Al-jallalah (الجلالة), dengan jim difathah dan lam ditasydid,
berasal dari bangunan kata yang menunjukkan makna berlebihan. Dia adalah hewan
pemakan tinja, baik dia adalah sapi atau kambing atau onta atau dari jenis
unggas seperti ayam, angsa dan selainnya[1].
Ada dua pendapat di kalangan tentang hukum memakannya:
Pendapat pertama: Haram memakannya. Ini adalah salah satu riwayat
dari Ahmad[2] dan
salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah[3].
Mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah r melarang dari memakan jallalah dan meminum
susunya.[4]”
Hadits ini jelas menunjukkan pengharaman makan daging jallalah karena
asal dalam hukum larangan adalah haram.
Pendapat kedua: Dimakruhkan memakan dagingnya. Ini adalah riwayat
kedua dari Ahmad, yang paling shahih dalam mazhab Asy-Syafi’iyah[5] dan
merupakan mazhab Al-Hanafiah[6].
Karena pelarangnya tidak berkaitan dengan zat hewan tersebut akan tetapi
berkaitan dengan sebab lain (makanan) yang masuk kepadanya dan itu tidak
melazimkan hukum apa-apa kecuali jika dagingnya berubah, hanya saja itu tetap
tidak menjadikan dia haram untuk dimakan.
Mereka berselisih menjadi beberapa pendapat mengenai kadar najis
yang jika kadar ini dimakan oleh seekor hewan maka dia dianggap jallalah dan
berlaku padanya hukum ini:
Pendapat pertama: Jika dia lebih banyak memakan
yang najis daripada memakan makanan lainnya (maka dia jallallah). Tapi jika
tidak, maka itu tidak berpengaruh (baca: tidak dihukumi jallalah). Ini adalah
salah satu pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah[7],
Al-Hanafiah[8] dan
Asy-Syafi’iyah[9].
Karena jika kebanyakan makanannya adalah najis maka itu akan merubah dagingnya,
sehingga dia diharamkan untuk memakannya sebagaimana makanan yang busuk[10].
Pendapat kedua: Dia banyak memakan najis, kalau
sedikit maka tidak mengapa (baca: tidak dihukumi jallalah). Ini adalah pendapat
lain dalam mazhab Al-Hanabilah[11].
Perbedaan antara ‘lebih banyak’ dengan ‘banyak’ saya kira jelas.
Pendapat ketiga: Yang menjadi patokan bukan masalah banyak
tidaknya, tapi yang menjadi patokan adalah baunya. Jika tercium dari
keringatnya dan selainnya bau najis maka dia asalah jallalah, dan
jika tidak maka tidak. Ini adalah pendapat yang paling benar dalam mazhab
Asy-Syafi’iyah[12].
Para ulama yang mengharamkan jallalah berselisih
menjadi beberapa pendapat mengenai lama waktu yang jika jallalah itu
dikurung (sehingga tidak makan najis, pent.) selama itu maka dagingnya menjadi
halal:
Pertama: Ini adalah pendapat Asy-Syaifi’I dimana dia
berkata, “Tidak batasan waktu tertentu dalam penentuan kadar lamanya,
yang menjadi patokan adalah waktu yang diketahui dengan kebiasaan atau sangkaan
besar bahwa bau najisnya sudah hilang.[13]”
Kedua: Lama pengurungan jallalah adalah tiga
hari, baik dari jenis unggas maupun selainnya. Ini adalah salah satu riwayat
dari Imam Ahmad[14] dan
merupakan pendapat Abu Hanifah dalam masalah ayam[15] tapi
dia hanya menghukuminya sunnah.
Pendapat ketiga: Ada rincian sebagai berikut: Unggas dikurung
selama tiga hari, kambing selama tujuh hari dan selainnya selama 40 hari.
Perincian ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad[16].
Tarjih dari ketiga masalah
yang berkenaan dengan jallalah.
1. Hukum memakan dagingnya: Kelihatannya yang rajih adalah haram
karena jelasnya pelarangan yang ada serta tidak ada satu pun dalil yang
memalingkannya jallalah.
2. Adapun yang menjadi patokan dalam sifat jallalah, maka yang
rajih adalah jika kebanyakan makanannya adalah najis. Ini terambil dari
lafazh jallalah, yang menunjukkan makna mubalaghah (berlebihan)
yang memberikan pemahaman makna ‘yang terbanyak’
3. Adapun lama waktu kurungannya, maka yang rajih adalah tidak
ditentukan, tapi kapan menurut sangkaan besar bahwa bekas najis itu sudah
hilang darinya. Karena pembatasan waktu tidak ada dalilnya, sementara tujuannya
adalah yang terlarang itu dihilangkan.
Hikmah dilarangnya makan
daging jallalah.
Hikmahnya -wallahu a’lam- adalah meninggikan Islam serta para
pemeluknya dari menggunakan hal-hal yang khabits, walaupun dengan jalan secara
tidak langsung, karena itu akan mendatangkan pengaruh yang jelek pada kesehatan
dan jalan hidup seseorang. Karena orang yang mengonsumsi sesuatu akan sama
dengan apa yang dia konsumsi, sehingga kejelekan yang ada pada makanan akan
berpindah kepada orang yang memakannya dan dia akan berakhlak dengan akhlaknya.
[Diterjemah dari kitab Al-Ath’imah karya Al-Fauzan, pada bab
kedua, pembahasan pertama, dan masalah keenam]
[1] Nailul Authar (8/128)
[2] Hasyiah Al-Muqni’ (3/529)
[3] Al-Minhaj Syarh Al-Mughni (4/304)
[4] HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`i dan At-Tirmidzi
menghasankannya. Lihat Al-Muntaqa beserta syarahnya Nailul
Authar (8/128)
[5] Ibid
[6] Al-Bada`i’ (5/309)
[7] Al-Muqni’ (3/529)
[8] Al-Bada`i’ (5/39)
[9] Al-Majmu’ karya An-Nawawi (9/28)
[10] Bada`i’ Ash-Shana`i’
[11] Hasyiah Al-Muqni’ (3/529)
[12] Al-Majmu’ (9/28)
[13] Ibid
[14] Hasyiah Al-Muqni’ (3/530)
[15] Al-Bada`i’ (5/40)
[16] Ibid
rumaysho.com konsultasisyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar