Rabu, 30 Mei 2018

Berlebihan Dalam Berdoa

Berlebihan Dalam Berdoa

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raaf : 55).
Imam As-Sa’di menjelaskan maksud firman Allah di atas,
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” maksudnya, melampaui batas dalam segala hal. Termasuk tindakan melampaui batas adalah meminta sesuatu yang tidak pantas, berlebihan dalam berdo’a atau mengeraskan suara dalam berdo’a. Semua ini termasuk bentuk melampaui batas yang dilarang.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 291)
Dari Abu Nu’amah bahwasanya Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu mendengar anaknya membaca doa :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ، عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا
“Ya Allah berilah kami istana putih di sisi kanan Surga”.
Mendengar ini, ayahnya spontan memberi nasehat kepada anaknya :
أَيْ بُنَيَّ، سَلِ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنَ النَّارِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ»
“Wahai anakku mintalah kepada Allah Surga dan berlindunglah kepadaNya dari api Neraka, sebab saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Akan muncul dari umatku sekelompok kaum yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa”
(HR. Ahmad 20554, Abu Daud 96, Ibnu Majah 3864, Syuaib Al-Arnauth menilai hadis ini hasan).
Imam Al-Munawi menjelaskan hadis ini,
يتجاوزون الحدود يدعون بما لا يجوز أو يرفعون الصوت به أو يتكلفون السجع .
Makna: “berlebihan dalam berdoa” adalah melampaui batas, dengan meminta sesuatu yang tidak boleh atau mengeraskan suara ketika berdoa atau memaksakan lafazh bersajak dalam berdoa.
Kemudian beliau menukil keterangan At-Turbasyti,
قال التوربشتي: الاعتداء في الدعاء يكون في وجوه كثيرة والأصل فيه أن يتجاوز عن مواقف الافتقار إلى بساط الانبساط أو يميل إلى حد شقي الإفراط والتفريط في خاصة نفسه وفي غيره إذا دعا له وعليه
Imam Turbusyti mengatakan, Yang dimaksud berlebihan dalam berdoa bisa memiliki banyak pengertian. Intinya dia melanggar batasan dari kondisi merasa butuh menjadi tidak butuh sama sekali, termasuk doa dengan sikap ekstrim: berlebihan atau meremehkan. Untuk kepentingan dirinya maupun orang lain. Baik doa kebaikan maupun doa keburukan.
أنكر على ابنه في هذه المسألة لأنه تلمح إلى ما لم يبلغه عملا وحالا حيث سأل منازل الأنبياء والأولياء وجعلها من باب الاعتداء في الدعاء لما فيها من التجاوز عن حد الأدب ونظر الداعي إلى نفسه بعين الكمال
Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu melarang anaknya berdoa seperti itu karena permintaan tersebut tidak sesuai dan tidak mungkin bisa diraih oleh amal perbuatannya. Dimana dia meminta kedudukan para nabi dan para wali. Beliau memahami permintaan seperti itu termasuk berlebihan dalam berdoa, serta tidak pantas karena menganggap sempurna terhadap diri sendiri. [Faidhul Qadir 4/130]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
ونوع من الدعاء ينهى عنه: الاعتداء مثل أن يسأل الرجل ما لا يصلح من خصائص الأنبياء وليس هو بنبي وربما هو من خصائص الرب سبحانه وتعالى
Diantara bentuk doa yang terlarang adalah bersikap melampaui batas ketika berdoa.
Seperti memohon sesuatu yang tidak selayaknya, yang menjadi keistimewaan para nabi padahal dia bukan seorang nabi atau memohon sesuatu yang menjadi keistimewaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan beberapa contoh bentuk melampaui batas dalam berdoa,
مثل أن يسأل لنفسه الوسيلة التي لا تصلح إلا لعبد من عباده أو يسأل الله تعالى أن يجعله بكل شيء عليما أو على كل شيء قديرا وأن يرفع عنه كل حجاب يمنعه من مطالعة الغيوب
Misalnya memohon agar dia menduduki posisi wasilah, yang hanya boleh dimiliki oleh salah satu hamba Allah, atau memohon agar dia diberi kemampuan untuk bisa mengetahui segala sesuatu, atau berkuasa atas segala sesuatu atau memohon agar diperlihatkan sesuatu yang ghaib.
[Majmu Fatawa 10/713-714]
Termasuk berlebihan dalam berdoa, membatasi kebaikan hanya untuknya, dan tidak boleh untuk yang lain. Misalnya, seseorang berdoa, Ya Allah, berikanlah aku karunia dan jangan Engkau berikan yang lainnya.
