Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Pembahasan kali ini adalah pembahasan terakhir dari kami
mengenai aqiqah. Kita masuk pada pembahasan waktu pelaksanaan aqiqah dan beberapa
hal lainnya. Semoga bermanfaat.
Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini
berdasarkan hadits,
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan
untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol.
3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)
Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?
Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara
kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan
untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani
lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga
butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh
ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk
pelaksanaan aqiqah.”[1]
Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?
Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم
الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي
يليها
“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh
hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut
dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4]Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.
Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam
pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga
aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).
Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam
sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari
Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06).
Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.
Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?
Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari
kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada
hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah
hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia
baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak
dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari
keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan
pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah
dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah
tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi,
maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya
sendiri.[5]
Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah
dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik
berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama.
Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya,
maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.
Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu
sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini
berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah
tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap
jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah
satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]. Wallahu a’lam.
Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia
lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”
Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam
kandungan sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi
yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan
dibangkitkan pada hari kiamat.”[7]
Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika
seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”
Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah
kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak
tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari
kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at
pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak
tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena
aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika
itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah.
Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan
berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak
mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”
Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?”
Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu
bila genap empat bulan dalam kandungan.”[8]
Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak
An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging aqiqah) disunnahkan
untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan
seseorang itu berbuat baik dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga
menunjukkan akhlaq mulia dan tanda kedermawanan.[10]
Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah– menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak
disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih
tepat. Lebih baik lagi jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat
yang lebih tepat.”[11]
Mengundang Makan-Makan Aqiqah
Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil sembelihan aqiqah tersebut
yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat dari Imam Asy Syafi’i. Namun
jika mesti mengundang orang untuk menikmatinya (di rumah), itu juga tidak
mengapa.”[12]
Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk
menyantap hasil sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan
ketika nikah.
Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah
wal Ifta’ pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah
untuk aqiqah?”
Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah
sesuatu yang disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran.
Sedangkan walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa
sembelihan atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang
disunnahkan. Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama
bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang
baik.”[13]
Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah
Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu
tidak dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan
selamat.[14]
Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak dimakruhkan jika daging sembelihan
aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang melarang hal ini.”[15]
Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah
karena tidak ada dalil shahih yang melarang hal ini.[16]
Tidak Perlu Mengusapkan Darah Hewan Aqiqah pada Bayi
Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di
saat Islam itu datang.
Dari Buraidah, ia berkata,
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ
إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا
فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ
وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ.
“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara
kami lahir anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala
anaknya tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa
Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta
melumurinya dengan za’faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits inihasan shahih)
Alhamdulillah, usai sudah bahasan kami tentang aqiqah. Semoga bermanfaat bagi
pengunjung Rumaysho.com.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Diselesaikan di Panggang-GK, 7 Rajab 1431 H, 20/06/2010
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan
Khon, hal. 349, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Waktu siang dihitung dari Shubuh hingga Maghrib.
[3] Waktu malam dihitung dari Maghrib hingga Shubuh.
[4] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’
Ahlalhdeeth.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011.
[6] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
[7] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11
[8] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42
[9] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya
bin Syarf An Nawawi, hal. 538, Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
[11] Kifayatul Akhyar,hal. 706
[12] Idem
[13] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’, pertanyaak keempat dari Fatawa no. 6779, 11/443. Fatwa ini
ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua;
Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan
dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.
[14] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706.
[15] Mughnil Muhtaj, hal. 392.
0 komentar:
Posting Komentar