Jumat, 02 Desember 2016

Murabahah yang Sesuai Syariah

Majalah Pengusaha Muslim: Edisi 26/April 2012

Tulisan ini mengenai konsep murabahah yang benar-benar sesuai syariah atau menurut fikih Isalam, bukan yang diterapkan oleh perbankan syariah kita.
Oleh Ustad Dr. Erwandi Tarmizi
Di rubrik ini edisi sebelumnya (No. 25/Maret 2012), telah dijelaskan pengertian, hukum dan peran murabahah menjadi sumber pendapatan perbankan syariah, sekaligus kesalahan penerapannya.  Murabahah memang produk andalan bahkan urat nadi bank syariah. Tulisan ini memaparkan konsep murabahah yang benar-benar sesuai syariah atau menurut tinjaun fikih.
Murabahah umumnya diadalkan nasabah untuk mendapatkan dana talangan guna membayar kebutuhan mereka yang tidak bisa mereka bayar secara tunai. Bahkan, bagi sebagian kalangan, murabahah hanya sekadar mengikuti tren. Fenomena ini perlu dicermati, karena hakikat transaksi ini adalah utang bank. Padahal berutang sangat tidak dianjurkan dalam syariat Islam, kecuali membutuhkan barang dan mampu melunasinya. Sekali lagi, seorang muslim sangat tidak dianjurkan membeli barang mewah secara kredit.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa kepada Allah meminta perlindungan dari lilitan utang: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan rasa sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan penakut, dari lilitan utang dan laki-laki yang menindas. Ketika ditanya kenapa berlindung dari lilitan utang, beliau menjawab, “Karena seseorang yang dililit utang, bila berbicara ia akan berbohong dan bila berjanji ia akan memungkirinya“. (HR. Bukhari)
Namun dalam keadaan sangat membutuhkan, dibolehkan berutang, sebagaimana diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara tidak tunai dan memberikan baju besinya sebagai jaminan“. (HR. Bukhari)
Dalam hadis di atas digambarkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat hati-hati dalam berutang, sebagai jalan terakhir bagi beliau untuk menutupi kebutahan pokoknya, yaitu dalam rangka  mendapatkan bahan makanan untuk diri dan keluarganya, bukan untuk barang yang sejatinya hanya kebutuhan sekunder. Sungguh bertolak belakang sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sikap sebagian umatnya yang saat ini terlalu mudah membeli barang secara kredit.
Bila seseorang sangat membutuhkan sebuah barang dan diperkirakan mampu melunasinya, dibolehkan baginya membelinya dengan cara kredit,[1] sekalipun harganya lebih mahal daripada harga pembayaran tunai bila persyaratan lain terpenuhi.
Pendapat kuat bahwa jual-beli tidak tunai (kredit) dibolehkan dalam Islam adalah hasil keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fikih Organisasi Kerjasama Islam/OKI) No. 51 (2/6) 1990: “Boleh melebihkan harga barang yang dijual dengan tidak tunai, melebihi harga jual pada transaksi  tunai … dan harganya dicicil dalam jangka waktu yang ditentukan”.[2]
Hal sama juga difatwakan Dewan Ulama Kerajaan Arab Saudi dalam fatwanya No. 1178 ketika ditanya tentang hukum jual-beli kredit. Jawabannya: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba, berdasarkan firmanNya, yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba“ (QS. Al-Baqarah: 275). Dan jual- beli kredit termasuk dalam jual beli yang dihalalkan”.[3]
Penjelasan di atas meninggalkan pertanyaan: apa beda antara riba dan jual-beli murabahah dalam bentuk kredit? Sekilas, memang tidak ada beda seseorang yang diberi kredit Rp 10 juta oleh bank kemudian melunasi kreditnya Rp 12 juta selama setahun, dengan orang yang membeli barang melalui jasa murabahah bank Rp 12 juta (10 juta harga barang dan Rp 2 juta sebagai margin untuk bank) dan diangsur selama setahun. Bukankah  tambahan Rp 2 juta dalam dua transaksi itu sama-sama nilai imbalan waktu tunggu selama setahun?
Jawab: inilah alasan yang disampaikan orang kafir jahiliyah ketika Allah mengharamkan riba. Allah menceritakan argumen mereka dan membantah dengan firmanNya, yang artinya: “Mereka (orang kafir) berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Untuk memahami perbedaan sangat mendasar  antara riba dan kredit murabahah, simak tabel berikut.

Tidak Ada Murabahah untuk Emas, Perak dan Mata Uang Asing

Di antara syarat murabahah, barang yang menjadi objek murabahah bukan emas, perak atau mata uang. Tidak boleh menjual emas dengan cara murabahah yang tidak tunai, karena termasuk riba ba’i. Terkait masalah ini, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 77/DSN-MUI/V/2010 yang membolehkan jual-beli murabahah emas tidak tunai tidaklah tepat. Fatwa ini bertentangan dengan panduan perbankan syariah internasional yang dibuat AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Finance Institutions)[4] yang menyatakan dalam Bab Al Murabahah lil Amir Bisysyira’ No 2/2/6, yang berbunyi, “Jual-beli murabahah tidak tunai tidak boleh dilakukan pada emas, atau perak, atau mata uang”.[5]

Tahapan Akad Mudharabah

Untuk berlangsungnya akad murabahah, ada beberapa tahap yang harus dilalui.
Tahap pertama, nasabah datang ke bank, mengutarakan maksudnya untuk membeli rumah dengan menjelaskan spesifikasinya serinci mungkin dan berjanji membelinya jika bank telah membeli rumah tersebut. Ada beberapa catatan terkait tahapan ini.
Tahap ini hanya sebatas janji, akad jual-beli belum lagi dimulai. Kesalahan praktik pada tahap ini adalah sebagian bank syariah langsung menuliskan akad jual-beli murabahah yang sifatnya mengikat, dan bank dianggap telah menjual rumah dengan spesifikasi yang dijelaskan nasabah dengan harga, laba dan tempo waktu tertentu. Bila hal ini terjadi, akad murabahah tidak sah dan hukum jual-belinya diharamkan, karena bank melanggar larangan menjual barang yang belum menjadi milik bank.
Karena tahap ini hanya sekadar janji kedua belah pihak yang sifatnya tidak mengikat, pihak bank tidak boleh meminta uang muka (down payment) kepada nasabah. Fatwa haramnya menarik uang muka pada tahap ini dikeluarkan oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami No: 72 (3/8) tahun 1993: “Tidak boleh memberikan dan menerima uang muka pada tahapan janji yang dilakukan dalam transaksi Murabahah lil âmir bisysyiraa’, dan uang muka boleh diambil pada tahapan selanjutnya.”[6]
Untuk keabsahan murabahah yang juga disyaratkan pada tahap ini, calon pembeli yang datang ke bank syariah tidak boleh melakukan transaksi apa pun dengan pihak penjual pertama sebelum ia mengajukan murabahah kepada pihak bank.
Sering terjadi kesalahan dalam praktik murabahah tahap ini. Yakni, calon pembeli rumah yang datang ke bank sebelumnya telah melakukan transaksi dengan developer, bahkan kadang pembeli telah membayar uang muka, baru kemudian datang ke lembaga keuangan syariah untuk mengajukan permohonan pembiayaan murabahah.
Bila hal itu terjadi dan kemudian bank menyetujui pembiayaan untuk nasabah, sesungguhnya akadnya tidak berbeda dengan pinjaman uang berbunga. Hal ini disebabkan pihak bank tidak membeli rumah dari developer. Karena oleh developer, rumah telah dijual ke nasabah yang kemudian datang ke bank untuk mengajukan pembiayaan. Sehingga status bank dalam hal ini hanya melunasi utang nasabah ke developer kemudian nasabah melunasi secara kredit dengan ditambah laba. Transaksi ini sama persis dengan bank meminjamkan uang kepada nasabah dan nasabah mengembalikannya secara angsuran ditambah bunga. Ini jelas riba jahiliyyah.
Oleh karena itu, dalam panduan perbankan syariah yang disusun AAOIFI disebutkan: “Harus tidak ada ikatan transaksi apa pun antara nasabah yang mengajukan permohonan ke pihak bank, dan pihak pihak penjual pertama … karena bila terdapat ikatan transaksi sebelumnya sesungguhnya murabahah yang dilakukan hakikatnya adalah pinjaman utang yang dibayar dengan berbunga”. [7]
Untuk keabsahan murabahah juga disyaratkan pada tahap ini barang yang diinginkan calon pembeli bukan barang yang dimiliki oleh perusahaan yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh calon pembeli. [8] Misal, nasabah ingin membeli rumah mewah seharga Rp 5 milyar. Dia mengajukan murabahah ke salah satu bank syariah. Lalu bank membeli rumah yang dipesan itu dari developer.Namun ternyata sebagian besar saham pembangunan rumah itu dikuasai oleh nasabah. Hukum murabahah ini batal dan diharamkan karena termasuk jual-beli ‘inah.
Hakikat dalam transaksi tersebut adalah developer yang sekaligus nasabah bank mendapat uang tunai Rp 5 milyar dari bank, selanjutnya harus membayar lebih karena ditambah laba murabahah untuk bank. Sedangkan akad jual-beli hanya di atas kertas. Ini termasuk riba dan merupakan  jual-beli ‘inah yang diharamkan.
Tahap kedua, bank syariah membeli barang yang dipesan nasabah. Bank membeli secara tunai. Setelah dibeli, barang harus diterima terlebih dahulu oleh bank dan resmi menjadi milik bank, sebelum dijual kepada nasabah.
Beberapa catatan untuk tahapan ini antara lain.
Pertama, sering terjadi kesalahan dalam praktik murabahah tahap ini. Yakni pihak bank syariah mewakilkan kepada nasabah untuk membeli dan menerima barang. Misal, nasabah ingin membeli rumah seharga Rp 500 juta dengan spesifikasi tertentu, lalu bank memberikan cek seharga rumah itu dan mewakilkan kepada nasabah untuk membeli dan menerima rumah dari developer. Pada saat yang sama bank mencatat kewajiban nasabah membayar ke pihak bank Rp 500 juta ditambah laba yang disepakati dengan cara angsuran dalam jangka waktu tertentu serta jumlah cicilan yang harus dibayar.
Praktik ini rekayasa pelegalan riba, karena bank belum memiliki rumah yang merupakan objek jual-beli murabahah. Sehingga hakikat dalam transaksi ini, bank meminjamkan uang Rp 500 juta yang akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu ditambah laba murabahah. Transaksi ini sama dengan pinjaman uang berbunga.[9]
Kedua, kesalahan selanjutnya dalam praktik murabahah tahap ini adalah pihak bank menjual barang kepada nasabah tanpa terlebih dahulu menerima barang tersebut. Misal, seorang nasabah ingin membeli mobil dengan spesifikasi yang dirincikannya. Kemudian pihak bank menghubungi salah satu showroom via telepon dan membeli mobil secara tunai (transfer). Setelah transaksi ini, bank sama sekali tidak menyentuh mobil itu. Sehingga masih dalam ruangan yang sama, bank langsung menjual mobil itu secara murabahah kepada nasabah. Sementara bank sama sekali belum menerima mobil dari showroom. Selanjutnya nasabah datang ke showroom tersebut dan menerima mobil yang diinginkannya. Akad jual-beli murabahah ini fasid (rusak) dan haram. Karena bank melanggar larangan hadis, yakni menjual barang sebelum diterima.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya sebelum ia menerimanya. Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas, “Kenapa dilarang? Ibnu Abbas menjawab, “Karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan.“ (HR. Bukhari)
Kesepakatan Harus Jelas
Untuk keabsahan jual-beli murabahah tidak tunai, pada saat transaksi dibuat,  harga, besarnya angsuran dan jangka waktu pelunasannya harus jelas. Di samping itu, harga harus satu, dan tidak boleh ada dua harga. Juga tidak boleh membuat harga mengambang, di mana penjual memberikan potongan harga yang dikaitkan dengan pelunasan angsuran. Misal, jika pembeli melunasi sebelum jatuh tempo pelunasan maka harga akan dipotong sekian persen. Potongan harga kredit karena pelunasan sebelum jatuh tempo hukumnya boleh, dengan syarat pemotongan harga tidak dicantumkan dalam akad jual-beli. Bila pemotongan dicantumkan dalam akad, hukumnya haram dan termasuk riba.
Dasar pelarangan ketidakjelasan harga atau adanya kesepakatan potongan ini ditinjau dari beberapa sisi. Pertama, harga menjadi tidak jelas. Sedangkan syarat sah jual-beli harga dan barang harus jelas. Ketidakjelasan ini diakibatkan pencantuman pemotongan harga. Ketika ditulis dalam akad bahwa harga mobil Rp 230 juta dengan angsuran selama 23 bulan dan jika dilunasi dalam tempo 12 bulan, diberi potongan 10 persen. Pada saat akad, pembeli tidak dapat memastikan apakah dia mampu melunasi selama 12 bulan, yang berarti harga mobil menjadi Rp 207 juta ataukah harus tertunda lebih lama. Bila tidak mampu, harga mobil menjadi Rp 230 juta.
Kasus tersebut melanggar hadis, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual-beli dalam satu transaksi jual-beli. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Nasa’i dengan sanad hasan). Ini yang dimaksudkan dengan larangan menjual dua harga, yang di dalamnya terdapat dua harga dan tidak jelas harga mana yang disepakati oleh penjual dan pembeli di awal transaksi.
Kedua, pencantuman potongan kredit menyebabkan riba. Jika pembeli memilih untuk melunasi dalam 12 bulan, berarti harga mobil menjadi Rp 207 juta. Ternyata dia tidak mampu melunasinya dalam tempo tersebut. Dengan demikian ia terpaksa melunasinya selama 23 bulan dengan harga Rp 230 juta rupiah.  Ini sama dengan riba. Karena ketika dia tidak mampu melunasi utangnya, ia diberi masa tangguh selama 11 bulan dengan bunga yang harus dibayar Rp 23 juta. Ini hakikat riba jahiliyah: beri tangguh utangku dan akan aku beri imbala.n[10]
Tidak Ada Denda untuk Keterlambatan Pelunasan
Untuk keabsahan jual-beli murabahah tidak tunai, maka tidak boleh terdapat persyaratan sanksi denda pada saat nasabah terlambat membayar angsuran. Keterangan ini disepakati seluruh ulama, karena denda keterlambatan merupakan riba yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah dan telah diharamkan Allah dalam Al-Quran. Hal ini ditegaskan oleh keputusan Muktamar Majma’ Al-Fiqh Al-Islami No : 51 (2/6) tahun 1990, yang berbunyi: “Apabila pembeli (barang secara tidak tunai) terlambat membayar angsuran pada tempo yang telah ditentukan, maka tidak boleh memberikan sanksi berupa penambahan utang; baik hal ini disyaratkan sebelumnya pada akad maupun tidak, karena ini merupakan riba yang diharamkan.”[11]
Pelarangan sanksi penalty pada jual-beli kredit dari satu sisi akan merugikan pihak penjual, padahal Islam tidak mungkin menjadi penyebab kerugian. Lalu bagaimana solusi Islami untuk mengatasi terjadinya kredit macet?
Bersambung insya Allah..
Keterangan:
[1]           Dr. Sami Suwaylim, Qadhayaa Fil Iqtishad Wat Tamwil Islami, hal 37.
[2]           Journal Islamic Fiqh Council, vol VII, jilid 2, hal 9.
[3]           Fatawa lajnah daimah, jilid XIII, hal 148-149.
[4]          Lembaga resmi Internasional yang menyusun Standar Operasional Prosedur lembaga keuangan syariah, beranggotakan para ulama dan pakar ekonomi Islam yang dipilih dari seluruh dewan syariah di bank-bank syariah dunia, berpusat di Bahrain, didirikan pada tahun 1991. Saat ini AAOIFI telah mengesahkan 41 standar operasional produk Lembaga Keuangan Islam. Juga telah mengeluarkan 84 standar operasional akuntansi Lembaga Keuangan Islam.
[5]           Al-Ma’ayir As-Syar’iyyah, hal 93.
[6]          Journal Islamic Fiqh Council, edisi VIII, jilid I, hal 641.
[7]          AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 92, 103.
[8]          AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 92, 103.
[9]          Dr. Asy Syubaily, Fiqh Muamalat Mashrafiyyah, hal 66.
[10]        Dr. Sulaiman At Turki, Bai’ Taqsith, hal 293.
[11]        Journal Islamic Fiqh Council, edisi VI,  jilid 1, hal 193.
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.