Kasus semacam ini pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad dan janganlah Engkau memberi rahmatMu kepada selain kami. Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَقَدْ حَجَّرْتَ وَاسِعًا
“Kamu telah menyempitkan yang luas.” Maksud beliau adalah rahmat Allah.
(HR. Bukhari 6010)
Do’a di atas diucapkan oleh seorang baduwi karena ketidak tahuannya dan baru mengenal Islam. Seharusnya seseorang berdoa untuk dirinya dan teman-temannya agar pahalanya bertambah.
Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)



Senin, 28 Mei 2018

Puasa Arafah Berbeda dengan Hari Arafah
Jika terjadi perbedaan dalam menentukan tanggal 9 Dzulhijjah, antara pemerintah Indonesia dengan Saudi, mana yang harus diikuti? Kami bingung dalam menentukan kapan puasa arafah?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
Pertama, puasa arafah mengikuti wuquf di arafah.
Ini merupakan pendapat Lajnah Daimah (Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiyah) Arab Saudi. Mereka berdalil dengan pengertian hari arafah, bahwa hari arafah adalah hari dimana para jamaah haji wukuf di Arafah. Tanpa memandang tanggal berapa posisi hari ini berada.
Dalam salah satu fatwanya tentang perbedaan tanggal antara tanggal 9 Dzulhijjah di luar negeri dengan hari wukuf di arafah di Saudi, Lajnah Daimah menjelaskan,
يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يوماً قبله فلا بأس
Hari arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa arafah dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika anda ingin puasa arafah, maka anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika anda puasa sehari sebelumnya, tidak masalah. (Fatawa Lajnah Daimah, no. 4052)
Kedua, puasa arafah sesuai tanggal 9 Dzulhijjah di daerah setempat
Karena penentuan ibadah yang terkait dengan waktu, ditentukan berdasarkan waktu dimana orang itu berada. Dan hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga penentuannya kembali kepada penentuan kalender di mana kaum muslimin berada.
Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Utsaimin. Beliau pernah ditanya tentang perbedaan dalam menentukan hari arafah. Kita simak keterangan beliau,
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا )
Yang benar, semacam ini berbeda-beda, sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.
Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, volume 20, hlm. 28)
Dari keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa perbedaan penentuan hari arafah, kembali kepada dua pertimbangan:
Pertama, apakah perbedaan tempat terbit hilal (Ikhtilaf Mathali’) mempengaruhi perbedaan dalam penentuan tanggal ataukah tidak.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam menentukan tanggal awal bulan, kaum muslimin di seluruh dunia disatukan. Sehingga perbedaan tempat terbit hilal tidak mempengaruhi perbedaan tanggal.
Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan mathali’ mempengaruhi perbedaan penentuan awal bulan di masing-masing daerah. Ini meruakan pendapat Ikrimah, al-Qosim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, Imam Malik, Ishaq bin Rahuyah, dan Ibnu Abbas.  (Fathul Bari, 4/123).
Dari dua pendapat ini, insyaaAllah yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat kedua. Adanya perbedaan tempat terbit hilal, mempengaruhi perbedaan penentuan tanggal. Hal ini berdasarkan riwayat dari Kuraib – mantan budak Ibnu Abbas –, bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits (Ibunya Ibnu Abbas) pernah menyuruhnya  untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya,
Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku
“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.
“kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.
“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.
“Ya, saya melihatnya dan  masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan,
لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه
“Kalau kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi,
“Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,
لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580, Nasai 2111, Abu Daud 2334, Turmudzi 697, dan yang lainnya).
Kedua, batasan hari arafah
Sebagian ulama menyebutkan bahwa puasa arafah adalah puasa pada hari di mana jamaah haji melakukan wukuf di arafah. Tanpa mempertimbangkan perbedaan tanggal dan waktu terbitnya hilal.
Sementara ulama lain berpendapat bahwa hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga sangat memungkinkan masing-masing daerah berbeda.
Ada satu pertimbangan sehingga kita bisa memilih pendapat yang benar dari dua keterangan di atas. Terlepas dari kajian ikhtilaf mathali’ (perbedaan tempat terbit hilal) di atas.
Kita sepakat bahwa islam adalah agama bagi seluruh alam. Tidak dibatasi waktu dan zaman, sebelum tiba saatnya Allah mencabut islam. Dan seperti yang kita baca dalam sejarah, di akhir dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, islam sudah tersebar ke berbagai penjuru wilayah, yang jarak jangkaunya cukup jauh. Mekah dan Madinah kala itu ditempuh kurang lebih sepekan. Kemudian di zaman para sahabat, islam telah melebar hingga dataran syam dan Iraq. Dengan alat transportasi masa silam, perjalanan dari Mekah menuju ujung wilayah kaum muslimin, bisa menghabiskan waktu lebih dari sebulan.
