Bolehkah mengucapkan selamat
natal pada kerabat?
Karena barangkali di antara
kerabat ada yang non muslim, bisa jadi orang tua, saudara atau yang masih punya
hubungan dekat seperti hubungan mahram.
Menunjukkan
Kesetiaan dalam Agama pada Kerabat
Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ
أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum
yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).
Ayat ini menunjukkan bahwa konsekuensi
dari hamba yang beriman adalah mencintai orang yang beriman dan loyal padanya,
serta benci pada orang yang tidak beriman dan menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya
walau itu adalah kerabat dekat. Lihat Taisir Al Karimir Rahman, hal. 848.
Dukungan
pada Perayaan Kerabat
Berarti dukungan apa pun pada
agama dan perayaan kerabat yang non muslim tidak dibolehkan. Termasuk bentuk
dukungan yang tidak boleh adalah menghadiri perayaan non muslim seperti
perayaan natal.
Ibnul Qayyim menuturkan bahwa
Allah telah menyebut perayaan non muslim dengan istilah “az zuur”. Inilah yang
dimaksudkan dari ayat,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
“Dan orang-orang yang tidak
menghadiri az zuur”
(QS. Al Furqan: 72). Adh Dhahak menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah
perayaan orang-orang musyrik. (Ahkam
Ahli Adz Dzimmah,
hal. 492)
Ibnul Qayyim menerangkan,
“Sebagaimana mereka tidak boleh menampakkan hari raya mereka di tengah-tengah
kaum muslimin, kaum muslimin pun tidak boleh turut serta, membantu dan hadir
dalam perayaan mereka tersebut. Hal ini telah disepakati oleh para ahli ilmu
(para ulama) dan telah dinyatakan oleh para ulama empat madzhab di kitab-kitab
mereka.” (Idem)
Untuk menghadiri perayaan
tersebut saja tidak boleh, apalagi sampai kaum muslimin yang merayakan atau
membuat acaranya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah
memiliki kata sepakat akan tidak bolehnya orang kafir menampakkan perayaan hari
raya mereka di tengah-tengah kaum muslimin. Maka bagaimana mungkin kaum
muslimin yang dibolehkan merayakannya? Atau mau dikata kalau muslim tidaklah
masalah dari merayakannya daripada kafir yang merayakannya terang-terangan?!” (Iqtidha’ Ash Shirothil Mustaqim, 1: 510).
Bentuk dukungan yang tidak boleh
ada pula adalah mengucapkan selamat natal. Ibnul Qayyim berkata,
وَأَمَّا التَّهْنِئَةُ بَشِعَائِرِ الكُفْرِ
المخْتَصَةِ بِهِ فَحَرَامٌ بِالاتِّفَاقِ
“Adapun memberi ucapan selamat
pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah sesuatu
yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Ahkam Ahli Adz Dzimmah, hal. 154).
Jadi tetap tidak
boleh mengucapkan selamat natal pada kerabat. Say no … Lagi libur!
Tetap Tidak
Boleh Dituruti Apalagi Disuruh Murtad
Lihatlah kisah teladan berikut
ini sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shohihnya dari Mush’ab bin
Sa’ad dari ayahnya (yaitu Sa’ad) bahwa beberapa ayat Al Qur’an turun padanya.
Dia berkata,
حَلَفَتْ أُمُّ سَعْدٍ أَنْ لاَ تُكَلِّمَهُ أَبَدًا
حَتَّى يَكْفُرَ بِدِينِهِ وَلاَ تَأْكُلَ وَلاَ تَشْرَبَ. قَالَتْ زَعَمْتَ أَنَّ
اللَّهَ وَصَّاكَ بِوَالِدَيْكَ وَأَنَا أُمُّكَ وَأَنَا آمُرُكَ بِهَذَا. قَالَ
مَكَثَتْ ثَلاَثًا حَتَّى غُشِىَ عَلَيْهَا مِنَ الْجَهْدِ فَقَامَ ابْنٌ لَهَا
يُقَالُ لَهُ عُمَارَةُ فَسَقَاهَا فَجَعَلَتْ تَدْعُو عَلَى سَعْدٍ فَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى الْقُرْآنِ هَذِهِ الآيَةَ (وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا) (وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِى) وَفِيهَا
(وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا)
Ummu Sa’ad (Ibunya Sa’ad)
bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selamanya sampai dia kafir (murtad)
dari agamanya, dan dia juga tidak akan makan dan minum. Ibunya mengatakan,
‘Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu,
dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk berbuat itu (memerintahkan
untuk murtad, pen)’.
Sa’ad mengatakan, “Lalu Ummu
Sa’ad diam selama tiga hari kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian
datanglah anaknya yang bernama ‘Amaroh, lantas memberi minum padanya, namun
ibunya lantas mendoakan (kejelekan) pada Sa’ad. Lalu Allah menurunkan ayat,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan Kami wajibkan manusia
(berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya” (QS. Al ‘Ankabut: 8). Dan juga
ayat,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي
“Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku”
(QS. Lukman: 15), yang di dalamnya terdapat firman Allah,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik”
(QS. Lukman: 15) (HR. Muslim no. 1748).
Tetap
Berbuat Baik
Hal di atas tidaklah menafikan
bahwa kita tetap berbuat baik pada non muslim yang penting tidak berkaitan
dengan ritual ibadah dan perayaan mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8)
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ
تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9(
“Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
yang zhalim.” (QS. Al
Mumtahanah: 8-9)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang
kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti
berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah
berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247).
Mengenai surat Al Mumtahanah ayat
8 disebutkan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah
binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan
dengan ibunya. (Lihat Zaadul Masiir, 8: 236-237).
Imam Bukhari membawakan Bab dalam
kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian
beliau membawakan riwayat berikut, Asma’ mengatakan,
أَتَتْنِى أُمِّى رَاغِبَةً فِى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى
الله عليه وسلم – فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – آصِلُهَا قَالَ «
نَعَمْ »
“Ibuku mendatangiku dan ia sangat
ingin aku menyambung hubungan dengannya. Kemudian aku menanyakan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya?
Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan
bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama” (QS. Al Mumtahanah:
8)” (HR. Bukhari no. 5978)
Semoga Allah memberi kita
petunjuk pada akidah yang lurus.
—
0 komentar:
Posting Komentar