Solusi Islami untuk Kredit Macet

Majalah Pengusaha Muslim: Edisi 26/April 2012

Tulisan ini mengenai konsep murabahah yang benar-benar sesuai syariah atau menurut fikih Isalam, bukan yang diterapkan oleh perbankan syariah kita.
Oleh Ustad Dr. Erwandi Tarmizi
Kita akan melanjutkan tulisan sebelumnya tentang Murabahah Sesuai Syariah, Anda bisa melihat artikel sebelumnya disini: Panduan Murabahah yang Sesuai Syariah (Bagian 1)
Kali ini kita akan mengulas solusi Islami untuk kredit macet. Simak:
1. Anjuran tidak meremehkan utang. Edukasi, itulah kata kuncinya. Setiap muslim diimbau tidak menganggap remeh utang. Setiap muslim diimbau untuk memperkirakan kemampuan finansialnya ketika hendak membeli produk tertentu. Bila persyaratan tidak terpenuhi, dia termasuk orang berutang, sementara tidak ada keinginan melunasi utangnya. Orang ini terkena ancaman Allah yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Siapa yang berutang dan dia bertekad untuk membayarnya niscaya Allah akan memudahkannya untuk melunasi utangnya. Dan siapa yang berutang tidak bertekad untuk membayar utangnya niscaya Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al Haitamy dalam bukunya Az-Zawajir mengategorikan perbuatan itu termasuk salah satu dosa besar. Ia berkata, “Dosa besar ke-205: berutang dengan niat tidak melunasi utangnya, atau ada niat untuk membayar namun tidak ada harapan, mampu melunasi hutangnya karena saat berutang dia telah memperkirakan tidak ada harta yang dia miliki yang dapat melunasi utangnya, sementara dia berutang juga bukan untuk keperluan yang bersifat darurat, serta pihak pemberi hutang tidak mengetahui keadaan peminjam”.[1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengancam orang yang mampu melunasi utangnya dan sudah jatuh tempo, namun sengaja menunda pelunasan dengan berbagai alasan, orang ini pantas diberikan hukuman. Para ulama menjelaskan maksud hukumannya adalah hukuman penjara hingga dia melunasi utangnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penundaan pelunasan utang oleh orang yang mampu merupakan kezaliman, dibolehkan menjatuhkan hukuman (penjara) kepadanya dan dibolehkan mencemarkan nama baiknya (seperti dimasukkan dalam daftar hitam perbankan).” (HR. Bukhari)
2. Harus ada jaminan. Sebagai tindakan pencegahan, pihak pemberi kredit dianjurkan untuk meminta barang jaminan atau orang jaminan. Bila utang terlambat dilunasi, bank bisa menjual barang jaminan atau menagih utang kepada pihak penjamin untuk melunasinya.
Bagaimana jika tidak mampu memberikan barang atau orang sebagai  jaminan?  Solusi yang diterapkan beberapa bank syariah adalah meminta barang yang dijual sebagai barang gadaian, dengan cara surat-surat resmi kepemilikan barang dipegang bank. Hanya saja, pembeli bebas menggunakan barang. Selanjutnya bank syariah membuat perjanjian dengan pembeli bahwa jika dia terlambat membayar angsuran kewajiban, maka seluruh sisa angsuran menjadi tunai dan barang disita oleh bank, karena statusnya sebagai barang gadai. Bank menjual barang itu untuk menutupi sisa seluruh angsuran. Lalu sisa uang penjualan barang setelah pelunasan utang dikembalikan kepada pembeli.
Sebagai ilustrasi, i A membeli motor seharga Rp 10 juta melalui transaksi murabahah dengan bank. Melihat kondisi ekonomi A, bank meminta agar motor digadaikan di bank, sebagai jaminan selama pelunasan angsuran. Bank membawa semua surat penting motor tersebut. Setelah diangsur Rp 5 juta, kredit macet. Bank kemudian menjual motor itu, dan laku Rp 7 juta. Pada kasus ini, bank boleh mengambil Rp 5 juta, dan sisanya, Rp 2 juta diserahkan ke A.
Solusi tersebut dibenarkan dalam Islam dan disetujui oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dengan keputusan No. 51 (2/6) tahun 1990, yang menyatakan: “Dibolehkan penjual kredit mensyaratkan jatuh tempo seluruh angsuran sebelum waktunya ketika pembeli terlambat melunasi sebagian angsuran, selama pembeli menyetujui persyaratan ini saat transaksi dilakukan. Penjual boleh mensyaratkan kepada pembeli agar barang yang dibelinya menjadi barang gadai sebagai jaminan agar pembeli tidak terlambat melunasi angsuran. [2]
Demikian juga keputusan No. 64 (2/7) 1992, menyatakan, “Penjual dan pembeli (kredit) boleh membuat kesepakatan bahwa keseluruhan angsuran menjadi jatuh temponya pada saat pembeli enggan memenuhi kewajiban bayar salah satu angsuran. Selama pembeli bukanlah orang yang mu’sir (yaitu: jatuh pailit).”[3]
Hukum menggadaikan barang yang telah dibeli kepada penjual hingga pembayaran lunas merupakan pendapat jumhur para ulama; dari mazhab Abu Hanifah, Malik serta pendapat yang terkuat dari mazhab Syafi’i dan Hanbali serta didukung oleh keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami.
Ibnul Qayyim berkata, “Barang yang telah dijual (tidak tunai), lalu penjual mensyaratkan barang tersebut untuk digadaikan hingga lunas pembayaran barang … dalam hal ini tidak ada larangan yang membatalkan persyaratan ini … para ulama sepakat jika disyaratkan yang menjadi barang gadaian atas utang kredit adalah barang lain hukum persyaratannya boleh … maka begitu juga hukumnya jika disyaratkan sebagai barang gadaian atas utang kredit barang yang dibeli (tidak tunai). [4]
Selain Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, AAOIFI juga membolehkan kesepakatan menjual barang objek mubahah yang digadaikan untuk pelunasan kredit macet.  Dalam panduan perbankan syariah internasional dinyatakan, “Boleh membuat persyaratan bahwa seluruh sisa angsuran menjadi tunai apabila kreditur yang mampu, sengaja lambat membayar kewajiban, dan sebaiknya sanksi ini tidak diterapkan sebelum memberikan peringatan tertulis kepada kreditur minimal dua minggu setelah keterlambatan pelunasan kewajiban”[5].
Solusi ini juga pernah diutarakan oleh Ibnu Qayyim. Beliau mengatakan, “Jika penjual kredit khawatir bahwa pembeli tidak memenuhi kewajibannya pada setiap angsuran yang telah disepakati maka solusinya: ia dapat membuat persyaratan bahwa bila jatuh tempo salah satu angsuran dan pembeli tidak melunasinya maka sisa angsuran menjadi tunai, dengan demikian ia dapat menuntut pembeli untuk melunasi seluruh sisa angsuran saat itu juga.”[6]
Dalil solusi ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang-orang Islam itu memenuhi perjanjian (persyaratan) yang mereka buat, kecuali perjanjian mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmizi. Hadis ini dishahihkan Al-Albani).
Dalam solusi ini, jika kedua belah pihak telah setuju akan persyaratan ini maka keduanya wajib memenuhi persyaratan yang telah disepakati.
Catatan: Perlu diingat, jika sanksi ini diterapkan, pihak penjual wajib mengurangi nilai harga yang disepakati dari awal, berdasarkan waktu jatuh tempo yang lebih awal, karena harga awal adalah harga yang disepakati sesuai dengan lama waktu angsuran. Sebagaimana kewajiban pembayaran dikurangi karena pembeli membayar lebih awal, yang juga berlaku dalam kasus ini. Bila tidak, penjual telah mengambil harta pembeli tanpa ada imbalan, hal ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Misal, A membeli rumah secara kredit seharga Rp 300 juta dengan masa angsuran 10 tahun. Harga tunai rumah tersebut hanya sekitar Rp 200 juta. Laba per tahun Rp 10 juta. Jika A terlambat melunasi angsuran pada akhir tahun ke-5, pembayaran seluruh sisa angsuran menjadi jatuh tempo saat itu juga. Selanjutnya harga rumah dihitung ulang: Rp 250 juta = Rp 300 juta – Rp 50 juta (laba 5 tahun ke depan yang dibatalkan). Harga rumah yang awalnya Rp 300 juta, ketika jatuh tempo di tengah pelunasan menjadi Rp 250 juta. Karena keuntungan Rp 50 juta yang seharusnya dibayarkan 5 tahun kemudian tidak bisa dibayarkan.
