Rabu, 12 April 2017

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bani Israil biasa mandi dengan bertelanjang, satu sama lain saling melihat anggota badan temannya. Tetapi Nabi Musa mandi seorang diri. Mereka mengatakan, ‘Demi Allah! Tidak ada yang melarang Musa mandi bersama-sama dengan kita kecuali karena dia berpenyakit, buah pelirnya besar.’

Pada suatu kali, Nabi Musa mandi. Kainnya diletakkan di atas batu, lalu batu itu melarikan kain Nabi Musa dan beliau menyusulnya sambil berteriak, ‘Kainku! Kainku, wahai batu!’ Sehingga, Bani Isaril dapat melihat (aurat) Nabi Musa, lantas mereka berkata, ‘Demi Allah! Musa tidak berpenyakit apa-apa.’ Lalu Nabi Musa mengambil kainnya dan dipukulnya batu itu.”
Abu Hurairah berkata, “Pada batu itu terdapat enam atau tujuh bekas pukulan.”
Serta turunlah ayat yang berkenaan dengan cerita ini,
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَتَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ ءَاذَوْا مُوْسَى فَبَرَّأَهُ اللهُ مِمَّا قَالُوْا وَكَانَ عِنْدَ اللهِ وَجِيْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa, maka Allah membersihakannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah orang yang mempunyai kedudukan di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 69) (HR. Al-Bukhari no. 278 dan Muslim no. 2372)
Pelajaran yang dapat dipetik:
  1. Dalam keadaan darurat diperbolehkan telanjang. Adapun dalam kondisi wajar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada Muawiyah bin Al-Hakam, “Jagalah auratmu kecuali untuk istrimu atau budak-budak yang kamu miliki.”
  2. Ketika darurat, seperti pengobatan dan lain-lain, diperbolehkan melihat aurat orang lain.
  3. Diperbolehkan mandi telanjang jika seorang diri, dan yang lebih utama adalah memakai penutup.
  4. Syariat umat sebelum Nabi Muhammad yang bertentangan dengan syariat Muhammad, tidak menjadi syariat Muhammad.
  5. Para nabi adalah manusia-manusia yang berparas dan berakhlak sempurna.
  6. Para nabi, sebagaimana manusia, mempunyai sifat-sifat yang manusiawi, mereka bisa marah dan memukul.
  7. Menerangkan keteguhan dan kesabaran para nabi atas perilaku orang-orang bodoh dan gangguan mereka.
  8. Keutamaan rasa malu. Malu merupakan akhlak mulia dan sifat para nabi.
Sumber: 61 Kisah Pengantar Tidur, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, Cetakan VI, 2009.
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com)

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
ASAL USUL BUDAYA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah. Merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture. Berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture, juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Dalam Islam, istilah ini disebut dengan adab. Islam telah menggariskan adab-adab Islami yang mengatur etika dan norma-norma pemeluknya. Adab-adab Islami ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tuntunannya turun langsung dari Allah l melalui wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan terbaik dalam hal etika dan adab ini.
Sebelum kedatangan Islam, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu ialah budaya jahiliyah. Di antara budaya jahiliyah yang dilarang oleh Islam, misalnya tathayyur, menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan lain sebagainya.
Dinul-Islam sangat menitik beratkan pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan yang universal, menoreh sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya yang membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban dunia modern untuk kemaslahatan masyarakat Islami. Allah berfirman:
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri”. Barang siapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” [‘Ali ‘Imran/3:84-85]
PENETRASI BUDAYA
Proses penetrasi budaya merupakan suatu hal yang tak bisa dihindari. Karena kehidupan manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Interaksi sosial di antara manusia menyebabkan terjadinya proses penetrasi budaya ini. Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan, ialah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke dalam kebudayaan lainnya.
Penetrasi budaya dapat terjadi dengan dua cara.
1. Penetrasi Damai (Penetration Pasifique).
Yaitu masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan inipun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi atau sintesis.
Akulturasi, ialah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dengan India.
Asimilasi, adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis, yaitu bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
Dan sesudah tersebarnya agama Islam di Nusantara, pengaruh-pengaruh kebudayaan yang telah berasimilasi itu masih tersisa dan dipertahankan oleh sebagian orang. Oleh karena itu, kita melihat unsur-unsur budaya India ini pada sebagian ritual keagamaan yang dilakukan oleh sebagian orang Islam, misalnya dalam upacara-upacara selamatan, seperti halnya upah-upah di Mandailing, peusijeuk di Aceh, dan tepung tawar di Melayu, serta upacara-upacara perkawinan dan kematian.
2. Penetrasi Kekerasan (Penetration Violante).
Yaitu masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Sebagai contoh, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan, sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat.
KEBUDAYAAN DI INDONESIA
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum terbentuknya negara Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari berbagai budaya suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya, seperti kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan India. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi, ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, yakni kerajaan Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikah dengan penduduk local, hingga akhirnya menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia, semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Adapun adab-adab Islam masuk ke Indonesia seiring dengan perkembangannya di Nusantara, yang dibawa oleh dai-dai dari Timur Tengah dan Asia Selatan.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN MANUSIA
‘Aisyah Radhiyalahu ‘anha menceritakan: “Sesungguhnya pernikahan pada masa jahiliyah ada empat macam. Pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sekarang. Yaitu seseorang datang meminang wanita atau anak gadis kepada walinya, lalu ia memberi mahar kepadanya kemudian menikahinya”.
Jenis pernikahan lainnya, seorang lelaki berkata kepada istrinya apabila telah suci dari haidhnya, “pergilah menemui si Fulan lalu ambillah benih darinya,” kemudian suaminya menjauhi dan tidak menyentuhnya lagi hingga jelas kehamilannya dari benih si fulan tadi. Jika ternyata hamil, maka si suami boleh menyetubuhinya bila ia mau. Ia melakukan itu untuk mendapatkan anak. Pernikahan jenis ini disebut nikah istibdhâ`.
Pernikahan jenis lain, yaitu berkumpullah beberapa orang lelaki yang berjumlah sekitar sepuluh orang. Mereka semua menyetubuhi seorang wanita. Apabila wanita itu hamil atau mengandung, dan telah lewat beberapa hari setelah melahirkan kandungannya, maka iapun mengirim bayinya kepada salah seorang dari laki-laki itu. Maka mereka pun tidak bisa mengelak. Kemudian mereka semua berkumpul dengan wanita itu, lalu si wanita berkata kepada mereka: “Tentunya kalian telah mengetahui urusan kalian. Aku telah melahirkan seorang anak, dan anak ini adalah anakmu hai Fulan”. Si wanita menyebutkan nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan anak tersebut dinisbatkan kepada lelaki itu tanpa bisa menolaknya lagi.
Pernikahan jenis lain, yaitu sejumlah lelaki menyetubuhi seorang wanita tanpa menolak siapapun lelaki yang datang kepadanya. Dia ini ialah perempuan pelacur. Mereka menancapkan bendera pada pintu-pintu rumah sebagai tanda. Siapa saja lelaki yang ingin menyetubuhinya, ia bebas mendatanginya. Jika perempuan ini hamil dan melahirkan anak, maka para lelaki itupun dikumpulkan. Lalu dipanggilah qâfah [1] kemudian anak tersebut dinisbatkan kepada salah seorang dari mereka yang telah ditunjuk oleh qâfah tersebut. Maka anak itupun dinisbatkan kepadanya tanpa bisa menolaknya.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi rasul dengan membawa kebenaran, dihapuslah seluruh jenis pernikahan jahiliyah kecuali penikahan yang dilakukan oleh orang-orang sekarang ini.[2]
Dari riwayat ini, kita dapat mengetahui bahwa Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab yang ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang budaya-budaya yang mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.
Jadi, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, silakan melakukannya. Namun jika bertentangan dengan ajaran Islam, seperti memamerkan aurat pada sebagian pakaian adat daerah, atau budaya itu berbau syirik atau memiliki asal-usul ritual syirik dan pemujaan atau penyembahan kepada dewa-dewa atau tuhan-tuhan selain Allah, maka budaya seperti itu hukumnya haram.
BEBERAPA CONTOH KEBUDAYAAN MASYARAKAT INDONESIA
A. Budaya Tumpeng.
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Itulah sebabnya disebut “nasi tumpeng”. Olahan nasi yang dipakai, umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai “tumpengan”. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi “tumpengan” pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.
