Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala karunia dan nikmat.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta
setiap orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.
Pembahasan kali ini adalah kelanjutan artikel hadiah di hari
lahir. Saat ini kita akan masuk pada pembahasan aqiqah. Untuk serial aqiqah
pertama ini, kami angkat pembahasan seputar hukum aqiqah dan siapa yang
dituntut melaksanakan aqiqah. Semoga bermanfaat.
Pengertian Aqiqah
Mengenai pengertian aqiqah disebutkan dalam kitab-kitab para
ulama –semisal dalam kitab fiqh Syafi’iyah-, yaitu aqiqah berasal dari kata (عَقَّ يَعِقُّ). Secara bahasa, aqiqah adalah sebutan untuk rambut yang berada
di kepala si bayi ketika ia lahir. Sedangkan secara istilah, aqiqah berarti
sesuatu yang disembelih ketika menggundul kepala si bayi. Aqiqah dinamakan
dengan sebabnya karena menyembelihnya berarti (يُعَقُّ), yaitu memotong, sedangkan rambut kepala si bayi dicukur pula
ketika itu.[1]
Pensyariatan Aqiqah
Aqiqah adalah sesuatu amalan yang disyari’atkan oleh kebanyakan
ulama semacam Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, para fuqoha tabi’in, dan para
ulama di berbagai negeri. Dalil pensyariatan aqiqah adalah sebagai berikut.
Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir.
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ
الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ
عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »
“Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada (setiap) anak laki-laki (yang
lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan
gangguan darinya.” (HR. Bukhari no. 5472)
Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya
pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol.
3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)
Ketiga: Hadits –Ummul Mukminin- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ
أَنَّهُمْ دَخَلُوا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوهَا عَنِ
الْعَقِيقَةِ فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ
وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنْ عَلِىٍّ وَأُمِّ كُرْزٍ
وَبُرَيْدَةَ وَسَمُرَةَ وَأَبِى هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَنَسٍ
وَسَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَحَفْصَةُ هِىَ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى
بَكْرٍ الصِّدِّيقِ.
Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah masuk menemui Hafshah binti
‘Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang hukum aqiqah. Hafshah
mengabarkan bahwa ‘Aisyah pernah memberitahu dia, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan
para sahabat untuk menyembelih dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya[2]) untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan.”
Ia berkata, “Dalam bab ini ada hadits serupa dari Ali dan ummu
Kurz, Buraidah, Samurah, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru, Anas, Salman bin Amir
dan Ibnu Abbas.” Abu Isa berkata, “Hadits ‘Aisyah ini derajatnya hasan shahih, sementara maksud Hafshah dalam hadits tersebut adalah
(Hafshah) binti ‘Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq.” (HR. Tirmidzi no.
1513. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat inishahih)
Keempat: Hadits Ibnu ‘Abbas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا
كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor gibas
(domba jantan).” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits inishahih[3])
Hukum Aqiqah
Setelah kita melihat hadits-hadits tentang pensyariatan aqiqah
di atas, lantas apakah hukum aqiqah itu sendiri? Wajib ataukah sunnah?
Mengenai masalah ini, para ulama terdapat silang pendapat.
Berdasarkan hadits,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ
فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا
“Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada (setiap) anak laki-laki (yang
lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya” (HR. Bukhari no. 5472), juga berdasarkan hadits lainnya,
sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al
Hasan Al Bashri. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum
aqiqah adalah sunnah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah
itu tidak wajib dan juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Syaukani
dalam Nailul Author–[4]
Hadits dari jumhur ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah
sunnah berpegang pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ
وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang senang untuk mengaqiqahi anaknya, maka
lakukanlah.”[5] Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib karena di sini dikatakan boleh memilih. Dalil
ini adalah indikasi yang memalingkan perintah yang disebutkan dalam
hadits-hadits yang memerintahkan aqiqah kepada perintah sunnah.[6]
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya
yang menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan tidak pula sunnah?
Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath– mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur ro’yi) yang mengingkari sunnahnya aqiqah telah menyelisihi
hadits-hadits shahih mengenai hal ini. Sebagian mereka berdalil dengan hadits
riwayat Imam Malik dalam Al Muwatho’ dari Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari
ayahnya, ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا أُحِبّ الْعُقُوق
“Aku tidak menyukai aqiqah”, seakan-akan
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyukai penamaan aqiqah. Lalu beliau bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَد
فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسَك عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ
Dalam riwayat Sa’id bin Manshur, dari Sufyan, dari Zaid bin
Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari pamannya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
mengenai aqiqah sedangkan beliau di mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan
semacam tadi.” Hadits ini pun memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya, dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan
satu dan lainnya. Abu ‘Umr mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits
tersebut marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari
dua riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy Syaikh juga telah mengeluarkan hadits
tentang aqiqah dari Abu Sa’id, namun hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang menyatakan tidak disyari’atkannya
aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas menetapkan disyariatkannya aqiqah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits adalah lebih utama menyebut
aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah, dan dilarang menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam dari beberapa sahabat
mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak disukai pula menyebut Isya
dengan ‘atamah.”[8]
Kesimpulan: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana
pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Sedangkan
kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang
menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah sepantasnya bagi orang yang mampuyang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’ala tidak meninggalkan syari’at yang mulia ini.
Sayyid Sabiq –rahimahullah– memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, “Hukum
aqiqah adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan), walaupun si ayah (yang
membiayai aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan sulit. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
tetap melakukan aqiqah , begitu pula sahabatnya. Telah diriwayatkan oleh
penyusun kitab sunan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-masing
dengan satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan aqiqah adalah Al
Laits dan Daud Azh Zhohiri.”[9]
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika si ayah dalam keadaan sulit
sekalipun hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang beliau utarakan senada dengan
perkataan Imam Ahmad –rahimahullah-. Imam Ahmad pernah berkata,
إذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا
يَعُقُّ ، فَاسْتَقْرَضَ ، رَجَوْت أَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، إحْيَاءَ
سُنَّةٍ .
“Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi (buah
hatinya), maka hendaklah ia mencari utangan. Aku berharap ia mendapatkan ganti
di sisi Allah karena ia berarti telah menghidupkan ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”[10]
Manfaat Aqiqah
Dalam hadits disebutkan,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.”
Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud hadits di atas.
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa jika seorang anak tidak diaqiqahi, dia
tidak akan memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya.[11]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin juga pernah menjelaskan
maksud hadits di atas. Beliau –rahimahullah– mengatakan,
“Sebagian ulama mengartikan “setiap anak digadaikan dengan
aqiqahnya” bahwasanya aqiqah adalah sebab anak tersebut terlepas dari
kegelisahan dalam maslahat agama dan dunianya. Hatinya akan begitu lapang
setelah diaqiqahi. Jika seorang anak tidak diaqiqahi maka keadaannya akan
selalu gelisah layaknya orang yang berutang dan menggadaikan barangnya. Inilah pendapat yang lebih tepattentang maksud hadits
tersebut. Jadi, aqiqah adalah sebab seorang anak akan mendapatkan kemaslahatan,
hatinya pun tidak begitu gelisah dan semakin mudah dalam aktivitasnya.”[12]
Siapa yang Dituntut Melaksanakan Aqiqah?
Aqiqah dituntut pada ayah selaku penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari harta ayah dan bukan harta anak.
Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah, namun dengan seizin ayahnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Subulus Salam, Ash Shon’ani –rahimahullah– mengatakan, “Menurut Imam Asy Syafi’i, aqiqah itu dituntut
dari setiap orang yang menanggung nafkah si bayi. Sedangkan menurut ulama
Hambali, aqiqah itu dituntut khusus dari ayah, kecuali jika ayahnya tersebut
mati atau terhalang tidak bisa memenuhi aqiqah.”[13]
Dalam masalah ini berarti ada perselisihan pendapat, siapakah
yang dituntut melaksanakan aqiqah. Namun tentu saja yang utama adalah ayah yang
menanggung biaya ini, apalagi ayahlah yang sudah jelas penanggung nafkah
keluarga. Sehingga kurang tepat jika aqiqah dibebankan pada anak atau ibu yang
sama sekali bukan orang yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga. Wallahu a’lam.
Lalu bagaimanakah dengan aqiqah yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap cucunya –Al Hasan dan Al Husain-?
Dijawab oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini –rahimahullah-, “Aku jawab bahwa yang dimaksud dengan aqiqah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada keduany adalah perintah beliau kepada kedua orang
tuanya, atau boleh jadi pula beliau yang memberikan hewan yang akan dijadikan
aqiqah, atau barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain menjadi tanggungan nafkah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang tua mereka adalah orang
yang kurang mampu. Namun jika aqiqah itu diambil dari harta anak, maka itu
tidak dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya. Karena aqiqah itu
termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua sehingga tidak boleh hewan aqiqah diambil dari
harta anak. ”[14]
Bagaimana Jika Tidak Mampu Aqiqah? Apakah Harus Mengaqiqahi Diri
Sendiri Ketika Dewasa?
