Dalam postingan sebelumnya
telah kami bahas hukum memelihara jenggot. Namun masih ada yang bertanya-tanya,
bagaimana jika kita memiliki jenggot yang lebat, apakah boleh dirapikan? Ada
juga yang sempat bertanya, bagaimana jika kita sengaja memangkasnya sampai
habis, apakah itu dosa?
Mudah-mudahan postingan
kali ini bisa menjawabnya dan mempertajam berbagai argumen kami dalam postingan
sebelumnya. Hanya Allah yang senantiasa membuka pintu kemudahan.
Memangkas Jenggot Suatu yang
Dilarang
Saudaraku, perlulah engkau
tahu bahwa memangkas jenggot adalah suatu hal yang terlarang berdasarkan
alasan-alasan berikut:
Pertama: Menyelisihi Perintah
Nabi
Memelihara jenggot
diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Berdasarkan kaedah yang sudah dikenal oleh
para ulama bahwa hukum asal suatu perintah adalah wajib.
Jadi, jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Biarkanlah jenggot”, karena itu adalah kalimat perintah,
maka hukumnya adalah wajib. Perintah ini bisa beralih menjadi sunnah
(dianjurkan) jika memang ada dalil yang memalingkannya. Namun dalam masalah
membiarkan (memelihara) jenggot tidak ada satu dalil pun yang bisa memalingkan
dari hukum wajib. Sehingga memelihara jenggot dan tidak memangkasnya adalah
suatu kewajiban.
Di antara hadits yang
menunjukkan bahwa hal ini termasuk perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menghasilkan hukum wajib adalah hadits berikut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
Ibnu ‘Umar berkata,
أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong
pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.”[2]
Yang dimaksud dengan
membiarkan jenggot adalah membiarkannya sebagaimana adanya[3], artinya
jenggot tidak boleh dipangkas.
Kedua: Tasyabbuh (Menyerupai)
Orang Kafir
Mencukur jenggot termasuk
tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Ketiga: Tasyabbuh (Menyerupai)
Wanita
Kita ketahui bersama bahwa
secara normal, wanita tidak berjenggot. Sehingga jika ada seorang pria yang
memangkas jenggotnya hingga bersih, maka dia akan serupa dengan wanita.
Padahal,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ
مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ
Catatan: Hal ini tidak
menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki jenggot -secara alami- menjadi
tercela. Perlu dipahami bahwa hukum memelihara jenggot ditujukan bagi orang
yang memang memiliki jenggot.
Keempat: Menyelisihi Fitrah
Manusia
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ
وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ
وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
“Ada sepuluh macam fitroh, yaitu memendekkan kumis, memelihara
jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), memotong
kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan,
istinja’ (cebok) dengan air.”[6]
Di antara definisi fitroh adalah ajaran para Nabi, sebagaimana yang dipahami oleh
kebanyakan ulama.[7] Berarti
memelihara jenggot termasuk ajaran para Nabi. Kita dapat melihat pada Nabi
Harun yang merupakan Nabi Bani Israil. Dikisahkan dalam Surat Thaha bahwa
beliau memiliki jenggot.
قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي
“Harun menjawab’ “Hai putera
ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan (pula)
kepalaku.“ (QS. Thaha: 94). Dengan demikian, orang yang memangkas
jenggotnya berarti telah menyeleweng dari fitrah manusia yaitu menyeleweng dari
ajaran para Nabi.
Jadi Apa Hukum Memangkas
Jenggot?
Berdasarkan dalil-dalil
yang telah kami bawakan, kami dapat menyimpulkan bahwa hukum memangkas jenggot
adalah haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
ويُحْرَمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ
“Memangkas jenggot
itu diharamkan.”[8]
Imam Asy Syafi’i sendiri
dalam Al Umm berpendapat bahwa memangkas jenggot itu diharamkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ar
Rif’ah ketika menyanggah ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot hukumnya
makruh.[9]
Seorang ulama Malikiyah,
Kholil bin Ishaq Al Maliki mengatakan, “Diharamkan bagi laki-laki untuk
memangkas habis jenggot dan kumisnya. Pelakunya pun pantas mendapat hukuman.”[10]
Bahkan Ibnu Hazm dan ulama
lainnya mengatakan bahwa haramnya memangkas jenggot adalah ijma’ (konsensus)
ulama kaum muslimin.[11]
Bagaimana Hukum Merapikan atau
Memendekkan Jenggot?