Ada beberapa macam tumpeng ini, di antaranya sebagai berikut.
1. Tumpeng Robyong. Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
2. Tumpeng Nujuh Bulan. Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan, dan terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini juga dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
3. Tumpeng Pungkur. Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
4. Tumpeng Putih. Warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
5. Tumpeng Nasi Kuning. Warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
6. Tumpeng Nasi Uduk. Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
Dari situ dapat kita ketahui bila tumpeng dibuat dalam rangka acara-acara atau ritual-ritual di atas, maka Islam tidak membenarkannya. Namun kalau sekedar membuat tumpeng sebagai seni memasak tanpa disertai acara dan ritual tersebut, maka tidaklah mengapa.
B. Peusijeuk, upah-upah (manyonggot), tepung tawar dan selamatan.
Adat istiadat ini biasa diadakan apabila seseorang memiliki hajatan atau hendak pergi jauh untuk menghilangkan kesialan. Di daerah Aceh, acara ini disebut peusijeuk. Di pesisir Melayu disebut tepung tawar, dan di Jawa dikenal dengan sebutan selamatan. Di daerah Tapanuli Utara dan Asahan dikenal dengan sebutan upah-upah atau manyonggot.
Tepung tawar biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang ditepung tawari. Adapun upah-upah, juga merupakan upacara menolak kesialan. Biasanya dilakukan terhadap orang yang sakit agar spiritualnya (roh) kembali ke jasadnya. Yaitu dengan memasak ayam kemudian diletakkan di piring lalu dibawa mengitari orang yang akan diupah-upahi, kemudian disuapkan kepada orang tersebut. Tujuannya ialah mengembalikan semangat pada orang sakit itu.
Acara-acara seperti tersebut di atas, tidak lepas dari unsur-unsur kepercayaan animisme, dan konon asal-usulnya berasal dari ritual-ritual nenek moyang.
C. Sungkeman.
Biasanya, kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu. Dilakukan dengan cara sujud kepada orang tua atau orang yang dianggap sepuh (Jawa, tua atau dituakan). Adat ini mengandung unsur sujud dan rukuk kepada selain Allah, yang tentunya dilarang dalam Islam.
D. Beberapa adat-istiadat dalam upacara perkawinan adat Jawa yang bertentangan dengan syariat Islam, karena mengandung unsur syirik atau maksiat atau lainnya.
1. Tarub atau janur kuning. Sehari sebelum pernikahan, biasanya gerbang rumah pengantin perempuan akan dihiasi tarub atau janur kuning yang terdiri dari bermacam tumbuhan dan daun-daunan, dua pohon pisang dengan setandan pisang masak pada masing-masing pohon, melambangkan suami yang akan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan pasangan yang akan hidup baik dan bahagia dimanapun mereka berada (seperti pohon pisang yang mudah tumbuh di manapun).
Tebu Wulung atau tebu merah, yang berarti keluarga yang mengutamakan pikiran sehat.
Cengkir Gading atau buah kelapa muda, yang berarti pasangan suami istri akan saling mencintai dan saling menjagai dan merawat satu sama lain.
Berbagai macam daun seperti daun beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap serep, sebagai simbol kedua pengantin akan hidup aman dan keluarga mereka terlindung dari mara bahaya. Selain itu di atas gerbang rumah juga dipasang belketepe, yaitu hiasan dari daun kelapa untuk mengusir roh-roh jahat dan sebagai tanda bahwa ada acara pernikahan sedang berlangsung di tempat tersebut.
Sebelum tarub dan janur kuning tersebut dipasang, sesajen atau persembahan sesajian biasanya dipersiapkan terlebih dahulu. Sesajian tersebut antara lain terdiri dari pisang, kelapa, beras, daging sapi, tempe, buah-buahan, roti, bunga, bermacam-macam minuman termasuk jamu, lampu, dan lainnya. Arti simbolis dari sesajian ini ialah agar diberkati leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat. Sesajian ini diletakkan di tempat-tempat dimana upacara pernikahan akan dilangsungkan, seperti kamar mandi, dapur, pintu gerbang, di bawah tarub, di jalanan di dekat rumah, dan sebagainya. Dekorasi lain yang dipersiapkan adalah Kembar Mayang yang akan digunakan dalam upacara panggih.
2. Upacara Siraman. Acara yang dilakukan pada siang hari sebelum ijab atau upacara pernikahan ini, bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau taman keluarga masing-masing dan dilakukan oleh orang tua atau wakil mereka.
Ada tujuh Pitulungan atau penolong (Pitu artinya tujuh) -biasanya tujuh orang yang dianggap baik atau penting- yang membantu acara ini. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari, yang jika memungkinkan diambil dari tujuh mata air dan melambangkan kehidupan. Keluarga pengantin perempuan akan mengirim utusan dengan membawa Banyu Perwitosari ke kediaman keluarga pengantin pria dan menuangkannya di dalam rumah pengantin pria.
3. Pecah Kendi. Yaitu ibu pengantin perempuan atau Pameas (untuk siraman pengantin pria) atau orang yang terakhir akan memecahkan kendi dan mengatakan “wis pecah pamore”, artinya sekarang sang pengantin siap untuk menikah.
4. Pangkas Rikmo lan Tanam Rikmo. Acara memotong sedikit rambut pengantin perempuan dan potongan rambut tersebut ditanam di rumah belakang.
5. Ngerik, Yaitu pengantin perempuan duduk di dalam kamarnya. Pameas lalu mengeringkan rambutnya dan memberi pewangi di rambutnya. Rambutnya lalu disisir dan digelung atau dibentuk konde. Setelah Pameas mengeringkan wajah dan leher sang pengantin, lalu ia mulai mendandani wajah sang pengantin. Lalu sang pengantin akan dipakaikan baju kebaya dan kain batik. Sesajian untuk upacara Ngerik pada dasarnya sama untuk acara siraman. Biasanya supaya lebih mudah sesajian untuk siraman digunakan / dimasukkan ke kamar pengantin dan dipakai untuk sesajian upacara Ngerik.
6. Gendhongan. Kedua orangtua pengantin perempuan menggendong anak mereka yang melambangkan ngentaske, artinya mengentaskan seorang anak.
7. Dodol Dhawet. Kedua orangtua pengantin wanita berjualan minuman dawet, yaitu minuman manis khas Solo, tujuannya agar banyak tamu yang datang.
8. Temu Panggih. Penyerahan pisang sanggan berupa gedung ayu suruh ayu sebagai tebusan atau syarat untuk pengantin perempuan.
9. Penyerahan Cikal. Sebagai tanda agar kehidupan mendatang menjadi orang berguna dan tak kurang suatu apapun.
10. Penyerahan Jago Kisoh. Sebagai tanda melepaskan anak dengan penuh ikhlas.
11. Tukar Manuk Cengkir Gading. Acara tukar menukar kembang mayang diawali tukar menukar manuk cengkir gading, sebagai simbol agar kedua pengantin menjadi pasangan yang berguna bagi keluarga dan masyarakat.
12. Upacara Midodaren. Acara ini dilakukan pada malam hari sesudah siraman. Midodaren berarti menjadikan sang pengantin perempuan secantik dewi Widodari. Pengantin perempuan akan tinggal di kamarnya mulai dari jam enam sore sampai tengah malam dan ditemani oleh kerabat-kerabatnya yang perempuan. Mereka akan bercakap-cakap dan memberikan nasihat kepada pengantin perempuan.
Orang tua pengantin perempuan akan memberinya makan untuk terakhir kalinya, karena mulai besok ia akan menjadi tanggung jawab suaminya.
