Memandang wanita yang bukan mahram asalnya tidak dibolehkan. Jadi
boleh ketika hajat. Namun ada beberapa rincian mengenai hukum memandang wanita
sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ dalam matan Al Ghoyah wat Taqrib ditambah penjelasan di
catatan kaki yang kami sajikan. Moga bermanfaat.
Hukum seorang pria memandang wanita dirinci menjadi tujuh:
Ketiga: Memandang wanita yang masih mahramnya atau hamba sahayanya yang
telah menikah dengan yang lain, boleh memandang tubuhnya selain antara pusar
dan lutut.[3]
Keempat: Memandang demi alasan menikahi wanita, dibolehkan memandang
wajah dan kedua telapak tangan.[4]
Keenam: Memandang wanita karena keperluan persaksian atau muamalat,
boleh melihat pada wajah saja.[6]
Ketujuh: Memandang hamba sahaya yang ingin dibeli, boleh memandang pada
tempat yang dibutuhkan untuk dibolak-balikkan.[7]
[1] Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.”
(QS. An Nur: 30)
[2] Dalam Fathul Qorib
(hal. 225), “Yang tepat boleh memandang kemaluan (istri atau budaknya yang ia
nikahi), namun dihukumi makruh.” Makruhnya karena dilihat dari sisi adab (At
Tadzhib, hal. 174).
Namun yang benar boleh antara suami istri saling memandang aurat
satu dan lainnya. Dalilnya di antaranya hadits,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak yang kau miliki.”
(HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2769, hasan). Ibnu Hajar berkata, “Yang
dipahami dari hadits ‘kecuali dari istrimu’ menunjukkan bahwa istrinya
boleh-boleh saja memandang aurat suami. Hal ini diqiyaskan pula, boleh saja
suami memandang aurat istri.” (Fathul Bari, 1: 386). Dan yang berpandangan
bolehnya memandang aurat satu sama lain antara suami istri adalah
pendapat jumhur ulama (mayoritas). (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 32: 89)
[3] Memandang wanita yang
masih mahram dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka” (QS. An Nur: 31). Antara pusar dan lutut termasuk aurat bagi
selain suami istri. Perhiasan yang dimaksud dalam ayat di atas tergantung
kondisi, yaitu di atas lutut di bawah pusar. (Lihat At Tadzhib, hal. 174-175)
[4] Dalam riwayat Muslim
dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah berada di sisi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu datang seseorang dan ia mengabarkan pada beliau bahwa ia
ingin menikahi wanita Anshar. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata padanya, “Apakah engkau telah melakukan nazhor
(memandang) dirinya?” “Belum”, jawab dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas bersabda,
فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِى أَعْيُنِ الأَنْصَارِ
شَيْئًا
“Pergilah dan pandanglah dia karena di mata wanita Anshar terdapat
sesuatu.” Yaitu mata wanita Anshar itu berbeda dengan mata wanita
lainnya sehingga perlu dilihat agar tidak terkejut. (At Tadzhib, hal. 175)
Memandang wanita yang ingin dinikahi di sini hanya pada wajah dan
kedua telapak tangan karena tidak ada hajat untuk melihat anggota tubuh
lainnya. (Lihat At Tadzhib, hal. 176)
[5] Memandang wanita lain
dalam rangka berobat dibolehkan asalkan dengan adanya mahrom atau suami dan
tidak ada wanita lain yang bisa mengobatinya. Dan jika ada dokter muslim, maka
jangan beralih pada lainnya. Jika hal ini berlaku pada wanita, maka sama halnya
pada laki-laki. Laki-laki tidaklah boleh berobat pada dokter wanita jika ada
dokter laki-laki yang bisa mengobatinya. Jika tidak didapati demikian, maka
disyaratkan jangan sampai terjadi kholwat. (Lihat At Tadzhib, hal. 176)
[6] Memandang wanita lain
dalam rangka muamalah, maka boleh jika ada hajat untuk mengenali wanita
tersebut dan tidak bisa kecuali dengan melihatnya dan tidak bisa juga dilakukan
di balik hijab. Namun syarat yang harus dipenuhi adalah tidak adanya kholwat
(campur baur). (Lihat At Tadzhib, hal. 176)
[7] Melihat budak yang
ingin dibeli dibolehkan selama bukan aurat antara pusar dan lutut. (Lihat At
Tadzhib, hal. 176).
Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Warak-Girisekar,
Panggang-GK, 5 Syawwal 1433 H
0 komentar:
Posting Komentar