Apakah semua orang kafir pada zaman ini halal darahnya?
Penindasan yang dilakukan oleh negara super power Amerika dan
sekutunya terhadap negara-negara Islam yang lemah, juga intimidasi (tekanan dan
ancaman) yang dialami umat Islam di Eropa dan Amerika oleh sebagian warga sipil
memunculkan pemahaman bahwa setiap orang kafir layak diperangi
dan halal darahnya. Benarkah demikian?
Pertanyaan:
Kami sering membaca pernyataan ulama semisal Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan selainnya yang menyatakan, siapa yang menghina Allah, rasul-Nya, dan agama Islam atau mempraktikkan sihihr maka halal darahnya. Apakah setiap kafir yang ada sekang halal darahnya? Baik yang sudah sampai dakwah Islam kepadanya ataupun belum.
Pertanyaan:
Kami sering membaca pernyataan ulama semisal Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan selainnya yang menyatakan, siapa yang menghina Allah, rasul-Nya, dan agama Islam atau mempraktikkan sihihr maka halal darahnya. Apakah setiap kafir yang ada sekang halal darahnya? Baik yang sudah sampai dakwah Islam kepadanya ataupun belum.
Jawaban:
Tidak Semua Orang Kafir Harus Dibunuh
Alhamdulillah
Pembicaraan ini kami bagi menjadi tiga bagian:
Pertama
Pertanyaan ‘apakah semua orang kafir halal darahnya pada saat ini. Baik yang sudah sampai dakwah padanya ataupun belum’, maka jawabannya, “Tidak, tidak setiap orang kafir halal darah dan hartanya.
Pertanyaan ‘apakah semua orang kafir halal darahnya pada saat ini. Baik yang sudah sampai dakwah padanya ataupun belum’, maka jawabannya, “Tidak, tidak setiap orang kafir halal darah dan hartanya.
Orang kafir itu terbagi menjadi dua kelompok: orang kafir yang
terjaga darah, harta, dan dilarang mengadakan permusuhan dengannya. Pertama
yaitu kafir mu’ahad yaitu orang kafir yang menjalin perjanjian
antaradirinya dengan kaum muslimin untuk tidak saling berperang dalam rentang
waktu yang sama-sama telah disepakati. Sebagaimana perjanjian yang dilakukan
oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan kafir Mekah
untuk tidak berperang selama sepuluh tahun, dalam perjanjian Hudaibiyah.
Golongan kedua, kafir zhimmi yaitu mereka yang
hidup di negara-negara Islam, maka antara mereka dan umat Islam terikat
akad dzimmah. Golongan ketiga adalah adalah kafir musta’man,
yaitu mereka yang masuk negara Islam dengan jaminan keamanan. Seperti: pebisnis
yang masuk ke negeri Islam dengan tujuan perdaganan atau sebab lainnya.
Demikian juga orang-orang yang mendapatkan visa untuk masuk negeri Islam
sebagai jaminan keamanan untuknya, maka mereka berhak mendapat pembelaan dan
tidak boleh dizalimi.
kelompok yang kedua adalah orang kafir yang memerangi umat Islam.
Maka tidak ada istilah perjanjian, jaminan keamanan, dan zhimmah antara umat
Islam dengan mereka. Inilah yang dikategorikan halal darah dan hartanya.
Imam Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan dalam
tafsirnya ketika menafsirkan
وَلاَتَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّباِلْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am:
151).
Ayat ini melarang membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah baik
dari kalangan kafir musta’man atau kafir mu’ahad kecuali
dengan sebab yang dapat dibenarkan.” (Jami’u Al-Ahakami Alquran, 7:134).
Syaikh Sa’di mengatakan, “(yang dimaksud ayat tersebut adalah)
membunuh orang-orang Islam, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, orang baik
atau jahat, dan orang kafir yang telah dilindungi dengan perjanjian. (Tafsir
As-Sa’di, Hal.257).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang membunuh seorang kafir mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau surga.
Padahal bau surga itu telah didapati dalam perjalanan 40 tahun.” (HR.
Bukhari no.3166).
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Maksudnya adalah siapa yang
memiliki perjanjian dengan orang Islam, baik itu dikategorikan akad jizyah,
gencatan senjata, atau jaminan keamanan dari seorang muslim.” (Fathu Al-Bari,
12: 259).
Kedua
Yang menegakkan hukuman terhadap orang yang murtad atau mu’ahad yang menyelisihi perjanjian adalah penguasa atau yang diserahi kewenangan (bukan ustadz, kiyai, ketua kelompok, ormas dsb.) bukan hak setiap orang yang bisa beresiko memunculkan kerusuhan dan membuka pintu kejelekan serta bencana.
Yang menegakkan hukuman terhadap orang yang murtad atau mu’ahad yang menyelisihi perjanjian adalah penguasa atau yang diserahi kewenangan (bukan ustadz, kiyai, ketua kelompok, ormas dsb.) bukan hak setiap orang yang bisa beresiko memunculkan kerusuhan dan membuka pintu kejelekan serta bencana.
Ibnu Muflih mengatakan, “Tidak boleh membunuh orang tersebut
kecuali pemimpin negara atau yang diserahi kewenangan olehnya baik dari
kalangan merdeka maupun budak menurut pendapat mayoritas ulama.” (Al-Mubdi’,
9:175).
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Tidak boleh bagi seseorang untuk
membunuhnya –orang murtad- walaupun status si murtad ini halal darahnya. Karena
eksekusi tersebut merupakan hak pemimpin dan juga eksekusinya dapat menyebabkan
kekacauan antar orang (apabila diserahkan pada yang tidak berwenang). Dengan
alasan inilah, tidak boleh diserahkan kasus ini kecuali hanya pada kepala
negara atau yang diserahi wewenang. (Syahrul Mumti’, 14:455).
ketiga
Ada perbedaan antara vonis kafir yang sifatnya umum (takfir mutlak) atau vonis kafir yang sifatnya individu tertentu (takfir mu’ayyan). Apabila diterapkan vonis kafir terhadap individu, maka harus terpenuhi syarat-syarat dan bebasnya individu tersebut dari hal-hal yang menghalangi jatuhnya vonis.
Ada perbedaan antara vonis kafir yang sifatnya umum (takfir mutlak) atau vonis kafir yang sifatnya individu tertentu (takfir mu’ayyan). Apabila diterapkan vonis kafir terhadap individu, maka harus terpenuhi syarat-syarat dan bebasnya individu tersebut dari hal-hal yang menghalangi jatuhnya vonis.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya teks-teks yang bernada
ancaman di dalam Alquran dan sunah dan keterangan-keterangan dari para ulama
mengenai vonis kafir, fasik, dan semacamnya tidak tertuju kepada individu
kecuali terdapat syarat-sayarat vonis dapat dijatuhkan dan bebasnya orang
tersebut dari penghalang-penghalangnya. Tidak ada perbedaan dalam permasalahn
ini, baik masalah pokok atau pun masalah yang bersifat furu’iyah (cabang). (Majmu’
Fatawa, 10:372).
Contohnya adalah siapa yang mengatakan demikian dan demikian
(perkataan-perkataan yang bisa membuat seseorang jadi kafir) maka dia telah
kafir. Akan tetapi jika dihadapkan dengan individu tertentu yang mengatakan perkataan
kufur atau melakukan suatu perbuatan kufur, maka wajib adanya verifikasi dalam
menghukuminya. Bisa jadi orang tersebut tidak mengetauhi hal itu atau salah
dalam menafsirkan, atau bisa jadi dia dipaksa melakukan hal itu. Hal ini dapa
menghalangi seseorang dari vonis kafir, meskipun ia mengatakan atau berbuat
sesuatu yang mengandung kekufuran.
Allahu a’lam
Kesimpulannya, masalah vonis kafir dan menghalalkan darah
seseorang bukanlah masalah yang ringan. Perlu adanya pembahasan dan ilmu yang
mendalam sebagai wujud kehati-hatian dalam permasalahan ini. Tidak seperti apa
yang kita saksikan akhir-akhir ini, seseorang yang masih sangat hijau dalam
masalah keislaman sudah berani menjatuhkan vonis kafir tanpa mengetahui
kaidah-kaidahnya. Hendaknya kita berhati-hati dan selalu menimbang maslahat dan
madarat sesuai dengan kaidah syariat serta tidak menyepelekan nasihat-nasihat
ulama-ulama rabbani. Mudah-mudahan Allah selalu menunjuki kita dan
memperbaiki keadaan Islam dan kaum muslimin.
Diterjemahkan dan disunting dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/107105
0 komentar:
Posting Komentar