Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin mendapat pertanyaan sebagai
berikut, “Ada seseorang yang berutang kepada orang lain, namun pemberi piutang
mau memberikan piutang dengan syarat: orang yang berutang menyerahkan lahan
pertanian miliknya sebagai jaminan. Kemudian, orang yang memberi piutang
mengelola lahan pertanian tersebut dan mengambil semua hasilnya. Terkadang,
pemberi piutang hanya mengambil separuh hasil lahan tersebut, sedangkan
separuhnya dia berikan kepada pemilik tanah. Demikian ini terus berlangsung
sampai orang yang berutang melunasi utangnya sebesar uang yang dulu dia pinjam.
Setelah lunas, orang yang memberikan piutang akan mengembalikan lahan pertanian
tersebut kepada pemiliknya. Apa hukum syariat untuk kasus utang-piutang
bersyarat semisal ini?”
Jawaban Ibnu Utsaimin adalah sebagai berikut, “Sesungguhnya,
transaksi utang-piutang itu termasuk transaksi sosial yang bertujuan murni
membantu dan menolong orang yang membutuhkan bantuan finansial. Memberi piutang
adalah perbuatan yang diperintahkan dan dicintai oleh Allah karena hal tersebut
termasuk bentuk berbuat baik kepada orang lain. Allah berfirman,
وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
‘Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik kepada orang lain.’ (QS. Al-Baqarah:195)
Dengan demikian, hukum mengadakan transaksi utang-piutang adalah:
dianjurkan untuk pihak yang memberi piutang dan dibolehkan untuk pihak yang
berutang.
Dalam hadits yang sahih, (disebutkan bahwa) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berutang
seekor anak unta, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam melunasi utangnya dengan menyerahkan unta yang sudah
dewasa.
Jika transaksi utang-piutang adalah transaksi sosial maka
transaksi ini tidak boleh diubah menjadi transaksi profit yang bertujuan
mencari keuntungan materi duniawi, karena dengan demikian, transaksi
utang-piutang berubah menjadi transaksi jual beli; transaksi sosial berubah
menjadi transaksi profit.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang berkata, ‘Saya jual (baca:
tukar) satu dinar ini secara tidak tunai dengan jatuh tempo setahun yang akan
datang. Ketika itu, cukup Anda pulangkan satu dinar,’ atau mengatakan, ‘Saya
jual (tukar) satu dinar ini dengan dinar yang lain,’ lalu keduanya berpisah
tanpa ada serah terima dinar yang dibarterkan, maka kedua transaksi ini
dihukumi sebagai transaksi jual beli yang haram dan termasuk riba (yaitu riba
nasiah, pent.).
Lain halnya jika dinar tersebut ada dalam transaksi utang-piutang
dan jatuh tempo pelunasan utang-piutang adalah sebelum atau setahun setelah
transaksi, hukumnya diperbolehkan padahal pihak yang memberikan piutang
tidaklah menerima pelunasan kecuali setelah setahun atau kurang dari setahun
atau lebih dari setahun. Hal ini diperbolehkan, mengingat fungsi sosial yang
terkandung dalam transaksi utang-piutang.
Berdasarkan uraian di atas, jika pihak yang memberi piutang
mempersyaratkan adanya keuntungan materi dari transaksi utang-piutang (dalam
hal ini berupa keuntungan mengelola lahan pertanian, pent.) maka transaksi
utang-piutang ini berubah dari fungsi awalnya yang bersifat sosial, sehingga
transaksi ini hukumnya haram.
Kaidah yang terkenal di kalangan para ulama mengatakan, ‘Semua
transaksi utang-piutang yang menyebabkan pihak pemberi piutang mendapatkan
keuntungan materi adalah transaksi riba.’
Berdasarkan kaidah tersebut maka pihak yang memberi piutang tidak
boleh meminta agar pihak yang berutang menyerahkan lahan pertaniannya kepada
pihak yang memberi piutang, lalu pemberi piutang mengambil alih hak pengelolaan
atas tanah tersebut, meski pihak yang memberi piutang memberikan sebagian
hasilnya kepada pemilik tanah. Hal ini terlarang karena, dalam kasus ini,
terdapat manfaat materi yang didapatkan oleh pihak yang memberi piutang.
Sehingga, transaksi utang-piutang beralih fungsi dari fungsi aslinya, yaitu
bersifat sosial untuk menolong orang yang membutuhkan.” (Fatawa Islamiyyah, yang dikumpulkan oleh Muhammad bin
Abdul Aziz Al-Musnad, juz 2, hlm. 415–416, terbitan Darul Wathan, Riyadh,
cetakan kedua, 1414 H)
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa praktik menjadikan
sawah sebagai borg utang, agunan, atau jaminan, yang banyak dijumpai di daerah
pedesaan di negeri kita adalah praktik riba. Sebabnya, pihak yang memberi
piutang memanfaatkan sawah tersebut dan menikmati hasil panennya bertahun-tahun
sampai orang yang berutang melunasi utangnya.
0 komentar:
Posting Komentar