13. Peningsetan. Peningsetan yang berasal dari kata “singset” atau langsing, memiliki arti untuk mempersatukan. Kedua keluarga mempelai setuju untuk kedua anak mereka disatukan dalam tali pernikahan. Keluarga pengantin pria datang berkunjung ke kediaman keluarga pengantin perempuan membawa berbagai macam hantaran sebagai berikut:
Satu set Suruh Ayu (semacam daun yang wangi), mendoakan keselamatan. Pakaian batik dengan motif yang berbeda-beda, mendoakan kebahagiaan. Kain kebaya, mendoakan kebahagiaan. Ikat pinggang kain (setagen) bewarna putih, melambangkan kemauan yang kuat dari mempelai perempuan. Buah-buahan, mendoakan kesehatan. Beras, gula, garam, minyak, dll, melambangkan kebutuhan hidup sehari-hari. Sepasang cincin untuk kedua mempelai. Sejumlah uang untuk digunakan di acara pernikahan.
Acara ini disebut juga acara serah-serahan. Bisa diartikan bahwa sang calon mempelai perempuan “diserahkan” kepada keluarga calon mempelai pria sebagai menantu mereka atau calon mempelai pria nyantri di kediaman keluarga calon mempelai perempuan.
Pada masa kini, demi alasan kepraktisan, kedua belah pihak kadang-kadang dapat berbicara langsung tanpa upacara apapun. Selain menghemat waktu dan uang, juga langsung pada pokok persoalan.
14. Nyantri. Selama acara midodaren berlangsung, calon mempelai pria tidak boleh masuk menemui keluarga calon mempelai perempuan. Selama keluarganya berada di dalam rumah, ia hanya boleh duduk di depan rumah ditemani oleh beberapa teman atau anggota keluarga. Dalam kurun waktu itu, ia hanya boleh diberi segelas air, dan tidak diperbolehkan merokok. Sang calon mempelai pria baru boleh makan setelah tengah malam. Hal itu merupakan pelajaran bahwa ia harus dapat menahan lapar dan godaan. Sebelum keluarganya meninggalkan rumah tersebut, kedua orangtuanya akan menitipkan anak mereka kepada keluarga calon mempelai perempuan, dan malam itu sang calon mempelai pria tidak akan pulang ke rumah. Setelah mereka keluar dari rumah dan pulang, calon mempelai pria diijinkan masuk ke rumah namun tidak diijinkan masuk ke kamar pengantin. Calon mertuanya akan mengatur tempat tinggalnya malam itu. Ini disebut dengan Nyantri. Nyantri dilakukan untuk alasan keamanan dan praktis, mengingat bahwa besok paginya calon pengantin akan didandani dan dipersiapkan untuk acara Ijab dan acara-acara lainnya.
15. Upacara panggih/temu (mengawali acara resepsi). Pada upacara ini kembar mayang dibawa keluar rumah dan diletakan di persimpangan dekat rumah yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Kembar mayang adalah karangan bunga yang terdiri dari daun-daun pohon kelapa yang ditancapkan ke sebatang tanggul kelapa. Dekorasi ini memiliki makna:
Berbentuk seperti gunung, tinggi dan luas, melambangkan seorang laki-laki harus berpengetahuan luas, berpengalaman, dan sabar. Hiasan menyerupai keris, pasangan harus berhati-hati di dalam hidup mereka. Hiasan menyerupai cemeti, pasangan harus selalu berpikir positif dengan harapan untuk hidup bahagia. Hiasan menyerupai payung, pasangan harus melindungi keluarga mereka. Hiasan menyerupai belalang, pasangan harus tangkas, berpikir cepat dan mengambil keputusan untuk keselamatan keluarga mereka. Hiasan menyerupai burung, pasangan harus memiliki tujuan hidup yang tinggi. Daun beringin, pasangan harus selalu melindungi keluarga mereka dan orang lain. Daun kruton, melindungi pasangan pengantin dari roh-roh jahat. Daun dadap serep, daun ini dapat menjadi obat turun panas, menandakan pasangan harus selalu berpikiran jernih dan tenang dalam menghadapi segala permasalahan (menenangkan perasaan dan mendinginkan kepala). Bunga Patra Manggala, digunakan untuk mempercantik hiasan kembar mayang.
Sebagai hiasan, sepasang kembar mayang diletakkan di samping kanan dan kiri tempat duduk pengantin selama resepsi pernikahan. Kembar mayang hanya digunakan jika pasangan pengantin belum pernah menikah sebelumnya.
Dan kemudian melanjutkan upacara dengan melakukan beberapa ritual:
16. Balangan Suruh. Setelah pengantin laki-laki (dengan ditemani kerabat dekatnya, dan orang tuanya tidak boleh menemaninya dalam acara ini) tiba di depan gerbang rumah pengantin perempuan dan pengantin perempuan keluar dari kamar pengantin dengan diapit oleh dua orang tetua perempuan dan diikuti dengan orangtua dan keluarganya. Di depannya dua anak perempuan (yang disebut Patah) berjalan dan dua remaja laki-laki berjalan membawa kembar mayang. Pada saat jarak mereka sekitar tiga meter, mereka saling melempar tujuh bungusan yang berisi daun sirih, jeruk, yang ditali dengan benang putih. Mereka melempar dengan penuh semangat dan tertawa. Dengan melempar daun sirih satu sama lain, menandakan bahwa mereka adalah manusia, bukan makhluk jadi-jadian yang menyamar jadi pengantin. Selain itu ritual ini juga melambangkan cinta kasih dan kesetiaan.
17. Wiji Dadi. Mempelai laki-laki menginjak telur ayam hingga pecah dengan kaki kanan, kemudian pengantin perempuan akan membasuh kaki sang suami dengan air bunga. Proses ini melambangkan seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya dan istri yang taat melayani suaminya.
18. Pupuk. Ibu pengantin perempuan yang mengusap pengantin laki-laki sebagai tanda ikhlas menerimanya sebagai bagian dari keluarga.
19. Sindur Binayang. Di dalam ritual ini ayah pengantin perempuan menuntun pasangan pengantin ke kursi pelaminan, ibu pengantin perempuan menyampirkan kain sindur sebagai tanda bahwa sang ayah menunjukkan jalan menuju kebahagiaan dan sang ibu memberikan dukungan moral.
20. Timbang/Pangkon. Di dalam ritual ini pasangan pengantin duduk di pangkuan ayah pengantin perempuan, dan sang ayah akan berkata bahwa berat mereka sama, berarti bahwa cinta mereka sama-sama kuat dan juga sebagai tanda kasih sayang orang tua terhadap anak dan menantu sama besarnya.
21. Tanem. Di dalam ritual ini ayah pengantin perempuan mendudukkan pasangan pengantin di kursi pengantin sebagai tanda merestui pernikahan mereka dan memberikan berkat.
22. Tukar Kalpika. Mula-mula pengantin pria meninggalkan kamarnya dengan diapit oleh anggota laki-laki keluarga (saudara laki-laki dan paman-paman). Seorang anggota keluarga yang dihormati terpilih untuk berperan sebagai kepala rombongan. Pada waktu yang sama, pengantin perempuan juga meninggalkan kamar sambil diapit oleh bibi-bibinya untuk menemui pengantin pria. Sekarang kedua pengantin duduk di meja dengan wakil-wakil dari masing-masing keluarga, dan kemudian saling menukarkan cincin sebagai tanda cinta.
23. Kacar-Kucur/Tampa Kaya/Tandur. Dengan bantuan Pemaes, pasangan pengantin berjalan dengan memegang jari kelingking pasangannya, ke tempat ritual kacar-kucur atau tampa kaya. Pengantin pria akan menuangkan kacang kedelai, kacang tanah, beras, jagung, beras ketan, bunga dan uang logam (jumlahnya harus genap) ke pangkuan perempuan sebagai simbol pemberian nafkah. Pengantin perempuan menerima hadiah ini dengan dibungkus kain putih yang ada di pangkuannya sebagai simbol istri yang baik dan peduli.
