Minggu, 18 November 2012


Pertanyaan:
Apakah syafaat itu? Apa macam-macamnya?

Jawaban:
Syafaat berasal dari kata asy-sayafa’ (ganda) yang merupakan lawan kata dari al-witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda, seperti membagi satu menjadi dua, tiga menjadi empat, dan sebagainya. Ini pengertian secara bahasa.
Sedangkan secara istilah, syafaat berarti menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak madharat, yakni pemberi syafaat itu memberikan manfaat kepada orang yang diberi syafaat atau menolak madharat untuknya.

Syafaat terdiri dari dua macam:

Macam Pertama, syafaat yang didasarkan pada dalil yang kuat dan shahih, yaitu ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya, atau yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syafaat tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang bertauhid dan ikhlas; karena Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling bahagia mendapatkan syafaatmu?” Beliau menjawab, “Orang yang mengatakan, ‘Laa ilaaha illallah’ ikhlas dari dalam hatinya.”

Syafaat mempunyai tiga syarat:

Pertama, Allah meridhai orang yang memberi syafaat.
Kedua, Allah meridhai orang yang diberi syafaat.
Ketiga, Allah mengizinkan pemberi syafaat untuk memberi syafaat.
Syarat-syarat di atas secara global dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لاَتُغْنِى شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَى
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm: 26)
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Kemudian firman Allah, “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Lalu firman Allah,
يَوْمَئِذٍ لاَتَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً
Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Thaha: 109)
Kemudian firman Allah,
يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati kerana takuT kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya’: 28)
Agar syafaat seseorang diterima, maka harus memenuhi ketiga syarat di atas.
Menurut penjelasan para ulama, syafaat yang diterima, dibagi menjadi dua macam:
Pertama, syafaat umum. Makna umum, Allah mengizinkan kepada salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang-orang yang diperkenankan untuk diberi syafaat. Syafaat ini diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, nabi-nabi lainnya, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih. Mereka memberikan syafaat kepada penghuni neraka dari kalangan orang-orang beriman yang berbuat maksiat agar mereka keluar dari neraka.
Kedua, syafaat khusus, yaitu syafaat yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan syafaat terbesar yang terjadi pada Hari Kiamat. Tatkala manusia dirundung kesedihan dan bencana yan tidak kuat mereka tahan, mereka meminta kepada orang-orang tertentu yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi syafaat. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Tetapi mereka semua tidak bisa memberikan syafaat hingga mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berdiri dan memintakan syafaat kepada Allah, agar menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari adzab yang besar ini. Allah pun memenuhi permohonan itu dan menerima syafaatnya. Ini termasuk kedudukan terpuji yang dijanjikan Allah di dalam firman-Nya,
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Israa’: 79)
Di antara syafaat khusus yang diberikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafaatnya kepada penghuni surga agar mereka segera masuk surga, karena penghuni surga ketika melewati jembatan, mereka diberhentikan di tengah jembatan yang ada di antara surga dan neraka. Hati sebagian mereka bertanya-tanya kepada sebagian lain, hinngga akhirnya mereka bersih dari dosa. Kemudian mereka baru diizinkan masuk surga. Pintu surga itu bisa terbuka karena syafaat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Macam Kedua, syafaat batil yang tidak berguna bagi pemiliknya, yaitu anggapan orang-orang musyrik bahwa tuhan-tuhan mereka dapat memerintahkan syafaat kepada Allah. Syafaat semacam ini tidak bermanfaat bagi mereka seperti yang difirmankan-Nya,
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (QS. Al-Mudatstsir: 48)
Demikian itu karena Allah tidak rela kepada kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik itu dan tidak mungkin Allah memberi izin kepada para pemberi syafaat itu, untuk memberikan syafaat kepada mereka; karena tidak ada syafaat kecuali bagi orang yang diridhai Allah. Allah tidak meridhai hamba-hamba-Nya yang kafir dan Allah tidak senang kepada kerusakan.
Ketergantungan orang-orang musyrik kepada tuhan-tuhan mereka dengan menyembahnya dan mengatakan, “Mereka adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah,” (QS. Yunus: 18) adalah ketergantungan batil yang tidak bermanfaat. Bahkan yang demikian itu tidak menambah mereka kecuali semakin jauh dari Allah, karena orang-orang musyrik meminta syafaat kepada berhala-berhala dengan cara yang batil, yaitu menyembahnya. Itu kebodohan mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah, tetapi sebenarnya tidak lain hanya menjadikan mereka semakin jauh.
Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, ShalatZakatPuasa dan Haji (Fatawa Arkanul islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007.


Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Ustadz bisa tolong jelaskan seperti apa istidraj itu? Syukron Ustadz. Wassalamu’alaikum
Dari: Annisa
Jawaban:

Wa’alaikumussalam
Makna istidraj:
Dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
(HR. Ahmad, no.17349, Thabrani dalam Al-Kabir, no.913, dan disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414).
Istidraj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya. Allah berfirman,
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُونَ
Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44)
(Al-Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, kata: da-ra-ja).
Semua tindakan maksiat yang Allah balas dengan nikmat, dan Allah membuat dia lupa untuk beristighfar, sehingga dia semakin dekat dengan adzab sedikit demi sedikit, selanjutnya Allah berikan semua hukumannya, itulah istidraj. Allah a’lam


Tata Cara Shalat Istikharah

Terkadang kita menghadapi beberapa masalah yang memiliki urgensi (tingkat kepentingan) yang sama bagi kita. Kita pun ingin memohon dengan cara istikharah, tapi bingung tentang tata caranya. Mudah-mudahan tulisan berikut ini bisa jadi jalan keluarnya.

Shalat istikharah adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah, untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada beberapa pilihan keputusan. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliyah melakukan istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah melarang cara semacam ini dan diganti dengan shalat istikharah.
Dalil disyariatkannya shalat istikharah
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى – قَالَ – وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari para sahabatnya untuk shalat istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surat dari Alquran. Beliau bersabda, “Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian hendaklah ia berdoa:
Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih.
Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha dengannya. Kemudian dia menyebut keinginanya” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Ibn Hibban, Al-Baihaqi dan yang lainnya).

Teks Doa Istikharah

Teks doa istikharah ada dua:
Pertama,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى
Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amro khoiron lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amro syarrun lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khoiro haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih
Kedua, sama dengan atas hanya ada beberapa kalimat yang berbeda, yaitu:
Kalimat [دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى] diganti dengan [عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ]. Sehingga, Teks lengkapnya:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى
Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amro khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amro syarrun lii fii ‘aajili amrii wa aajilih, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khoiro haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih.

Kapan doa istikharah diucapkan?

Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul berkata, “Waktu doa istikharah adalah setelah salam, berdasarkan sabda beliau shallallahu Alaihi wa Sallam,
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ
Jika salah seorang di antara kalian berkehendak atas suatu urusan, hendaklah ia shalat dua rakaat yang bukan wajib, kemudian ia berdoa…..
Teks hadis menunjukkan setelah melaksanakan dua rakaat, artinya setengah salam.” (Bughyatul Mutathawi‘, Hal. 46)

Apakah ada bacaan khusus ketika shalat?

Tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya bacaan surat atau ayat khusus ketika shalat istikharah. Jadi, orang yang melakukan shalat istikharah bisa membaca surat atau ayat apapun, yang dia hafal. Al-Allamah Zainuddin Al-Iraqi mengatakan, “Aku tidak menemukan satu pun dalil dari berbagai hadis istikharah yang menganjurkan bacaan surat tertentu ketika istikharah.”
Apakah istikharah harus dengan shalat khusus ataukah boleh dengan semua shalat sunnah?
Pada hadis tentang shalat istikharah di atas dinyatakan,
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
Kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu…
Berdasarkan kalimat ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa melakukan istikharah tidak harus dengan shalat khusus, tapi bisa dengan semua shalat sunah. Artinya, seseorang bisa melakukan shalat rawatib, dhuha, tahiyatul masjid, atau shalat sunah lainnya, kemudian setelah shalat dia membaca doa istikharah. Imam An-Nawawi mengatakan,
والظاهر أنها تحصل بركعتين من السنن الرواتب ، وبتحية المسجد، وغيرها من النوافل
“Teks hadis menunjukkan bahwa doa istikharah bisa dilakukan setelah melaksanakan shalat rawatib, tahiyatul masjid, atau shalat sunnah lainnya.” (Bughyatul Mutathawi’, Hal. 45)
Jawaban dalam mimpi?
Banyak orang beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang yang sama sekali tidak berdalil. Karena tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah mengatakan,
Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fiqih. Karena dalam mimpi setan memiliki peluang besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرؤيا ثلاثة، من الرحمن ومن الشيطان وحديث نفس
Mimpi ada 3 macam: dari Allah, dari setan, dan bisikan hati.”
Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas diketahui. Dan tidak ada hubungan antara shalat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada orang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwa. Tetapi, tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. (Al-Fatwa Al-Masyhuriyah: http://almenhaj.net/makal.php?linkid=124)

Apa yang harus dilakukan setelah istikharah?

Para ulama menjelaskan bahwa setelah istikharah hendaknya seseorang melakukan apa yang sesuai keinginan hatinya. Imam An-Nawawi mengatakan,
إذا استخار مضى لما شرح له صدره
“Jika seseorang melakukan istikharah, maka lanjutkanlah apa yang menjadi keinginan hatinya.”

Kesimpulan

Berdasarkan keterangan di atas, tata cara shalat istikharah sebagai berikut:
  1. Istikharah dilakukan ketika seseorang bertekad untuk melakukan satu hal tertentu, bukan sebatas lintasan batin. Kemudian dia pasrahkan kepada Allah.
  2. Bersuci, baik wudhu atau tayammum.
  3. Melaksanakan shalat dua rakaat. Shalat sunnah dua rakaat ini bebas, tidak harus shalat khusus. Bisa juga berupa shalat rawatib, shalat tahiyatul masjidshalat dhuha, dll, yang penting dua rakaat.
  4. Tidak ada bacaan surat khusus ketika shalat. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib) dan surat atau ayat yang dihafal.
  5. Berdoa setelah salam dan dianjurkan mengangkat tangan. Caranya: membaca salah satu diantara dua pilihan doa di atas. Selesai doa dia langsung menyebutkan keinginannya dengan bahasa bebas. Misalnya: bekerja di perushaan A atau menikah dengan B atau berangkat ke kota C, dst.
  6. Melakukan apa yang menjadi tekadnya. Jika menjumpai halangan, berarti itu isyarat bahwa Allah tidak menginginkan hal itu terjadi pada anda.
  7. Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Karena itu, kita harus berusaha ridha dan lapang dada dengan pilihan Allah untuk kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam doa di atas, dengan menyatakan, [ ثُمَّ أَرْضِنِى] “kemudian jadikanlah aku ridha dengannya” maksudnya adalah ridha dengan pilihan-Mu ya Allah, meskipun tidak sesuai keinginanku.


Setiap manusia pasti merasa resah ketika dia belum mendapatkan jodohnya. Terlebih ketika dia sangat mendambakan keluarga yang bahagia. Apapun kondisi yang sedang kita alami, kita perlu memahami bahwa itu sejatinya bagian dari ujian hidup. Sebagai orang beriman, jadikan itu kesempatan untuk mendulang pahala.

Bahkan Allah memberi ancaman, orang yang beramal karena motivasi dunia, tidak akan mendapatkan bagian di akhirat,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا (18) وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا (19(
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Isra: 19)


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Anda yang saat ini sedang dirundung kecemasan dan resah, tidak lain itu ujian dari Allah. Jadikan keresahan Anda sebagai sebab untuk mengharap pahala dari Allah.

Terkait dengan doa meminta jodoh, ada beberapa cacatan yang perlu diperhatikan:

Pertama, kami tidak menjumpai ada doa khusus untuk meminta jodoh. Sementara beberapa lafal doa minta jodoh yang tersebar di masyarakat, sama sekali tidak menyebutkan sumber dan dalilnya. Untuk itu, sikap yang tepat adalah tidak mempraktikkan doa tersebut karena keyakinan bahwa itu bagian dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dianjurkan dalam Islam.
Demikian pula, tidak ada amal tertentu untuk menyegerakan jodoh Anda. Beberapa keterangan tentang amalan untuk mempercepat jodoh, sama sekali tidak memiliki sumber dari syariat. Penjelasan selengkapnya bisa Anda dapatkan di:
Kedua, sesungguhnya tidak ada satu pun manusia yang memahami nasib perjalanan hidupnya. Bahkan seorang nabi sekalipun. Karena hal itu bagian dari ilmu gaib (rahasia) yang hanya diketahui oleh Allah. Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ
Andaikan aku tahu hal yang gaib, tentu aku akan berusaha memperbanyak mendapatkan hal-hal yang baik, dan aku tidak akan tertimpa kemiskinan…” (QS. Al-A’raf: 188).
Kaitanya dengan hal ini, tujuan sesungguhnya kita menikah adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup, bukan semata-mata menikah. Andapun tidak akan bersedia, ketika dipaksa menikah dengan pasangan yang bisa dipastikan akan menjadi masalah besar bagi kehidupan Anda. Sehingga tidak selayaknya kita memaksakan diri harus mendapatkan jodoh saat ini, bahwa bila perlu menikah sekarang juga.
Untuk itu, doa yang baik adalah doa yang diistilahkan dengan jawami’ ad-dua (doa yang kalimatnya padat namun luas maknanya). Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنَ الدُّعَاءِ، وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai jawami’ ad-dua (doa yang kalimatnya padat namun luas maknanya). Dan beliau tinggalkan yang lainnya. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan dishahihkan al-Albani).
Di antaranya adalah doa sapu jagad. Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كَانَ أَكْثَرُ دَعْوَةٍ يَدْعُو بِهَا رَسُولُ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Doa yang paling sering dipanjatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamALLAHUMMA RABBANAA  AATINAA FID-DUNYAA HASANAH WA FIL AAKHIRATI HASANAH WA QINAA ADZAABAN NAAR” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan doa ini, menunjukkan kita pasrah kepada Allah, agar memberikan hal terbaik untuk kehidupan kita di dunia dan akirat.
Ketiga, keterangan di atas, bukan bertujuan untuk menurunkan semangat Anda untuk menikah. kami hanya mengingatkan agar Anda tidak terlalu menggebu-gebu untuk segera mendapatkan jodoh, sehingga bisa jadi tidak mendapatkan sesuai harapan. Kemudian jika Anda menaruh harapan kepada seseorang, berdoalah kepada Allah dengan kalimat yang menunjukkan kepasrahan, seperti menggantungkan kepada kehendak Allah. Sebagai contoh misalnya, Ya Allah, jika dia baik untukku di dunia dan akhirat, jadikanlah dia pasangan hidupku dunia akhirat. Atau yang semakna dengan itu.
Permohonan semacam ini telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk shalat istikharah. Keterangan lebih lengkap tentang tata cara shalat istikharah, bisa Anda dapatkan di:
http://www.konsultasisyariah.com/tata-cara-shalat-istikharah/
Keempat, Allah memberikan jaminan bahwa lelaki yang baik, yang menjaga kehormatannya akan dipasangkan dengan wanita yang baik, yang menjaga kehormatannya. Sebaliknya, wanita yang buruk, yang tidak menjaga kehormatannya, akan dipasangkan dengan lelaki yang sama karakternya. Allah berfirman:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” (QS. An-Nur: 26)
Ketika Anda berharap untuk mendapatkan pasangan yang baik, istri yang sholihah atau suami yang sholih, jadilah manusia yang baik, yang sholih, menjaga kehormatan, menjaga aturan Allah Ta’ala.
Diantara kita yang saat ini masih berada dalam kubangan maksiat, tidak bisa menutup aurat dengan sempurna, kurang bisa menjaga pergaulan, tidak hati-hati menjaga indra dan perasaan, sadarilah, bisa jadi Anda akan mendapatkan pasangan yang sama. Ingat, untuk menuju hidup bahagia, butuh pengorbanan.

Jumat, 16 November 2012

Islam adalah agama yang begitu detil mengatur makanan. Jangankan hewan yang jelas haram seperti babi, sapi-pun bisa menjadi haram ketika penyembelihannya dilakukan tanpa menyebut namaNya. Daging sapi yang sudah dipotong dengan menyebut namaNya-pun yang mestinya halal,  menjadi haram bila yang dipakai untuk membelinya uang yang haram. Seperti sebuah mobil, pabrikannya membuat spesifikasi yang sangat detil tentang bahan bakar apa yang boleh dipakai – karena ini terkait langsung dengan kinerja mobil tersebut.

Begitulah pengaruh makanan terhadap kwalitas manusia, Allah menjaga umat ini agar menjadi umat yang tertinggi derajatnya (QS 3 :139) antara lain juga melalui penjagaan apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak. Banyak riwayat ulama dan tokoh-tokoh Islam di masa lampau yang bisa dirunut sampai makanan yang dimakan oleh orang tua mereka.