Karena itu, di masa silam, untuk mengantarkan sebuah info dari Mekah ke Syam atau Mekah ke Kufah, harus menempuh waktu yang sangat panjang. Berbeda dengan sekarang, anda bisa menginformasikan semua kejadian yang ada di tanah suci ke Indonesia, hanya kurang dari 1 detik. Sehingga orang yang berada di tempat sangat jauh sekalipun, bisa mengetahui kapan kegiatan wukuf di arafah, dalam waktu sangat-sangat singkat.
Di sini kita bisa menyimpulkan, jika di masa silam standar hari arafah itu mengikuti kegiatan jamaah haji yang wukuf di arafah, tentu kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh dari Mekah, tidak mungkin bisa menerima info tersebut di hari yang sama, atau bahkan harus menunggu beberapa hari.
Jika ini diterapkan, tentu tidak akan ada kaum muslimin yang bisa melaksanakan puasa arafah dalam keadaan yakin telah sesuai dengan hari wukuf di padang arafah. Karena mereka yang jauh dari Mekah sama sekali buta dengan kondisi di Mekah.
Ini berbeda dengan masa sekarang. Hari arafah sama dengan hari wukuf di arafah, bisa dengnan mudah diterapkan. Hanya saja, di sini kita berbicara dengan standar masa silam dan bukan masa sekarang. Karena tidak boleh kita mengatakan, ada satu ajaran agama yang hanya bisa diamalkan secara sempurna di zaman teknologi, sementara itu tidak mungkin dipraktekkan di masa silam.
Oleh karena itu, memahami pertimbangan di atas, satu-satunya yang bisa kita jadikan acuan adalah penanggalan. Hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, dan bukan hari jamaah haji wukuf di Arafah. Dengan prinsip ini, kita bisa memahammi bahwa syariat puasa arafah bisa dipraktekkan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia tanpa mengenal batas waktu dan tempat.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)



Allah melarang para sahabat untuk menggunakan kalimat yang disalah gunakan oleh Yahudi ketika memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. Al-Baqarah: 104)
Kata raa’ina memiliki dua kemungkinan makna,
1.      Diturunkan dari kata raa’a – yuraa’i yang artinya perhatikan. Sehingga raa’ina bermakna perhatikanlah kondisi dan keadaan kami.
2.      Diturunkan dari kata ru’unah, yang artinya orang tolol. Sehingga kata raa’ina bermakna ’orang tolol di kalangan kami.’
Para sahabat ketika bergaul bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka memohon agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan kemampuan mereka dalam menangkap pelajaran dan hadis dari beliau. Merekapun mengatakan ’ya Rasulullah, raa’ina’. Ya Rasulullah, perhatikanlah kami.
Namun ternyata kebiasaan ini dimanfaatkan oleh orang yahudi untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka turut mengatakan, ”Ya Muhammad, raa’ina.” maksud mereka, Hai Muhammad, orang tolol di kampung kami.
Kemudian Allah melarang para sahabat untuk menggunakan kalimat ini, sebagai gantinya Allah perintahkan mereka untuk menggunakan kalimat undzurnaa, yang maknanya sama.
Pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa ketika ada sebuah kalimat yang ambigu, bisa bermakna baik dan bisa sebaliknya, bermakna buruk, kita dilarang untuk menggunakannya, dan diarahkan untuk menggunakan kata lain yang sepadan sebagai gantinya.
Jelas maksud mereka adalah dalam rangka menghina Yahudi Zionis. Namun ketika kalimat penghinaan semacam ini tidak lepas dari unsur penghinaan terhadap Nabi Israel, tidak selayaknya kita gunakan.
Keempat, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu, yang itu menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram.
Allah melarang kaum muslimin untuk menghina tuhan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta’ala. Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. Al An’am: 108)
Menghina sesembahan orang musyrik pada asalnya boleh atau bahkan disyari’atkan. Namun
Allah ta’ala melarang kaum muslimin malakukan hal ini, karena bisa menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta’ala.
Kita sangat yakin, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini, memiliki niatan sedikitpun untuk menghina Allah ta’ala. Maka bisa kita bayangkan, jika ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak langsung hukumnya dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung dari kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina Nabi Israil ‘alaihis salam.