24. Dahar Kembul/Dahar Walimah. Kedua pengantin saling menyuapi nasi satu sama lain yang melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam susah dan senang dan saling menikmati milik mereka bersama. Pemaes akan memberikan sebuah piring kepada pengantin perempuan (berisi nasi kuning, telur goreng, kedelai, tempe, abon, dan hati ayam). Pertama-tama, pengantin pria membuat tiga bulatan nasi dengan tangan kanannya dan menyuapkannya ke mulut pengantin perempuan. Setelah itu ganti pengantin perempuan yang menyuapi pengantin pria. Setelah makan, mereka lalu minum teh manis.
25. Rujak Degan. Acara pembuka untuk anak pertama, memohon supaya segera memiliki anak. Rujak degan artinya agar dalam pernikahan selalu sehat sejahtera.
26. Bubak Kawah. Acara perebutan alat-alat dapur untuk anak pertama. Artinya agar pernikahan keduanya sehat dan sejahtera.
27. Tumplak Punjen. Acara awal untuk anak bungsu. Artinya segala kekayaan ditumpahkan karena menantu yang terakhir.
28. Mertui. Orang tua pengantin perempuan menjemput orang tua pengantin laki-laki di depan rumah untuk berjalan bersama menuju tempat upacara. Kedua ibu berjalan di muka, kedua ayah di belakang. Orangtua pengantin pria duduk di sebelah kiri pasangan pengantin, dan sebaliknya.
29. Sungkeman. Kedua pengantin bersujud memohon restu dari masing-masing orangtua. Pertama-tama ayah dan ibu pengantin perempuan, kemudian baru ayah dan ibu pengantin pria. Selama sungkeman, Pemaes mengambil keris dari pengantin pria, dan setelah sungkeman baru dikembalikan lagi.
Itulah beberapa adat istiadat dan kebudayaan di kalangan masyarakat Jawa yang bertentangan dengan ajaran Islam. Di antaranya ada yang berupa syirik, dan di antaranya ada yang berupa maksiat dan penghambur-hamburan harta dan pemberatan atas manusia. Maha Benar Allah yang mengatakan:
!”Kami tidak menurunkan Al-Qur`ân ini kepadamu agar kamu menjadi susah” [Thaha 20:2].
Siapa saja yang berpaling dari pedoman dan syariatnya pasti sempit dan susah hidupnya, Allah berfirman:
“Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. [Thaha/20:124].
E. Tabot atau Tabuik.
Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
Perayaan di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaih Burhanuddin (Imam Senggolo) menikah dengan wanita Bengkulu kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar islam) setiap tahun.
Pada awalnya, inti upacara Tabot ialah untuk mengenang upaya pemimpin Syi’ah dan kaumnya mengumpulkan potongan tubuh Husein, mengarak dan memakamkannya di Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata Arab, “tabut”, yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti.
Dalam Al-Qur`ân, kata Tabot dikenal sebagai sebuah peti yang berisikan kitab Taurat. Bani Israil pada masa itu percaya bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan bila Tabot ini muncul dan berada di tangan pemimpin mereka. Sebaliknya mereka akan mendapatkan malapetaka bila benda itu hilang.
Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut paham Syi’ah ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India yang kebetulan merupakan penganut Islam Syi‘ah.
Para pekerja yang merasa cocok dengan tata kehidupan masyarakat Bengkulu, dipimpin oleh Imam Senggolo alias Syaikh Burhanuddin, memutuskan tinggal dan mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas, sekarang dikenal dengan nama Kelurahan Tengah Padang. Tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali diwariskan kepada keturunan mereka yang telah berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu asli dan menghasilkan keturunan yang dikenal dengan sebutan orang-orang Sipai.
Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan sebutan upacara Tabot. Upacara Tabot ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil. Namun dalam perkembangannya, kegiatan Tabot menghilang di banyak tempat. Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua tempat, yaitu di Bengkulu dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumbar (masuk sekitar tahun 1831) dengan sebutan Tabuik. Keduanya sama, namun cara pelaksanaannya agak berbeda.
Jika pada awalnya upacara Tabot (Tabuik) digunakan oleh orang-orang Syi‘ah untuk mengenang gugurnya Husain bin Ali bin Abi Thalib, maka sejak orang-orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi‘ah, upacara ini dilakukan hanya sebagai kewajiban keluarga untuk memenuhi wasiat leluhur mereka. Belakangan, sejak satu dekade terakhir, selain melaksanakan wasiat leluhur, upacara ini juga dimaksudkan sebagai wujud partisipasi orang-orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat.
Dengan alasan melestarikan budaya itulah, banyak kaum muslimin melakukannya. Padahal tidak diragukan lagi bahwa adat dan budaya seperti itu sangat jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan mengandung unsur syirik dan bid’ah. Sehingga wajib bagi kaum muslimin untuk menjauhinya.
F. Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain:
1. Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
2. Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
3. Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4. Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5. Sunatan yaitu acara khinatan.
Masyarakat di Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako’ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan acara kirim donga (kirim doa) pada hari ke-1, ke-3 (telung dino), ke-7 (pitung dino), ke-40 (patang puluh dino), ke-100 (satus dino), 1 tahun (pendak pisan), 2 tahun (pendak pindo) dan 3 tahun atau 1000 hari setelah kematian (nyewu).
Acara-acara seperti ini berbau budaya Hindu yang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat.
Kesimpulannya : Sebenarnya masih banyak lagi adat dan budaya yang menyebar di tengah-tengah masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang benar. Adapun yang kami sebutkan itu hanyalah sebagai contoh, dan bentuknya bisa berubah-ubah dan bervariasi sesuai dengan perkembangan budaya itu sendiri.
Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin secara cermat meneliti asal usulnya, apakah budaya itu mengandung unsur yang dilarang dalam agama atau tidak? Sebab, kita harus menjadikan syariat Islam sebagai barometernya, bukan sebaliknya. Karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah, dan sebenar-benar pedoman adalah pedoman para salaf.
Marâji`:
1. Âdâbul-Khithbah wa Zifâf Minal-Kitâb wa Shahîhis-Sunnah, ‘Amru Abdul-Mun’im Salim.
2. Âdâbusy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih.
3. Fathul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni.
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
5. Mausu’ah Adab Islami, Abu ‘Umar ‘Abdul-‘Aziz bin Fathi bin as-Sayyid Nidâ`.
6. Ritual Budaya Tabot Sebagai Media Penyiaran Dakwah Islam di Bengkulu, Bambang Indarto, Skripsi Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.
7. Wikipedia Indonesia.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Almanhaj.or.id