Pada situs ini saya tidak mengulas detil tentang halal-haramnya suatu makanan, karena banyak situs lain yang sudah membahasnya. Namun yang saya ingin share adalah bagaimana kita bisa belajar dari kwalitas makanan ini, untuk suatu inspirasi yang lain – suatu peluang untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia saat ini.

Bahwa menjadi orang seperti apa kita antara lain sangat dipengaruhi oleh apa yang kita makan dari kecil – you are what you eat, hal yang sama ternyata juga terjadi pada hewan dan tanaman. Selain babi, hewan lain yang diharamkan adalah binatang-binatang buas – yaitu binatang yang memangsa mahkluk lain untuk makanannya.

Sama-sama berkaki empat dan hidup di hutan yang sama pula, yang makannya tanaman rata-rata halal dan yang makannya daging hewan lainnya adalah haram. Perhatikan bahwa perbedaan makanan mereka para hewan ini berpengaruh langsung pada kehalalan dagingnya untuk dimakan manusia. Allah yang maha tahu rahasia di balik pengaturan ini.

Tetapi satu hal sudah mulai bisa kita pahami dengan jelas, bahwa prinsip you are what you eat berlaku tidak hanya pada manusia tetapi juga pada hewan.  Berlaku juga pada tumbuh-tumbuhan terhadap kwalitas hasilnya – bukan pada halal-haramnya.

Lantas dimana peluangnya ?, setidaknya ada dua peluang besar yang mulai dapat kita lihat sekarang. Pertama adalah apa yang disebut quality transfer (transfer kwalitas) dan yang kedua adalah quality development (pengembangan kwalitas) – yang keduanya dapat dilakukan melalui makanan.

Yang pertama contohnya adalah rhizobacteria  - yaitu bakteri yang berkoloni di akar tanaman. Dengan prinsip ‘you are what you eat’ diatas, kwalitas rhizobacteria yang sangat tinggi bisa kita peroleh dari bakteri-bakteri yang menempel pada tanaman unggulan seperti Alfaafa. Karakter alfaafa yang berprotein tinggi dan produktifitas hasil yang juga sangat tinggi – ikut membentuk menjadi seperti apa bakteri yang berkoloni pada akar-akarnya.

Ketika bakteri yang berkoloni di akar alfaafa ini kita ambil dan kita kembangkan di laboratorium lapangan, subhanallah ternyata karakter keunggulan Alfaafa tersebut dapat ditularkan ke tanaman dan  limbah pertanian melalui proses fermentasi yang melibatkan microba jenis tertentu yang berkoloni di akar alfaafa ini.

Anda yang membutuhkan pakan ternak dan pupuk organic berkwalitas tinggi, kini sudah dapat menggunakan microba yang kami kembangkan dari rhizobacteria alfaafa tersebut. Tanah-tanah yang semula gersang kekurangan hara tanah, limbah pertanian yang semula terbuang – insyaallah akan dapat dioptimalkan manfaatnya – melalui proses quality transfer menggunakan microba yang memakan tananaman yang berkwalitas seperti alfaafa tersebut diatas.

Untuk quality development seperti apa contohnya ?. Kita bisa membuat contoh dari keluarga kita masing-masing. Terutama bagi keluarga muda yang memiliki anak-anak yang masih bayi atau masih kecil. Jaga kehalalan dan kwalitas makanan mereka yang kita gadang-gadang untuk menjadi umat unggulan yang akan memimpin masa depan ini.

Karena kwalitas mereka antara lain akan sangat-sangat dipengaruhi makanan yang kita berikan sejak mereka masih kecil, maka menjaga makanan dari sisi kwalitas dan kehalalannya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya membangun generasi unggulan dari umat ini di masa yang akan datang. Seperti apa umat ini kedepan, tergantung dengan apa yang mereka dan orang tua mereka makan hari ini !. Wa Allahu A’lam.

