Kencing Sambil Berdiri
ustadz mau tanya, di bandara atau
di mall, disediakan wc praktis utk kencing smbl berdiri, apakah boleh kencing
di wc yg seperti itu?
Dari Hamba Allah
Jawaban :
Alhamdulillah was sholaatu
wassalam ‘ala Rasulillah. Wa ba’du.
Mengenai kencing sambil berdiri,
hukumnya adalah boleh. Namun dengan memperhatikan dua syarat berikut:
1.
Aman dari terkena percikan najis.
2.
Aurat tertutup dari pandangan.
Syaikh Muhammad bin Sholih al
‘Utsaimin menerangkan,
والبول قائمًا جائز، ولا سيَّما إذا كان لحاجة، ولكن بشرطين:
الأوَّل: أن يأمن التلويث. الثاني: أن يأمن الناظر
“Kencing sambil berdiri hukumnya
boleh. Terlebih bila ada kebutuhan. Akan tetapi dengan dua syarat; pertama aman
dari terkena najis, kedua aman dari pandangan orang lain.” (Syarah al Mumti’
1/115-116).
Bila dikhawatirkan air seni akan
terpercik pada pakaian atau badan, maka tidak boleh. Karena diantara sebab
adzab kubur, adalah tidak menjaga dari percikan air kencing disebabkan karena
kecerobohan.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
إنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ، بَلَى
إنَّهُ كَبِيْرٌ: أمَّا أَحَدُهُمَا، فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ، وَأمَّا
الآخَرُ فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Sesungguhnya dua mayit ini
sedang disiksa, dan tidaklah mereka disiksa karena perkara yang
susah ditinggalkan. Namun sesungguhnya itu adalah perkara besar!
Untuk yang pertama, dia suka melakukan adu domba, sedang yang kedua, ia
tidak menjaga diri dari air kencingnya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu
Abbas radhiyallahu’anhuma).
Demikian pula aurat, wajib
tertutup dari pandangan orang lain. Diriwayatkan dari Muawiyah bin Haidah radhiallahu
‘anhu. Bahwa beliau
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
auratnya; kapan wajib ditutup dan kapan boleh ditampakkan. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مما مَلَكَتْ
يَمينُكَ
“Jaga auratmu, kecuali untuk
istrimu atau budakmu.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi,
Ibn Majah, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Adapun dalil yang menunjukkan
bolehnya kencing sambil berdiri, adalah hadis dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu’anh, beliau menceritakan,
أتَى النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم سباطةَ قومٍ، فبال قائمًا، ثم
دعا بماءٍ، فجئتُه بماءٍ، فتوضَّأ.
“Nabi shallallahu
alaihi wa sallam mendatangi tempat pembuangan
sampah suatu kaum. Lalu beliau buang air seni dengan berdiri ditempat tersebut.
Kemudian beliau meminta diambilkan air. Aku bawakan untuk beliau air, lalu
beliau berwudhu. ” (HR. Bukhori).
Namun terdapat hadis lain
derajatnya juga shahih, yang mengabarkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah kencing dengan
berdiri. Sebuah hadis dari Ibunda Aisyah radhiyallahu’anha, dimana beliau mengatakan,
من حدثكم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بال قائماً فلا تصدقوه
“Siapa saja yang mengabarkan
kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kencing
dengan berdiri, maka jangan percaya.” (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan).
Bagaimana Menggabungkan Dua Hadis
Ini?
Ada beberapa langkah yang ditempuh
para ulama dalam memahami dua hadis di atas.
Pertama, hadis
Aisyah di atas tidak bisa dijadikan dalil secara mutlak untuk larangan kencing
sambil berdiri. Karena Aisyah mengatakan berdasarkan apa yang beliau ketahui
ketika Nabi shallallahu
alaihi wa sallam berada di dalam rumah. Ini tidak
menutup kemungkinan bila beliau shallallahu alaihi wa sallam melakukan yang
berbeda di luar rumah. Sehingga hadis ini tidak bisa dijadikan dalil larangan
secara umum.