Mencari rezeki termasuk salah satu perkara yang menyibukkan kehidupan seorang insan, terlebih lagi bila ia seorang kepala rumah tangga yang memiliki banyak tanggungan, anak dan istri yang harus dihidupinya. Tak jarang untuk mendukung ekonomi keluarga seorang istri turut bekerja, baik di dalam maupun di luar rumahnya.
Kata sebagian orang yang tertipu dengan dunia, tahun-tahun belakangan ini hidup semakin sulit, susah mendapatkan penghasilan. “Jangankan yang halal, yang haram aja susah,” kata mereka. “Jadi orang itu jangan terlalu lurus, jangan terlalu jujur, karena nanti susah dapat bagian, sempit rezekinya. Nggak apa-apa sedikit bengkok kalau pengen hidup senang,” kata yang lain. “Sama agama biasa aja lah, jangan terlalu fanatik, nanti dunianya nggak dapat.”, “Nggak apa-apa deh kita menutup mata dari sebagian hukum Islam kalau ingin ekonomi rumah tangganya baik, Allah kan Maha Tahu kesulitan kita, kan zaman semakin sulit.” Atau pernyataan lain yang senada. Wallahul musta’an.
Ungkapan dan anggapan seperti di atas sepertinya sedikit banyak turut memengaruhi pikiran kita yang ingin lebih dalam mempelajari agama dan memegangi tuntunan agama. “Kayaknya kita ikut ngaji, hidup semakin sempit. Apa-apa tidak boleh. Mau usaha ini nggak boleh, usaha itu nggak pantas. Suami saya putar-putar cari rezeki nggak dapat juga.”
Apa iya seperti itu? Benarkah berpegang dengan Islam yang benar akan menyempitkan rezeki?
Sungguh mereka yang berpikiran demikian lupa atau pura-pura lupa bahwa Sang Pencipta k tidaklah mensyariatkan agama-Nya kepada insan hanya sekadar membimbing kehidupan ukhrawinya saja. Bahkan ajaran-Nya juga berisi bimbingan kehidupan duniawi dan bagaimana mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Bukankah Nabi yang mulia n banyak melantunkan doa:
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.” (Al-Baqarah: 201)1
Al-Qadhi ‘Iyadh2 t berkata, “Beliau n banyak mengucapkan doa: ‘Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia…’ dst, karena doa ini mengumpulkan seluruh makna doa dari perkara dunia dan akhirat. Hasanah/kebaikan yang dipinta di sini menurut mereka adalah kenikmatan. Maka beliau n memohon kepada Allah l kenikmatan dunia dan akhirat serta penjagaan dari azab neraka.” (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/190)
Al-Hafizh Ibnu Katsir3 t menyatakan, “Kebaikan di dunia mencakup seluruh yang dicari/diharapkan dari dunia ini berupa kesehatan, rumah yang lapang, istri yang baik, rezeki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang mudah, sebutan yang baik, dan selainnya. Meliputi kebaikan apa saja yang disebutkan para ahli tafsir. Tidak ada pertentangan satu sama lain, karena seluruhnya termasuk kebaikan di dunia. Adapun kebaikan di akhirat, tentunya yang paling tinggi adalah masuk surga dan yang di bawahnya adalah keamanan dari kengerian yang dahsyat di padang mahsyar, mudahnya penghisaban, dan perkara kebaikan akhirat lainnya. Sementara permintaan selamat dari neraka berkonsekuensi memohon diberi kemudahan untuk menempuh sebab-sebab keselamatan ketika hidup di dunia berupa menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, dosa-dosa, meninggalkan syubhat dan yang haram.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 1/319)
Allah yang Maha Mulia, demikian pula Nabi-Nya yang mulia n, tidak membiarkan umat Islam berjalan dalam kegelapan dan kebingungan kala berupaya mencari penghidupan. Bahkan diajarkan kepada umat ini sebab-sebab datangnya rezeki, yang kalau umat ini memahaminya, berpegang dengannya dan menggunakannya dengan baik niscaya rezeki akan mudah diperolehnya sebagai anugerah dari Ar-Razzaq (Allah Yang Maha Memberi rezeki). Rezeki terbuka baginya dari segala arah serta berkah dari langit dan bumi tercurah atasnya.
Allah k berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu mau beriman dan bertakwa niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (Al-A’raf: 96)
Karena keinginan menjelaskan hal ini kepada keluarga-keluarga kaum muslimin yang sedang berjuang mencari penghidupan yang halal, kami sengaja mengangkat permasalahan ini dalam rubrik keluarga, Mengayuh Biduk. Idenya kami dapatkan dari sebuah kutaib (kitab kecil) yang ditulis oleh Dr. Fadhl Ilahi berjudul Mafatihur Rizqi fi Dhau’il Kitab was Sunnah4.
Ketahuilah, wahai keluarga kaum muslimin! Jalan yang melapangkan rezeki seseorang itu -di samping tentunya usaha melalui pekerjaan yang halal, sebagaimana dijelaskan dalam Vol. IV/No. 46- bentuknya berupa amal shalih atau kebaikan yang bisa kita sebutkan berikut ini:
1. Istighfar dan taubat
2. Takwa
3. Tawakkal kepada Allah l
4. Menghadirkan hati di hadapan Allah l/ konsentrasi ketika beribadah
5. Mengikutkan haji dengan umrah
6. Silaturahim
7. Infak fi sabilillah
8. Memberi nafkah kepada seseorang yang menghabiskan waktunya menuntut ilmu agama
9. Berbuat baik kepada orang-orang lemah
10. Berhijrah di jalan Allah k.
1. Istighfar dan Taubat
Termasuk amalan yang paling penting sebagai pembuka rezeki seorang hamba adalah istighfar/minta ampun dan taubat kepada Allah Al-Ghaffar At-Tawwab. Namun yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya hakikat dari istighfar dan taubat? Karena kebanyakan orang memandang istighfar dan taubat cukup dengan lisan saja, dengan semata mengatakan, “Astaghfirullah wa atubu ilaih.” Tapi kalimat ini tidak ada kesannya di dalam hati, apalagi tampak pada amalan tubuh.
Dalam kitab Riyadhus Shalihin (hal. 33-34), Al-Imam An-Nawawi5 t menjelaskan, “Ulama mengatakan, bertaubat itu wajib dilakukan dari setiap dosa. Bila maksiatnya antara hamba dengan Allah l, tidak ada kaitannya dengan hak anak Adam, maka harus terpenuhi tiga syarat:
1. Mencabut diri dari maksiat tersebut.
2. Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan.
3. Berketetapan hati (bertekad kuat) untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Bila hilang salah satu dari tiga syarat di atas, taubat seseorang tidaklah sah.
Apabila maksiat yang dilakukan ada kaitannya dengan orang lain, maka syaratnya ada empat. Tiga yang telah disebutkan, ditambah dengan melepaskan diri dari hak orang lain yang diambil/dilanggarnya. Bila berupa harta atau semisalnya, ia kembalikan kepada pemiliknya atau minta diikhlaskan. Bila berupa tuduhan keji kepada orang lain maka dipersilakannya orang itu untuk membalasnya/memberi hukum had kepadanya atau meminta pemaafannya. Bila itu berupa ghibah, ia minta kehalalannya.”
Dalil-dalil yang menunjukkan istighfar dan taubat sebagai pintu rezeki adalah sebagai berikut:
1. Nabi Nuh q pernah berkata kepada kaumnya:
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut serta memperbanyak harta dan anak-anak kalian serta mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya sungai-sungai untuk kalian…” (Nuh: 10-12)
Dari ayat-ayat yang mulia di atas, tampak bagi kita bahwa istighfar mendatangkan perkara-perkara berikut ini:
– Pengampunan dari Allah k atas dosa-dosa yang dilakukan karena Dia Maha Pengampun.
– Allah l akan menurunkan hujan yang berturut-turut/susul-menyusul sebagaimana kata Ibnu Abbas c: adalah sebagiannya mengikuti sebagian yang lain. (Riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitabut Tafsir, Surah Nuh)
– Allah k akan memperbanyak harta dan anak-anak. Atha’ t berkata dalam tafsirnya terhadap ayat : Dia akan memperbanyak harta dan anak-anak kalian.” (Tafsir Al-Baghawi, 4/367)
– Allah l akan mengadakan kebun-kebun.
– Allah l akan mengadakan sungai-sungai yang dengannya kalian dapat mengairi kebun-kebun dan sawah ladang kalian. (Tafsir Ath-Thabari, 12/249)
Al-Imam Al Qurthubi6 t berkata, “Dalam ayat ini dan juga dalam surah Hud7 ada bukti/dalil bahwa dengan istighfar akan diturunkan rezeki dan hujan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 18/190)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam tafsirnya mengatakan, “Maksudnya bila kalian bertaubat kepada Allah k, beristighfar kepada-Nya, dan menaati-Nya niscaya Dia akan memperbanyak rezeki kalian, mencurahkan kepada kalian dari keberkahan langit dan menumbuhkan untuk kalian dari keberkahan bumi. Dia tumbuhkan untuk kalian tanam-tanaman, Dia deraskan susu perahan untuk kalian, serta Dia berikan kepada kalian harta dan anak-anak. Dia jadikan untuk kalian kebun-kebun yang di dalamnya terdapat beraneka macam buah, diselingi kebun-kebun tersebut dengan aliran sungai-sungai.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 8/182)
Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab z berpegang dengan pengabaran yang ada di dalam ayat-ayat di atas ketika meminta hujan kepada Allah l. Disebutkan bahwa Umar z pernah keluar ke tanah lapang guna memintakan hujan untuk manusia, maka beliau tidak menambah selain istighfar sampai kembali ke kediamannya, lalu turunlah hujan. Ada yang berkata kepadanya, “Kami tidak mendengarmu meminta hujan kepada Allah l.” Umar menjawab bahwa ia meminta hujan dengan beristighfar, kemudian ia membaca ayat:
“Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut…” (Tafsir Ath-Thabari 12/249, Tafsir Al-Khazin 4/345)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri8 t memberikan arahan untuk beristighfar kepada setiap orang yang datang kepadanya mengadukan kemarau, kemiskinan, kemandulan/tidak beroleh keturunan dan keringnya kebun-kebun, seperti yang diriwayatkan dari Ar-Rabi’ ibnu Shabih, ia berkata, “Seorang lelaki mengadukan problem kemarau kepada Al-Hasan. Ia pun memberi bimbingan, ‘Istighfarlah kepada Allah l’, ucapnya. Yang lain datang mengeluhkan kemiskinannya. ‘Istighfarlah kepada Allah l’, kata Al-Hasan. Orang lain lagi datang seraya berkata kepada Al-Hasan, ‘Mohon berdoalah kepada Allah l agar Dia memberi rezeki seorang anak untukku.’ Al-Hasan menjawab, ‘Istighfarlah kepada Allah l.’ Yang lain lagi mengeluhkan keringnya kebun-kebun. ‘Istighfarlah kepada Allah l’, kata Al-Hasan.
Kami mengatakan kepada Al-Hasan, ‘Telah datang kepadamu beberapa orang dengan pengaduan yang berbeda-beda, namun engkau menyuruh mereka semua agar beristighfar.’
Al-Hasan menjawab, “Aku tidak berkata demikian dari pikiranku sendiri. Sungguh Allah l berfirman dalam surah Nuh:
ﯿ    
Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya dengan begitu Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut dan memperbanyak harta dan anak-anak kalian serta mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya sungai-sungai untuk kalian…” (Nuh: 10-12) [Tafsir Al-Qurthubi, 18/196, Ruhul Ma’ani, 14/112]
2. Nabi Hud q pernah mengajak kaumnya untuk beristighfar:
(Nabi Hud berkata) “Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb kalian lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut dan Dia akan menambah kekuatan kepada kekuatan kalian serta janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata menafsirkan ayat di atas, “Kemudian Nabi Hud q menyuruh mereka istighfar yang dengannya akan menghapuskan dosa-dosa yang lalu, dan mengajak mereka bertaubat dari apa yang akan dihadapi di waktu mendatang. Siapa yang memiliki sifat seperti ini maka Allah l akan melapangkan rezekinya, memudahkan urusannya, dan menjaga perkaranya. Karena itu Allah l berfirman:
“…niscaya Dia akan menurunkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut…” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/230)
3. Dalam surah Hud ayat 3, Allah l berfirman:
“Mohon ampunlah kalian kepada Rabb kalian, kemudian bertaubatlah kepada-Nya niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai waktu yang telah ditentukan …” (Hud: 3)
Dalam ayat di atas, Allah l menjanjikan kehidupan yang baik bagi orang yang beristighfar dan bertaubat. Yang dimaksud adalah Dia akan memberikan keutamaan kepada kalian dengan rezeki dan kelapangan, sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas c. (Zadul Masir, 3/319)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata, “Ini merupakan buah istighfar dan taubat, yaitu Allah l akan memberikan kepada kalian perkara-perkara yang bermanfaat, seperti kelapangan rezeki dan kehidupan yang enak. Dia tidak membinasakan kalian dengan azab-Nya sebagaimana yang dilakukan-Nya atas orang-orang sebelum kalian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/5)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi9 t berkata, “Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa istighfar dan taubat kepada Allah l dari dosa-dosa yang pernah dilakukan merupakan sebab Allah l memberikan kenikmatan kepada pelakunya dengan terus-menerus sampai waktu yang telah ditentukan. Karena Allah l menyebutkan istighfar dan taubat sebagai syarat diperolehnya jaza’ (balasan) berupa kenikmatan tersebut (susunan fi’il syarat dengan fi’il jawab/jaza’).” (Adhwa’ul Bayan, 3/9)
2. Takwa
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah10 t mengatakan, “Hakikat takwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah l karena iman dan mengharapkan pahala, melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Ia melakukan apa yang Allah l perintahkan kepadanya karena mengimani perintah tersebut dan membenarkan janji-Nya. Ia meninggalkan apa yang Allah l larang karena mengimani larangan tersebut (datangnya dari Allah l) dan khawatir beroleh ancaman-Nya. Sebagaimana ucapan Thalq ibnu Habib11 t, “Bila terjadi fitnah maka padamkanlah dengan takwa.” Mereka yang mendengar ucapan Thalq ini bertanya, “Apa yang dimaksud dengan takwa?” Thalq menjawab, “Takwa adalah engkau beramal ketaatan kepada Allah k di atas cahaya dari Allah k karena mengharapkan pahala Allah k, dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah k di atas cahaya dari Allah k karena takut akan hukuman Allah l.” (Ar-Risalah At-Tabukiyyah, hal. 25-26)
Dengan demikian, siapa yang tidak menjaga dirinya dari dosa berarti ia bukan seorang yang bertakwa. Siapa yang kedua matanya bersengaja melihat apa yang Allah l haramkan padanya, atau kedua telinganya bersengaja mendengar apa yang mengundang kemarahan Allah l, atau kedua tangannya bersengaja mengambil apa yang tidak Allah l ridhai, atau ia sengaja berjalan ke tempat yang Allah l benci, berarti ia tidak menjaga dirinya dari dosa.
Siapa yang menyelisihi perintah Allah l dan melakukan perkara yang Allah l larang berarti ia bukanlah dari kalangan muttaqin. Siapa yang memperhadapkan dirinya kepada kemarahan Allah l dan hukuman-Nya maka sungguh ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan muttaqin. (Mafatihur Rizki, hal. 24)
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa takwa termasuk sebab dibukakannya rezeki seorang hamba. Di antara yang dapat kita sebutkan di sini:
1. Allah l berfirman:
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan jadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Dalam ayat di atas Allah l menyebutkan dua balasan bagi orang yang bertakwa:
Pertama: diberikan jalan keluar yang menyelamatkannya dari setiap bencana/kesulitan di dunia dan di akhirat, sebagaimana kata Ibnu Abbas c.
Kedua: diberi rezeki yang tidak disangka-sangkanya, tak pernah ia angankan dan tak pernah diharapnya. (Tafsir Ath-Thabari, 12/130)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan, “Siapa yang bertakwa kepada Allah l dalam perkara yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, maka Allah l akan jadikan baginya jalan keluar dari perkaranya, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya, yaitu dari sisi yang tak pernah terbetik di benaknya.” (Tafsir Ibni Katsir, 8/117)
2. Dalam surah Al-A’raf ayat 96, Allah l berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu mau beriman dan bertakwa niscaya pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…”
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibn Nashir As-Sa’di t berkata menafsirkan ayat di atas, “Seandainya mereka beriman dengan hati mereka dengan keimanan yang benar, dibuktikan dengan amalan, dan mereka bertakwa kepada Allah k secara lahir dan batin dengan meninggalkan seluruh yang diharamkan Allah l, niscaya Allah k akan bukakan untuk mereka berkah langit dan bumi. Sehingga Dia menurunkan hujan atas mereka dengan berturut-turut dan Dia tumbuhkan untuk mereka berbagai tanaman dari bumi, yang dengannya mereka dan hewan ternak mereka hidup dengan makmur serta rezeki melimpah tanpa merasakan kepayahan, kelelahan, dan keletihan…” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 298)
3. Allah l mengabarkan tentang ahlul kitab sebagai umat yang sebelum kita, namun dengan diutusnya Rasulullah n mereka dituntut untuk beriman kepada beliau dan kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau n:
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan hukum Taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari Rabb mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka…” (Al-Ma’idah: 66)
Bila ahlul kitab itu mau bertakwa dengan menjalankan hukum Taurat, Injil, dan Al-Qur’an, niscaya Allah l akan menurunkan hujan yang berturut-turut dari langit dan bumi pun mengeluarkan berkahnya, kata Ibnu Abbas c. (Tafsir Ath-Thabari, 4/240)
Al-Imam Al Qurthubi t berkata, “Yang serupa dengan ayat ini adalah:
‘Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan jadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.’ (Ath-Thalaq: 2-3)