Aqiqah tentu saja melihat pada kemampuan orang yang
bertanggung jawab untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16).
Asy Syarbini –rahimahullah– menjelaskan, “Jika orang tua tidak mampu melakukan aqiqah pada
saat kelahiran, namun setelah itu ia mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah
sebelum hari ketujuh kelahiran, maka ketika itu ia disunnahkan melaksanakan
aqiqah. Jika orang tua mendapati kemudahan pelaksanaan aqiqah setelah hari
ketujuh dan masih tersisa sedikit waktu istri mengalami nifas, maka sebagian
ulama belakangan tidak memerintahkan untuk dilaksanakan aqiqah. Akan tetapi
ulama Syafi’iyah menganjurkan dilaksanakannya aqiqah jika masih dalam masa
nifas, inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al Anwar.”[15]
Lalu bagaimana jika bayi sebenarnya mampu diaqiqahi ketika lahir,
namun sampai dewasa, ia belum juga diaqiqahi?
Menurut ulama Syafi’iyah, orang tua yang mampu mengaqiqahi, ia
tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa. Jika sampai
dewasa, anak tersebut belum juga diaqiqahi, maka ia boleh mengaqiqahi dirinya
sendiri. Sedangkan sebagian orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat sebagai Nabi, dalam Al Majmu’ disebut sebagai pendapat yang batil.[16]
Sebagaimana pula dikatakan dalam salah satu kitab ulama
Syafi’iyah, Kifayatul Akhyar, “Riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi adalah riwayat yang dho’if (lemah) dari setiap jalannya.”[17]
Pendapat yang bagus tentang masalah ini
diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ada sebuah pertanyaan
yang pernah diajukan kepada beliau –rahimahullah-, “Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia
tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih
dibolehkannya aqiqah?”
Beliau –rahimahullah– memberikan jawaban –di antaranya-,
“Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada
saat waktu dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun
mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang
miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan
zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang
tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena
ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu melaksanakan aqiqah ketika ia
lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu
anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.”[18]
Intinya, untuk masalah ini kembali ke kemampuan sang ayah
ketika bayi itu lahir. Jika ayahnya di hari kelahiran termasuk orang
yang tidak mampu untuk melaksanakan aqiqah, maka aqiqahnya jadi gugur termasuk
pula ketika ia dewasa. Sedangkan jika sang ayah adalah orang yang mampu ketika
itu, maka sampai dewasa pun si anak dituntut untuk diaqiqahi. Adapun jika si
anak mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, maka ini pendapat yang perlu
dikritisi. Karena Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa)
sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[19].Wallahu a’lam.
Pembahasan aqiqah tidak hanya sampai di sini, kita masih
melanjutkan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan aqiqah.
Semoga Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa taimmush sholihaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Panggang-GK, 25 Jumadits Tsani 1431 H, 07/06/2010
[1] Lihat Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati
Ma’ani Alfazhi Al Minhaj (Kitab Syarh Minhaj Ath Tholibin), Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, 4/390, Darul
Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H.
[2] Sebagaimana keterangan dari Sayyid Sabiq dalam catatan
kaki kitab Fiqh Sunnah, 3/327, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut-Lebanon.
[3] Namun pembahasan mengenai hadits ini -insya Allah- akan
disinggung selanjutnya pada pembahasan “hewan yang diaqiqahi” dalam tulisan
serial kedua.
[4] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 8/154,
Mawqi’ Al Waroq.
[5] HR. Ahmad 2/182. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan
bahwa sanad hadits ini hasan.
[6] Nailul Author, 8/154.
[8] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul
Ma’rifah, 1379.
[9] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/326, Darul Kutub Al ‘Arobi,
Beirut.
[10] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr,
cetakan pertama, 1405
[11] Subulus Salam Syarh Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il
Ash Shon’ani, Ta’liq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, 4/337, Maktabah Al
Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[12] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin, kaset 95, no. 19.
[13] Idem.
[14] Mughnil Muhtaj, 4/391.
[15] Idem.
[16] Lihat Mughnil Muhtaj, 4/391.
[17] Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin
Abu Bakr bin Muhammad bin Al Husaini Al Hushni Ad Dimasyqi Asy Syafi’i, hal.
705, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1422 H.
[18] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin, kaset 234, no. 6
[19] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
0 komentar:
Posting Komentar