Kelima, nama israel adalah nama pujian
Karena ini nama seorang nabi. Dan secara makna bahasa, israel berarti kekasih Allah atau hamba Allah. Karena itu, di masa silam, kaum muslimin menggunakan nama ini untuk anaknya. Ada seorang ulama ahli hadis, tsiqah (terpercaya), hafalannya kuat, dan termasuk perawi dalam kutub sittah. Beliau bernama Israil bin Yunus as-Suba’i. Biografi beliau disebutkan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala, 7/355.
Anda bisa menimbang, layakkah manusia yahudi mendapatkan nama indah israel?
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk tidak mengucapkan kecuali yang tepat dan benar.
Demikian, Allahu a’lam.
KonsultasiSyariah menggalang donasi peduli Palestina. KLIK DONASI PEDULI PALESTINA




Ditulis oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Yahudi Bukan Israel
Seolah telah menjadi konvensi dunia, bangsa yahudi yang menjajah Palestina bernama Israel. Termasuk mereka yang sangat memusuhi yahudi, juga menyebut negara ini dengan israel.
Sebelumnya kita perlu memperhatikan bahwa ISRAEL adalah nama lain dari seorang Nabi yang mulia, keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Allah ta’ala berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israel untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.” (QS. Ali Imran: 93)
Israel yang pada ayat di atas adalah Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu,
“Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan:
هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسْرَائِيلَ يَعْقُوبَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَرِضَ مَرَضًا شَدِيدًا فَطَالَ سَقَمُهُ، فَنَذَرَ لِلَّهِ نَذْرًا لَئِنْ شَفَاهُ اللهُ مِنْ سَقَمِهِ، لَيُحَرِّمَنَّ أَحَبَّ الشَّرَابِ إِلَيْهِ، وَأَحَبَّ الطَّعَامِ إِلَيْهِ
“Apakah kalian mengakui bahwa Israil yaitu Ya’qub ‘alaihis salam, pernah sakit keras dan lama, lalu beliau bernadzar, jika Allah menyembuhkannya maka akan mengharamkan makanan dan minuman yang paling beliau sukai?
Para Yahudi menjawab: “Ya, betul.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad 2471 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Arti kata ‘Israel’
Kata “Israil” merupakan susunan dua kata israa dan iil yang dalam bahasa arab artinya shafwatullah (kekasih Allah). Ada juga yang mengatakan israa dalam bahasa arab artinya ‘abdun (hamba), sedangkan iil artinya Allah, sehingga Israil dalam bahasa arab artinya ‘Abdullah (hamba Allah). (Simak Tafsir At Thabari dan Al Kasyaf untuk surat Al Baqarah ayat 40)
Ketika penamaan itu tanpa konsekuensi, mungkin masalahnya lebih ringan. Namun nama tidak hanya sebatas nama. Masyarakat menggunakan nama ini untuk konteks konflik.
”BIADAB ISRAIL… ISRAIL BANGSAT… KEPARAT ISRAIL… ISRAIL MEMBANTAI KAUM MUSLIMIN… PENYERANGAN ISRAIL KE PALESTINA… ISRAIL PENJAJAH DUNIA…. DST.
Kita sangat yakin, maksud mereka bukan dalam rangka menghina nabi Ya’qub ’alaihis salam, namun tidak selayaknya dilakukan karena beberapa pertimbangan,
Pertama, Allah menyebut yahudi dalam al-Quran dengan dua nama; Yahudi dan Bani Israil.
Sebagai mukmin yang baik, kita selayaknya lebih mengedepankan istilah yang Allah gunakan dari pada istilah buatan manusia. Karena ini termasuk bentuk menjaga keotentikan syiar islam.
Dalam bahasa arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan ‘atamah. Orang arab badui di masa Nabi terbiasa menamai shalat Isya’ dengan nama waktu pelaksanaan shalat isya’ yaitu shalat ‘atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan menamakan shalat isya’ dengan shalat ‘atamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka,
لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة لإعتامهم بالإبل لحلابها
“Janganlah kalian ikut-ikutan orang arab badui dalam menamai shalat kalian, sesungguhnya dia adalah shalat Isya’, sedangkan orang badui menamai shalat isya dengan ‘atamah karena mereka mengakhirkan memerah susu unta sampai waktu malam.” (HR. Ahmad 4688, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Al-Qurthuby mengatakan: “Agar nama shalat isya’ tidak diganti dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan …” (‘Umdatul Qori Syarh Shahih Bukhari, al-‘Aini)
Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga istilah yang Allah sebutkan dalam al-Quran. Meskipun istilah itu tidak mengandung konsekuensi yang sangat buruk. Hanya saja, itu kurang utama.