Sebagian saudara kami, ada
yang sempat menanyakan seperti ini. Sebagian ulama memang ada yang membolehkan
memotong jenggot yang lebih dari satu genggam. Namun yang dipotong adalah
bagian bawah genggaman dan bukan atasnya. Misalnya kita memegang jenggot yang
cukup lebat dengan satu genggaman tangan, maka sisa di bawah yang lebih dari
satu genggaman boleh dipotong. Itulah yang dimaksudkan ulama tersebut.
Mereka membolehkan hal ini,
beralasan dengan perbuatan Ibnu ‘Umar yang setiap kali berhaji atau umroh
menggenggam jenggotnya, kemudian selebihnya beliau potong[12].
Ulama-ulama tersebut pun mengatakan bahwa Ibnu ‘Umar yang membawakan hadits “biarkanlah jenggot” melakukan seperti ini dan
beliau lebih tahu apa yang beliau riwayatkan.
Untuk menanggapi pernyataan
ulama-ulama tersebut, ada beberapa sanggahan berikut.
1. Ibnu ‘Umar hanya
memendekkan jenggotnya ketika tahallul ihrom dan haji saja, bukan setiap waktu. Maka tidak tepat
perbuatan beliau menjadi dalil bagi orang yang memendekkan jenggotnya setiap
saat bahkan jenggotnya dipangkas habis hingga mengkilap bersih.
2. Perbuatan Ibnu ‘Umar
muncul karena beliau memahami firman Allah ketika manasik,
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
“Dengan mencukur rambut kepala dan memendekkannya.” (QS. Al Fath: 27). Beliau menafsirkan ayat ini bahwa ketika
manasik hendaklah mencukur rambut kepala dan memendekkan jenggot.
3. Apabila perkataan atau
perbuatan sahabat menyelisihi apa yang ia riwayatkan, maka yang jadi tolak ukur
tetap pada hadits yang ia riwayatkan, bukan pada pemahaman atau perbuatannya.
Maka yang jadi tolak ukur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian, pendapat
yang lebih tepat adalah wajib membiarkan jenggot apa adanya tanpa memangkas
atau memendekkannya dalam rangka mengamalkan hadits-hadits yang memerintahkan
untuk membiarkan jenggot. Inilah yang dipahami oleh mayoritas ulama. Wallahu a’lam bish showab.[13]
Bagaimana Bila Disuruh Ortu dan
Istri untuk Memangkas Jenggot?
Sebagian muslim memang
sudah mengetahui bahwa memelihara jenggot adalah suatu kewajiban dan
memangkasnya adalah terlarang. Namun, memang teramat berat bila kita
mengamalkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang satu ini. Apalagi jika memiliki jenggot yang begitu
lebat. Ada rasa malu dan takut terhadap keluarga dan masyarakat karena takut
kena sindiran dan jadi bahan cerita. Sehingga karena ortu, istri atau kakak,
jenggot pun dipangkas.
Yang kami nasehatkan,
“Tetaplah engkau memelihara dan membiarkan jenggotmu begitu saja. Karena tidak
boleh seorang pun menaati makhluk dalam rangka bermaksiat pada Allah, walaupun
yang memerintahkan adalah ayah atau ibu kita sendiri. Namun dalam masalah
ketaatan lainnya yang bukan maksiat tetaplah kita taati. Kita pun mesti tetap
berakhlaq baik dengan mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan maksiat. Sesungguhnya ketaatan
hanya dalam melakukan kebajikan.”[14]
Beliau juga bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا
أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Patuh dan taatlah pada seorang muslim pada apa yang dia sukai atau
benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk
bermaksiat, maka tidak boleh ada kepatuhan dan taat.”[15]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
أَطِعْ أَبَاكَ مَا دَامَ حَيًّا وَلاَ تَعْصِهِ
Ada pula yang merasa malu
dengan jenggotnya di hadapan ortu dan kerabatnya sehingga ia pun tidak
segan-segan memangkasnya hingga dagunya terlihat mulus.
Nasehat kami, “Tidak perlu
engkau mencari keridhoan manusia sedangkan engkau membuat Allah cemburu dan
murka dengan maksiat yang engkau lakukan.”
Ingatlah, jika seseorang
hanya mencari keridhoan Allah dalam setiap langkahnya, pasti Allah pun akan
ridho padanya, begitu pula orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena kita
mesti tahu bahwa Allah-lah yang membolak-balikkan hati. Mungkin awalnya ortu
dan kerabat tidak suka dengan jenggot kita. Namun lama kelamaan dengan kehendak
Allah, hati mereka bisa saja berubah. Kita do’akan semoga demikian.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuliskan
surat kepada Mu’awiyah. Isinya sebagai berikut.
سَلاَمٌ عَلَيْكَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ ». وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ.
“Semoga keselamatan
untukmu. Amma Ba’du. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mencari ridho Allah sedangkan manusia murka ketika itu, maka Allah
akan bereskan urusannya dengan manusia yang murka tersebut. Akan tetapi
barangsiapa mencari ridho manusia, namun membuat Allah murka, maka Dia akan
serahkan orang tersebut kepada manusia”. Semoga keselamatan lagi padamu.”[17] Jadi,
yang mesti dicari adalah ridho Allah dan bukan ridho manusia.
Tidak Perlu Takut Jika Disebut
Teroris
Dari Anas bin Malik
–pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengatakan,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah laki-laki yang
berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Kulitnya tidaklah putih
sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus. Allah
mengutus beliau sebagai Rasul di saat beliau berumur 40 tahun, lalu tinggal di
Makkah selama 10 tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama 10 tahun pula, lalu
wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya
hanya terdapat 20 helai rambut yang sudah putih.”[18] Jika
orang yang berjenggot adalah teroris dan sesat, maka silakan katakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu karena beliau juga berjenggot.
Oleh karena itu, mengapa
kita mesti takut dengan sindiran seperti ini? Orang sholih dan orang yang mau
berbuat pasti selalu mendapat komentar sana-sini. Kita tidak perlu khawatir karena
orang-orang yang terbaik terdahulu juga berpenampilan seperti itu. Selama
ajaran tersebut mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka komentar siapa pun tidak perlu digubris.
Orang yang Berjenggot adalah
Orang yang Begitu Tampan
Sebagian orang beranggapan
bahwa berjenggot –apalagi lebat- adalah penampilan yang kurang menarik bahkan
terlihat jorok dan menjijikkan.
Sebenarnya seperti ini
tergantung dari penilaian masing-masing. Orang yang berpakaian tapi telanjang
saat ini mungkin dinilai sebagian kalangan sebagai cara berpakaian yang wajar
dan tidak masalah. Namun bagaimanakah tanggapan orang yang lebih memahami
agama? Tentu akan berbeda. Maka kami sangka, itu hanyalah pandangan orang yang
kesehariannya jauh dari agama sehingga merasa aneh dan jijik dengan jenggot.
Lihatlah bagaimana
penilaian Ibunda orang-orang beriman (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Suatu saat ‘Aisyah
pernah mengatakan,
وَالَّذِيْ زُيِّنَ الرِّجَالُ بِاللِّحَى
Kalau kita perhatikan,
pandangan ‘Aisyah jauh berbeda dengan orang saat ini yang menganggap jeleknya
berjenggot. Namun tidak perlu kita gubris perkataan semacam itu. Orang yang
berjenggot adalah orang yang dinilai baik di sisi Allah dan dia pun sebenarnya
orang yang tampan karena jenggot yang begitu lebat di wajahnya. Orang yang
gundul jenggot, itulah orang yang tandus.
