Assalamu’alaikum,
Ana mau tanya atas kebingungan tentang bagaimana sebenarnya hukum tentang wanita yang memakai cadar. Ana sekarang udah menikah dengan awalnya akhwat yang berjilbab biasa saja (jilbab pendek), lalu setelah saya nasehati semampu ana, alhamdulillah mau memakai gamis panjang (tapi masih warna warni) dan jilbab yang lumayan besar. Alhamdulillah dakwah ahlussunnah telah sampai kepada ana akan tetapi sangat sulit untuk mendakwahkan kepada istri ana. Ana sering malu bertemu dengan ikhwan ahlussunnah yang bersama istri mereka yang bercadar sedangkan istri saya tidak. Saya sudah mencoba mencari buku terkait akan tetapi jawabannya berbeda-beda. Menurut Syaikh Albani, dalam buku Jilbab Wanita Muslimah, di sana beliau tidak mewajibkan cadar, dan seolah-olah melemahkan kedudukan cadar. Akan tetapi ketika melihat kitab fatwa terhadap wanita terbitan darul haq, disana banyak yang mewajibkannya termasuk Syaikh Fauzan, Bin Baz, Lajnah Daimah, dll. Saya jadi ragu. Akankankah saya perintahkan istri untuk bercadar, dan sebatas apa saya memerintah istri untuk menjadikannya bercadar. Besar harapan ana untuk dijawab pertanyaan ini. Jujur ana akhir-akhr ini selalu gelisah dan khawatir tentang keadaan ini. Semoga Allah selalu merahmati Anda. Jazakallah khair.
Ana mau tanya atas kebingungan tentang bagaimana sebenarnya hukum tentang wanita yang memakai cadar. Ana sekarang udah menikah dengan awalnya akhwat yang berjilbab biasa saja (jilbab pendek), lalu setelah saya nasehati semampu ana, alhamdulillah mau memakai gamis panjang (tapi masih warna warni) dan jilbab yang lumayan besar. Alhamdulillah dakwah ahlussunnah telah sampai kepada ana akan tetapi sangat sulit untuk mendakwahkan kepada istri ana. Ana sering malu bertemu dengan ikhwan ahlussunnah yang bersama istri mereka yang bercadar sedangkan istri saya tidak. Saya sudah mencoba mencari buku terkait akan tetapi jawabannya berbeda-beda. Menurut Syaikh Albani, dalam buku Jilbab Wanita Muslimah, di sana beliau tidak mewajibkan cadar, dan seolah-olah melemahkan kedudukan cadar. Akan tetapi ketika melihat kitab fatwa terhadap wanita terbitan darul haq, disana banyak yang mewajibkannya termasuk Syaikh Fauzan, Bin Baz, Lajnah Daimah, dll. Saya jadi ragu. Akankankah saya perintahkan istri untuk bercadar, dan sebatas apa saya memerintah istri untuk menjadikannya bercadar. Besar harapan ana untuk dijawab pertanyaan ini. Jujur ana akhir-akhr ini selalu gelisah dan khawatir tentang keadaan ini. Semoga Allah selalu merahmati Anda. Jazakallah khair.
Jawaban Ustadz:
Hukum menggunakan cadar adalah sebagaimana yang Anda ketahui,
yaitu perkara yang syar’i dan merupakan sebuah perintah dari Allah, hal ini
adalah merupakan kesepakatan para ulama dan jika Allah memerintahkan hambanya
tidak ada kata lain dari seorang hamba kecuali mengatakan saya dengar dan saya
taat sebagaimana firman-Nya,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan ‘Kami mendengar, dan kami patuh’ Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (QS. An Nur: 51)
Adapun perbedaan pendapat di antara para ulama adalah pada
hukumnya, apakah perintah Allah tersebut wajib ataukah sunah (yaitu bagi yang
melaksanakannya mendapatkan pahala dan bagi yang tidak melaksanakannya tidak
berdosa). Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tersebut yang harus
disadari cadar adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kepada para wanita
dan karenanya bijaklah dalam bersikap.
Ada beberapa beberapa hikmah disyari’atkannya cadar untuk bahan
pertimbangan antum dalam menyikapi istri, di antaranya:
(1) Membersihkan hati dari pikiran yang buruk dan kotor yang
terlintas di benak bila ada sebab yang memicunya meskipun telah berusaha
membersihkan hati.
Allah berfirman,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء
حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)
(2) Menjaga kaum wanita
dari gangguan orang fasik.
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al
Ahzab: 59)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa sebagian orang fasik di kota Madinah
pada zaman dahulu sering keluar pada waktu malam mencari wanita, dan jarak
antara rumah-rumah penduduk Madinah sangatlah sempit, jika ada wanita yang
keluar pada waktu malam mencari kebutuhannya dan dia mengenakan jilbab (baju
kurung yang menutup dari kepala sampai kaki) mereka mengatakan dia adalah
seorang yang merdeka biarkan dia berjalan, namun jika ada wanita yang tidak
mengenakan jilbab mereka mengatakan dia adalah budak/PSK maka mereka
menerkamnya.
(3) Memperbaiki penampilan agar sesuai dengan kebaikan batin dan
akan tampaklah keserasian luar dan dalam dengan tuntunan syar’i. Itu semua
karena wanita yang keluar dari rumahnya dengan menampakkan perhiasan dan
fitnahnya bertolak belakang dengan fitrah yang telah Allah ciptakan.
(4) Hijab adalah penampilan seorang wanita yang berakhlak dan
berbudi pekerti yang luhur, karena menunjukkan sifat malu yang ada padanya dan
menjaganya dari perbuatan yang terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malu
itu akan mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari)
Adapun hadir dengan istri yang tidak bercadar di hadapan ikhwan
adalah sesuatu yang perlu diperinci, bila kita perhatikan kehadiran istri kita
tersebut menjadi fitnah bagi para ikhwan, maka hijab lebih ditekankan lagi
karena hikmah yang telah saya sebutkan di atas. Ada dua alternatif, pertama
menghadirkan kajian tersebut untuknya di rumah atau memperkecil fitnah dengan
penutup wajah. Tugas seorang suami adalah memberikan irsyad (petunjuk berupa
penjelasan -ed) kepada orang yang terdekat dengannya dan bukan memberikan
taufik (petunjuk berupa hidayah -ed) kepadanya, Allah berfirman dalam surat
Ar-Ra’d: 40
فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ
“Maka tugasmu (wahai Muhammad) adalah menyampaikan, dan Kami
(Allah) lah yang memperhitungkan perbuatan mereka.” (QS. Ar Ra’d: 40)
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ
أُنِيبُ
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah.” (QS. Hud: 88)
***
Penanya: Anto
Dijawab Oleh: Ust. Subkhan Khadafi
Dijawab Oleh: Ust. Subkhan Khadafi
Sumber: muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar