnya istri ketika
ditinggal mati suami. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
لاَ
يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى
مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari,
kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491). Hadits ini
menjadi dalil jumhur ulama (mayoritas) mengenai lama ta’ziyah adalah tiga hari.
Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 12: 288.
Yang mengaku sebagai pengikut Imam Syafi’i seakan-akan terdiam
jika tahu bahwa Imam Syafi’i, Imam Nawawi dan ulama Syafi’iyah lainnya
menentang selamatan kematian 7, 40, 100 bahkan 1000 hari. Karena berkumpul di
kediaman si mayit seperti ini termasuk niyahah (meratapi mayit) yang terlarang, bahkan dinilai sebagai
bid’ah oleh ulama Syafi’iyah sendiri. Namun ulama di negeri kita seakan-akan
memejamkan mata dari kebenaran ini. Padahal nyata bahwa pernyataan ini
disebutkan dalam Al Umm, karya Imam Syafi’i dan kitab-kitab ulama Syafi’i lainnya.
Hanya Allah yang beri taufik dan hidayah.
@ Maktab Jaliyat Bathaa’, Riyadh-KSA, 22 Shafar 1434 H
0 komentar:
Posting Komentar