Bila nasabah dari awal telah mengikuti petunjuk Islam. Tetapi, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, dia terkena musibah barang yang dia beli secara kredit raib, dan dia tidak mampu melunasi utangnya, maka tidak ada pilihan lain bagi bank selain bersabar hingga nasabah mampu melunasi utangnya. Allah berfirman yang artinya, “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Itulah solusi yang diberikan Islam untuk mengatasi kredit macet. Sungguh, solusi yang sangat mulia dan manusiawi. Ini berbeda dengan tindakan zalim bank, yang malah melipat-gandakan nominal utang bagi orang yang sedang kesulitan. Semoga Allah memperbaiki kondisi masyarakat.*** 
Resume:
1.      Islam sangat tidak menganjurkan masyarakat berutang
2.      Berutang hukumnya boleh, dengan 2 syarat:
§  Hanya ketika kondisi darurat, misalnya untuk memenuhi kebutuhan pokok.
§  Memiliki penghasilan tetap, sehingga diprediksi mampu melunasinya.
3.      Jual beli secara kredit, hukumnya dibolehkan menurut pendapat yang kuat. Ini merupakan pendapat Lembaga Fatwa Saudi dan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami
4.      Transaksi kredit tidak sama dengan transaksi riba. Diantara perbedaannya adalah
§  Hakekat riba adalah tambahan dalam utang piutang uang, sedangkan hakekat keuntungan kredit adalah keuntungan dalam jual beli barang, yang itu menjadi hak penjual untuk menentukannya.
§  Bunga utang berasal dari pembiayaan uang, sedangkan keuntungan kredit berasal dari hasil penjualan barang.
§  Dalam akad riba, tidak ada perputaran uang. Dalam transaksi kredit, uang diputar untuk membeli barang, kemudian dijual lagi secara kredit.
5.      Tidak boleh ada murabahah secara kredit untuk emas, perak, dan mata uang asing. Karena transaksi tiga benda ini harus dilakukan secara tunai.
6.      Tahapan akad murabahah ada dua:
§  tahap I: nasabah datang ke bank dan menawarkan diri untuk murabahah
§  tahap II: bank membeli barang ke penjual pertama, sesuai pesanan nasabah
7.      Catatan untuk tahap pertama; nasabah datang ke bank:
§  Tahap ini, akad antara nasabah dengan bank hanya sebatas janji, bukan transaksi jual beli. Konsekuensinya:
2.      Bank tidak boleh mencatat transaksi ini sebagai transaksi jual beli secara mudharabah. Karena berarti bank telah menjual barang yang tidak dia miliki.
3.      Bank tidak boleh meminta uang muka kepada nasabah. Karena janji ini bukan transaksi jual beli.
§  Pada tahap ini, nasabah tidak boleh mendatangi penjual pertama untuk melakukan transaksi jual beli barang. Apalagi dengan memberikan uang muka, kemudian nasabah meminta bank melunasi sisanya. Karena hakekat transaksi semacam ini, nasabah pinjam uang ke bank, sementara dia harus membayar lebih. Dan ini murni riba
§  Barang yang menjadi objek murabah, bukan barang yang dimiliki nasabah. Karena jika ini terjadi maka akad yang dilakukan adalah bai’ ‘inah (jual beli ‘inah) dan itu statusnya haram.
8.      Catatan untuk tahapan kedua; bank membeli barang ke penjual pertama.
§  Bank harus membeli barang itu sendiri, tidak boleh mewakilkan ke nasabah, dan harus atas nama bank. Jika bank hanya menyerahkan cek, kemudian meminta nasabah untuk membeli sendiri barang tersebut maka ini statusnya sama dengan mengakali transaksi riba. Karena hakekatnya bank meminjamkan uang ke nasabah.