Pernah beberapa orang
menanyakan pada seorang majnun (orang gila) di Kufah, “Bagaimana pendapatmu
dengan jenggot (lebat) ini?” Orang majnun itu berkomentar, “Negeri yang subur
tentu saja akan menghasilkan tanaman dengan izin Rabbnya. Adapun tanah yang
jelek adalah tanah yang hanya mengeluarkan tanaman yang sifatnya sangat
jarang.” [20]
Inilah gurauan seorang
majnun terhadap orang yang tanahnya tandus (tidak memiliki jenggot) atau pada
orang yang sengaja memangkas jenggotnya. Intinya, wajah yang baik adalah wajah
yang memiliki jenggot dan lebat.
Catatan: Apakah Mesti
Menumbuhkan Jenggot dengan Obat?
Sebagian orang memang ada
yang tidak dianugerahi jenggot yang lebat atau tidak memiliki jenggot sama
sekali. Seharusnya orang seperti ini pasrah dengan takdir Allah tersebut.
Janganlah dia berlebihan (ghuluw) sampai-sampai karena ingin mengikuti ajaran
Nabi, dia pun memaksakan diri menggunakan obat perangsang penumbuh jenggot.
Ketahuilah, seseorang tidak perlu menggunakan obat penumbuh jenggot semacam
itu. Cukuplah dia memiliki jenggot seadanya dan pasrah dengan apa yang telah
ditakdirkan padanya.
Ibnu Daqiq Al ‘Ied
mengatakan,
لَا أَعْلَم أَحَدًا فَهِمَ مِنْ الْأَمْر فِي قَوْله ” أَعْفُوا اللِّحَى ” تَجْوِيز مُعَالَجَتهَا بِمَا يُغْزِرهَا كَمَا يَفْعَلهُ بَعْض النَّاس
“Aku tidaklah mengetahui
seorang ulama pun yang memahami hadits Nabi “biarkanlah jenggot” yaitu menggunakan obat penumbuh jenggot –supaya melebatkan
jenggotnya- sebagaimana yang sering dilakukan sebagian manusia.”[21]
Demikianlah pembahasan
tambahan kami mengenai jenggot untuk melengkapi pembahasan sebelumnya. Posting
selanjutnya adalah jawaban untuk sedikit kerancuan seputar jenggot.
Semoga Allah meneguhkan
kita agar dapat terus berpegang teguh dengan ajaran Nabi-Nya. Hanya Allah yang
senantiasa memberi taufik.
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Panggang, Gunung Kidul, 9
Dzulqo’dah 1430 H.
[1] HR. Muslim no. 625, dari Ibnu ‘Umar
[2] HR. Muslim no. 624
[3] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, 16/484, Mawqi’ Al Islam dan Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 1/416, Mawqi’ Al Islam
[4] HR. Muslim no. 626, dari Abu Hurairah
[5] HR. Bukhari no. 5885, dari Ibnu ‘Abbas.
[8] Fatawa Al Kubro, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 5/302, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan pertama, 1386
[12] Sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari no. 5892 dan
Shahih Muslim no. 259.
[14] HR. Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 1840, dari ‘Ali
[15] HR. Bukhari no. 7144, dari Ibnu ‘Umar
[18] Lihat Mukhtashor Syama’il Al
Muhammadiyyah, Muhammad Nashirudin Al Albani, hal. 13, Al Maktabah Al
Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih
[19] Lihat ‘Uyunul Akhbar, Ibnu Qutaibah Ad Dainuri, hal. 390, Mawqi’ Al Waroq. Namun di
dalam riwayat tersebut terdapat Ibnu Daud yang tidak tsiqoh atau tidak terpercaya (Lihat Tadzkirotul Mawdhu’at, Thahir Al Fataniy Al
Hindi, hal. 160, Mawqi’ Ya’sub).
0 komentar:
Posting Komentar