Kedua, dalam
kaidah Ushul Fikih diterangkan,
أن المثبت مقدم على النافي
“Dalil yang menyatakan adanya
perbuatan, lebih didahulukan daripada dalil yang meniadakan.”
Kabar dari sahabat Hudzaifah,
menyatakan bahwa Nabi pernah kencing berdiri. Adapun keterangan dari Ibunda
Aisyah, meniadakan informasi tersebut. Maka berdasarkan kaidah ini, keterangan
dari Hudzaifah, lebih didahulukan daripada hadis Aisyah yang meniadakan.
Sederhananya kita katakan,
seseorang yang tidak mengetahui, belum tentu hal tersebut tidak ada. Karena
kesimpulan tersebut berdasarkan sebatas apa yang dia ketahui. Sehingga tidak
menutup kemungkinan, ada pengetahuan lain dari sumber lain, yang menyanggahnya.
Dalam masalah ini, sahabat Hudzaifah memiliki ilmu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri.
Jadi, ilmu Hudzaifah ini sebagai sanggahan untuk Ibunda ‘Aisyah yang tidak
mengetahui hal ini. Sehingga disimpulkan bahwa kencing berdiri hukumnya adalah
mubah.
Ketiga, mengingat
terdapat dua hadis yang nampak bertolak belakang, dan sama-sama derajatnya
shahih, maka, keterangan dari Ibunda Aisyah tersebut dipahami yang sering
dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika
kencing adalah dengan posisi duduk. Sehingga yang lebih utama, kencing
dilakukan dengan cara duduk. Disamping posisi ini lebih aman dari tersebarnya
najis, juga lebih memudahkan menutupi aurat.
Keempat, Nabi
melakukan demikian untuk menjelaskan kepada umatnya, bahwa kencing dengan duduk
adalah anjuran. Bukan perbuatan yang hukumnya wajib.
Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah mengatakan,
والأظهر أنه فعل ذلك لبيان الجواز وكان أكثر أحواله البول عن قعود
والله أعلم
“Yang lebih tepat (perihal
alasan) beliau melakukan demikian (yakni kencing sambil berdiri), untuk
menjelaskan bolehnya kencing sambil berdiri. Dan yang sering beliau lakukan
ketika kencing adalah dengan duduk. Wallahua’lam.” (Fathul
Bari 1/563).
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
menerangkan,
لا حرج في البول قائما ،لاسيما عند الحاجة إليه ، إذا كان المكان
مستورا لا يرى فيه أحد عورة البائل ، ولا يناله شيء من رشاش البول ، لما ثبت عن
حذيفة رضي الله عنه : ( أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما )
متفق على صحته ، ولكن الأفضل البول عن جلوس ؛ لأن هذا هو الغالب من فعل النبي صلى
الله عليه وسلم ، وأستر للعورة ، وأبعد عن الإصابة بشيء من رشاش البول .
“Tidak mengapa kencing dengan
posisi berdiri. Terlebih ketika dibutuhkan. Dengan catatan, tempat untuk buang
hajar tersebut benar-benar tertutup. Sehingga tak seorangpun yang melihat aurat
orang yang kencing tersebut. Selanjutnya, tidak menyebabkan terkena percikan
air kencing. Dalilnya adalah riwayat dari Hudzaifah radhiyallahu’anh, beliau
mengatakan, “Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam memasuki tempat pembuangan
sampa suatu kaum. Lalu beliau kencing dengan berdiri.” Para ulama sepakat akan
kesahihan hadis ini. Akantetapi yang lebih afdhal, kencing itu dilakukan dengan
cara duduk. Karena demikianlah yang sering dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam. Dan ini lebih menutupi aurat , dan lebih aman dari terkena percikan ari
kencing.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 6/352).
Mengingat dua pertimbangan di
atas, maka sebaiknya kencing di lakukan di WC duduk yang tertutup. Karena WC
berdiri seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, tidak aman dari percikan
najis dan aurat tidak aman dari pandangan. Wallahua’lam
bis Showab..
Madinah An-Nabawiyah
Dijawab oleh ustadz Ahmad Anshori
0 komentar:
Posting Komentar