1 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari t dalam kitab Shahihnya (no. 6389) dan Muslim t (no. 6781) dari Anas bin Malik z, ia berkata:
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِالنَّبِيِّ n: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Doa yang paling banyak diucapkan Nabi n adalah: “Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.”
2 Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Iyadh ibn Musa ibn Iyadh Al-Yahshibi t, salah seorang imam/tokoh ulama dalam ilmu hadits di negeri Maghrib, lahir tahun 476 H, wafat pertengahan tahun 544 H dalam keadaan terusir dari negerinya karena fitnah yang dahsyat yang terjadi pada zaman beliau. Semoga Allah l merahmati beliau.
3 Al-Imam Al-Hafizh Al-Muhaddits (ahli hadits), Al-Mu’arrikh (pakar sejarah), ahli tafsir, ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir bin Dhau’ bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasqi Asy-Syafi’i t, lahir tahun 701 H, salah seorang murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Beliau wafat tahun 774 H.
4 Pembahasan ini akan kami tulis secara bersambung agar semua sisi dapat tersampaikan secara cukup mendetail. Wallahul musta’an, dan Dia-lah yang memberi taufik.
5 Al-Imam Al-Muhaqqiq Al-Hafizh Muhyiddin Yahya ibnu Syaraf ibnu Murri ibnu Hasan ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu’ah ibnu Hizam Abu Zakariyya An-Nawawi Ad-Dimasyqi t, lahir tahun 631 H, wafat tahun 676 H.
6 Al-Imam Al-Mufassir Abu Abdillah Muhammad ibnu Ahmad Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Qurthubi t, seorang imam yang kokoh dan mendalam ilmunya, wafat di bulan Syawwal tahun 671 H.
7 Beliau mengisyaratkan kepada firman Allah l:
(Nabi Hud berkata): “Wahai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb kalian lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan kepada kalian dengan berturut-turut dan Dia akan menambah kekuatan kepada kekuatan kalian dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)
8 Al-Imam Abu Sa’id Al-Hasan ibnu Abil Hasan Yasar Al-Bashri t, maula Zaid bin Tsabit Al-Anshari z. Ibunya adalah bekas budak yang dimerdekakan oleh Ummul Mukminin Ummu Salamah x, lahir dua tahun terakhir dari masa khilafah ‘Umar ibnul Khaththab z. Beliau seorang imam yang zuhud, wafat tahun 110 H.
9 Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Jakni Asy-Syinqithi t, lahir tahun 1325 H dan wafat tahun 1393 H. Beliau seorang alim yang sangat luas ilmunya akan kitabullah.
10 Al-Imam Syamsuddin Muhammad ibnu Abi Bakr ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t, lahir tahun 691 H dan wafat tahun 751 H. Beliau salah seorang murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Seorang yang faqih bermazhab Hambali, bahkan seorang mujtahid mutlak, ahli tafsir, fikih, nahwu, dan ilmu ushul.
11 Thalq ibnu Habib Al-Anzi Al-Bashri t, seorang tabi’in, murid Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Jabir, Ibnuz Zubair, Ibnul ‘Ash, dan selain mereka, 


Follow kumpulan tanya jawab islam dan keluarga

Calendar holidays by Excel Calendar

Disclaimer

i don't own anything in this blog. all articles, images, videos belong to its owners / creator. if you think this useful feel free to share, rewrite, or copy
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Info Harga Komoditi/Pangan

Flag Counter



Data Provided By Google Analytics

Diberdayakan oleh Blogger.

Mari gabung agar kenal & tidak terjerat riba/bunga bank

Bantuan hukum bagi yang terjerat riba (bunga bank)

Pencarian tentang Islam

yufid.com

[Disebutkan keadaan manusia di hari kiamat, "Alangkah baiknya kiranya aku dulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". QS Al-Fajr : 24]'


Orang ini menyebut akhirat dengan HIDUPKU. Artinya, sekarang ini KEHIDUPAN KITA BELUM DIMULAI

(-_-)

Video Pilihan

Paling Banyak Dibaca

Our Facebook Page