Hukum Mengomentari Makanan!
Bismillah was shalatu was salamu
‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Salah satu diantara cara Allah
untuk meyakinkan umat manusia tentang kebenaran para nabi yang Dia utus, Allah
berikan bekal kepada mereka berupa mukjizat.
Sebelum Allah memerintahkan Musa
untuk menghadapi Fir’aun, Allah bekali beliau dengan mukjizat. Ketika Allah
berbicara dengan Musa di bukit Tursina, Allah tunjukkan kepada Musa berbagai
mukjizat yang dia miliki, mulai dari tongkat yang berubah menjadi ular, tangan
yang bisa mengeluarkan cahaya putih, dst.
Kemudian Allah berfirman,
فِي تِسْعِ آَيَاتٍ إِلَى فِرْعَوْنَ وَقَوْمِهِ إِنَّهُمْ كَانُوا
قَوْمًا فَاسِقِينَ
“(dua mukjizat ini) termasuk
sembilan mukjizat yang akan ditunjukkan kepada Fir’aun dan kaumnya. Sesungguhnya
mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. an-Naml: 12).
Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Allah memberi bekal kepada beliau
berbagai macam mukjizat untuk membuktikan kebenaran beliau. Diantaranya,
al-Quran yang bisa meluluhkan hati orang musyrik yang mendengarnya, peristiwa
Isra’ Mi’raj, terbelahnya bulan, keluarnya air dari jari-jari beliau,
terdengarnya suara tasbih dari makanan, batu memberi salam kepada beliau,
terdengarnya suara rintihan batang kurma yang merindukan beliau, termasuk
kebenaran berita masa depan yang beliau sampaikan.
Para ulama membukukannya dalam
kitab Dalail
an-Nubuwah.
Salah satu diantara mukjizat
beliau adalah keindahan akhlak beliau. Ketinggian budi pekerti dan akhlak
beliau, yang hampir tidak mungkin bisa dilakukan manusia biasa, selain orang
yang derajat taqwanya sangat tinggi.
Seperti diantaranya, tidak
mencela dan mengomentari makanan.
Sahabat Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu menceritakan,
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطٌّ
إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah mencela makanan sama sekali. Jika beliau selera maka beliau
memakannya, dan jika tidak selera maka beliau tinggalkan.” (HR.
Ahmad 9755, Bukhari 3563 dan Muslim 5504).
Jangan anda berfikir, mencela
makanan hanya terkait penilaian enak, tidak enak, menjijikkan atau komentar
miring lainnya. Ternyata lebih dari itu. Sebatas menyebut asin, kurang asin,
kemanisan, kecut, … yang itu umum dilakukan di masyarakat kita, ternyata masuk
dalam cakuan hadis di atas.
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan
hadis ini,
هَذَا مِنْ آدَابِ الطَّعَامِ الْمُتَأَكِّدَةِ وَعَيْبُ الطَعَامِ
كَقَوْلِهِ : مَالِحٌ، قَلِيْلُ الْمِلْحِ، حَامِضٌ، رَقِيْقٌ، غَلِيْظٌ، غَيْرُ
نَاضِجٍ، وَنَحْوُ ذَلِكَ
“Hal ini (tidak mencela makanan)
termasuk adab makan yang ditekankan. Dan mencela makanan yaitu seperti ia
berkata, “Ini keasinan”, “Kurang asin”, “Kecut”, “Terlalu lembut”, “Masih
kasar”, “Belum masak”, dan yang semisalnya.” (al-Minhaaj
Syarh Shahih Muslim, 14/26).
Yang lebih mengherankan,
sampaipun dalam kondisi yang secara normal umumnya manusia mengomentari
makanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap istiqamah tidak
mengomentarinya.
Kita bisa lihat untuk kejadian
beliau disuguhi daging dhab.
Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma mendapat
informasi dari Khalid bin Walid radhiyallahu
‘anhu,
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى مَيْمُونَةَ وَهِيَ خَالَتُهُ وَخَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَوَجَدَ
عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوذًا فَقَدَّمَتِ الضَّبَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدَهُ عَنِ الضَّبِّ فَقَالَ خَالِدٌ: أَحْرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ
اللَّهِ؟ قَالَ: «لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي
أَعَافُهُ» قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيّ
Bahwasanya Khalid pernah bersama
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menemui Maimunah (istri Nabi) dan
Maimunah adalah bibiknya Kholid dan juga bibiknya Ibnu Abbas.
Ketika itu, di rumah Maimunah ada
daging dhob (kadal gurun) yang dipanggang. Lalu Dhob itupun dihidangkan kepada
Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam.
Namun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mau menyentuh Dhab.
Kholid bertanya, “Apakah dhob itu
haram, ya Rasulullah?’.
Kita simak jawaban Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ
“Tidak, namun dhob ini tidak ada
di kampungku, sehingga aku kurang berselera”.
Kata Kholid, “Akupun mengambilnya
lalu menyantapnya, dan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam hanya
memandangku” (HR. Bukhari 5391)
Mungkin bagi orang biasa, dia
bisa menjawab dengan sedikit komentar miring, “Saya jijik..” “Saya eneg..” “Hii…
ngerii…” dst… Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melakukannya.
Untuk bisa sama seperti beliau,
memang tidak mungkin. Namun setidaknya, kita bisa jadikan beliau sebagai
standar akhlak yang terpuji. Yang untuk bisa sampai pada tingkatan itu, kita
butuh belajar.
Semoga Allah membimbing kita
untuk bisa lebih mudah mengikuti semua sunah beliau.
Allahu a’lam
Tulisan ini terinspirasi dari
artikel Ustad Firanda Andirja, M.A.
0 komentar:
Posting Komentar