Kamis, 15 November 2012


dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam hanya berhaji satu kali setelah Hijrah adalah Hadis berikut;
سنن الترمذى – مكنز (3/ 387، بترقيم الشاملة آليا)
عن قَتَادَةُ قَالَ قُلْتُ لأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ كَمْ حَجَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ حَجَّةٌ وَاحِدَةٌ وَاعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرٍ عُمْرَةٌ فِى ذِى الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةُ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةٌ مَعَ حَجَّتِهِ وَعُمْرَةُ الْجِعِرَّانَةِ إِذْ قَسَّمَ غَنِيمَةَ حُنَيْنٍ
Dari Qatadah bercerita; “Aku bertanya kepada Anas bin Malik; ‘Berapa kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan Haji? ‘ Dia menjawab; ‘Satu kali dan berumrah empat kali umrah’; satu kali di bulan Dzul Qa’dah, umrah Hudaibiyah, umrah bersama Haji dan umrah Ji’ronah tatkala membagi harta rampasan perang Hunain’.” (H.R. At-Tirmidzi)
Riwayat Bukhari berbunyi;
صحيح البخاري (13/ 312)
عن زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ غَزْوَةً وَأَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً لَمْ يَحُجَّ بَعْدَهَا حَجَّةَ الْوَدَاعِ
قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ وَبِمَكَّةَ أُخْرَى
Dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berperang sebanyak sembilan belas peperangan. Dan beliau melaksanakan Haji setelah Hijrah sebanyak satu kali, dan tidak melaksanakan Haji setelah itu. Haji itu adalah Haji Wada’ . (H.R. Bukhari)
Riwayat Muslim berbunyi;
صحيح مسلم (6/ 322)
عَنْ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ سَأَلْتُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ
كَمْ غَزَوْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَ عَشْرَةَ قَالَ وَحَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ وَأَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً حَجَّةَ الْوَدَاعِ
dari Abu Ishaq ia berkata; saya bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Berapa kali Anda berperang bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab, “Tujuh belas kali.” Abu Ishaq berkata; Dan telah menceritakan kepadaku Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berperang sebanyak sembilan belas kali, dan setelah Hijrah beliau mengerjakan Haji hanya sekali, yaitu Haji Wada’ (H.R. Muslim)
Umrah saja Rasullulah SAW hanya empat kali sbb:
Alasan Untuk Tidak Berumrah Berkali-kali
Pertama. Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini.
Kedua. Tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari para sahabat yang menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haji wada’ yang beranjak keluar menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Mereka juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah.
Ketiga. Umrah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Mekah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di sana.
Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah.
Dalam hal ini beliau tidak keluar dari Mekah ke Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.
Keempat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga para sahabat -kecuali Aisyah- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekah, meski setelah Mekah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam.
Padahal thawaf di Ka’bah sudah masyru’ (disyariatkan) sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dan bahkan sejak Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Mereka mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu. Hal ini mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi penduduk Mekah (orang yang berada di Mekah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah.
Tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul (yang nilainya kurang) dibandingkan amalan yang lebih afdhal (nilainya lebih utama) dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umat Islam untuk melakukan umrah berulang-ulang saat berada di Mekah (Majmu’ al Fatawa, 26:256. 273).
Kelima. Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa’i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan). (Majmu’ Fatawa, 26:262).



Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS Ali ‘Imran:14).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala[1].
Salah Menempatkan Arti Cinta dan Kasih Sayang
Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.
Sewaktu menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah telah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”[2].
Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم”
Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka[3].
Cinta sejati yang abadi
Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak diwujudkan dengan hanya mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[4].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[5].
Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiyallahu ‘anhuma masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”[6].
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[7].
Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…[8].
Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}
Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-Zukhruf:67).
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya[9].
Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba –dengan izin Allah Ta’ala– akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}
Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala[10].
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 25 Rabi’ul akhir 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).
[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[3] HSR al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).
[4] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[6] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[7] Fathul Baari (3/355).
[8] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa’” (hal. 68).
[9] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/170).
[10] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).


Follow kumpulan tanya jawab islam dan keluarga

Calendar holidays by Excel Calendar

Disclaimer

i don't own anything in this blog. all articles, images, videos belong to its owners / creator. if you think this useful feel free to share, rewrite, or copy
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Info Harga Komoditi/Pangan

Flag Counter



Data Provided By Google Analytics

Diberdayakan oleh Blogger.

Mari gabung agar kenal & tidak terjerat riba/bunga bank

Bantuan hukum bagi yang terjerat riba (bunga bank)

Pencarian tentang Islam

yufid.com

[Disebutkan keadaan manusia di hari kiamat, "Alangkah baiknya kiranya aku dulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". QS Al-Fajr : 24]'


Orang ini menyebut akhirat dengan HIDUPKU. Artinya, sekarang ini KEHIDUPAN KITA BELUM DIMULAI

(-_-)

Video Pilihan

Paling Banyak Dibaca

Our Facebook Page