§  Bank tidak boleh menjual barang tersebut ke nasabah sebelum sepenuhnya dimiliki bank. Karena itu, harus ada serah terima antara penjual pertama dengan bank. Jika belum ada serah terima, kemudian bank langsung menjual ke nasabah maka bank melanggar larangan hadis menjual barang sebelum diterima.
9.      Pada akad murabahah, hanya boleh menggunakan satu harga dengan jangka waktu yang jelas. Konsekuensinya:
§  Tidak boleh menyebutkan adanya potongan di awal transaksi, untuk pelunasan sebelum jatuh tempo
§  Menyebutkan adanya potongan di awal transaksi, untuk pelunasan sebelum jatuh tempo, melanggar larangan hadis, menjual dengan dua harga
§  Boleh memberikan potongan untuk pelunasan sebelum jatuh tempo, dengan syarat tidak disebutkan di awal akad.
10.  Tidak boleh ada denda untuk penundaan pelunasan, dengan sepakat ulama, meskipun dana ini nantinya disalurkan untuk qardhul hasan.
11.  Solusi untuk kredit macet:
§  Memberi edukasi kepada kaum muslimin agar tidak meremehkan masalah utang.
§  Harus ada jaminan. Jaminan bisa berupa barang, atau orang, atau bahkan barang yang menjadi objek murabahah.
12.  Para ulama membolehkan menggunakan jaminan barang yang menjadi objek transaksi murabahah. Ini merupakan pendapat Imam Ibnul Qoyim, dan menjadi keputusan resmi Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, serta AAOIFI, lembaga ekonomi syariah sedunia.
13.  Bentuk menggunakan barang objek transaksi murabahah sebagai jaminan, ilustrasinya seperti berikut: Nasabah membeli rumah melalui transaksi murabahah dengan bank seharga 200 juta. Selanjutnya masing-masing sepakat, rumah ini menjadi jaminan selama pelunasan. Jika nasabah tidak mampu melunasi sebelum jatuh tempo maka cicilan dianggap lunas. Setelah mencicil 150 juta, nasabah tidak mampu melanjutkan pelunasan. Bank menjual rumah itu seharga 210 juta. Selanjutnya, bank mengambil 50 juta dan sisanya (160 juta) dikembalikan ke nasabah.
14.  Jika kenaikan harga barang bersifat linier, sesuai lama jatuh tempo maka ketika barang jaminan hendak dijual, harga beli barang pada bank harus disesuaikan. Dipotong berdasarkan potongan laba untuk bank.
15.  Jika barang yang dijual melalui murabahah hilang atau rusak maka tidak ada pilihan lain bagi bank, selain bersabar memberi kesempatan nasabah untuk melunasi utangnya sampai lunas, tanpa ada paksaan.
16.  Solusi kredit macet dalam islam adalah solusi yang sangat manusiawi, tidak seperti kedzaliman bank yang melipat-gandakan nominal utang, di tengah himpitan kondisi ekonomi nasabah.
Keterangan:
[1]   Az-Zawajir, jilid 1, hal 410.
[2]  Journal Islamic Fiqh Council, vol VI,  jilid I, hal 193.
[3]  Journal Islamic Fiqh Council, vol VII,  jilid II, hal 9.
[4]  I’lamul muwaqqi’in, jilid IV, hal 33.
[5]  Al ma’ayir Asy Syar’iyyah, hal 26.
[6]  I’lamul muwaqqi’in, jilid IV, hal 33.
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

0 komentar:

Follow kumpulan tanya jawab islam dan keluarga

Calendar holidays by Excel Calendar

Disclaimer

i don't own anything in this blog. all articles, images, videos belong to its owners / creator. if you think this useful feel free to share, rewrite, or copy
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Info Harga Komoditi/Pangan

Flag Counter



Data Provided By Google Analytics

Diberdayakan oleh Blogger.

Mari gabung agar kenal & tidak terjerat riba/bunga bank

Bantuan hukum bagi yang terjerat riba (bunga bank)

Pencarian tentang Islam

yufid.com

[Disebutkan keadaan manusia di hari kiamat, "Alangkah baiknya kiranya aku dulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". QS Al-Fajr : 24]'


Orang ini menyebut akhirat dengan HIDUPKU. Artinya, sekarang ini KEHIDUPAN KITA BELUM DIMULAI

(-_-)

Video Pilihan

Paling Banyak Dibaca

Our Facebook Page