Anda bisa bayangkan, bagaimana dengan pengalihan nama yahudi menjadi israel, yang bisa dipastikan mengandung konsekuensi yang buruk.
Disamping itu, sejatinya, pengalihan ini bagian dari konspirasi yahudi terhadap dunia. Karena semua orang paham, bahwa kata ’yahudi’ dalam al-Quran telah dicela habis oleh Allah. Sehingga mereka tutupi kehinaan nama asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia, Nabi Israel ‘alaihis salam.
Kedua, bahwa penghinaan semacam ini bisa saja dianggap salah sasaran.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mudzammam gila, Mudzammam tukang sihir, dst. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat. Karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد
“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan laknat dan celaan orang Quraisy kepadaku. Mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad 7331, Bukhari 3533, dan Nasai 3438)
Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad maka Beliau menganggap itu bukan penghinaan untuknya. Sebaliknya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya.
Bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan. Nama asli mereka yahudi bukan Israel. Sementara yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.
Ketiga, Allah melarang para sahabat untuk menggunakan kalimat yang disalah gunakan oleh Yahudi ketika memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. Al-Baqarah: 104)
Kata raa’ina memiliki dua kemungkinan makna,
1.      Diturunkan dari kata raa’a – yuraa’i yang artinya perhatikan. Sehingga raa’ina bermakna perhatikanlah kondisi dan keadaan kami.
2.      Diturunkan dari kata ru’unah, yang artinya orang tolol. Sehingga kata raa’ina bermakna ’orang tolol di kalangan kami.’
Para sahabat ketika bergaul bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka memohon agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan kemampuan mereka dalam menangkap pelajaran dan hadis dari beliau. Merekapun mengatakan ’ya Rasulullah, raa’ina’. Ya Rasulullah, perhatikanlah kami.
Namun ternyata kebiasaan ini dimanfaatkan oleh orang yahudi untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka turut mengatakan, ”Ya Muhammad, raa’ina.” maksud mereka, Hai Muhammad, orang tolol di kampung kami.
Kemudian Allah melarang para sahabat untuk menggunakan kalimat ini, sebagai gantinya Allah perintahkan mereka untuk menggunakan kalimat undzurnaa, yang maknanya sama.
Pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa ketika ada sebuah kalimat yang ambigu, bisa bermakna baik dan bisa sebaliknya, bermakna buruk, kita dilarang untuk menggunakannya, dan diarahkan untuk menggunakan kata lain yang sepadan sebagai gantinya.
Jelas maksud mereka adalah dalam rangka menghina Yahudi Zionis. Namun ketika kalimat penghinaan semacam ini tidak lepas dari unsur penghinaan terhadap Nabi Israel, tidak selayaknya kita gunakan.
Keempat, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu, yang itu menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram.
Allah melarang kaum muslimin untuk menghina tuhan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta’ala. Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. Al An’am: 108)
Menghina sesembahan orang musyrik pada asalnya boleh atau bahkan disyari’atkan. Namun
Allah ta’ala melarang kaum muslimin malakukan hal ini, karena bisa menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta’ala.
Kita sangat yakin, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini, memiliki niatan sedikitpun untuk menghina Allah ta’ala. Maka bisa kita bayangkan, jika ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak langsung hukumnya dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung dari kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina Nabi Israil ‘alaihis salam.
Kelima, nama israel adalah nama pujian
Karena ini nama seorang nabi. Dan secara makna bahasa, israel berarti kekasih Allah atau hamba Allah. Karena itu, di masa silam, kaum muslimin menggunakan nama ini untuk anaknya. Ada seorang ulama ahli hadis, tsiqah (terpercaya), hafalannya kuat, dan termasuk perawi dalam kutub sittah. Beliau bernama Israil bin Yunus as-Suba’i. Biografi beliau disebutkan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala, 7/355.
Anda bisa menimbang, layakkah manusia yahudi mendapatkan nama indah israel?
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk tidak mengucapkan kecuali yang tepat dan benar.
Demikian, Allahu a’lam.
KonsultasiSyariah menggalang donasi peduli Palestina. KLIK DONASI PEDULI PALESTINA




Ditulis oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita, agar selalu menjaga lisan. Anggota badan yang satu ini, bisa jauh lebih berbahaya dari pada tangan dan kaki. Karena lepas kontrol lisan, bisa menyebabkan dia terjerumus ke neraka jahanam. Dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم
Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol akan tetapi menjerumuskan dia ke neraka.” (HR. Bukhari 6478)
Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadis ini, yang dimaksud diucapkan tanpa kontrol adalah tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak diperkirakan dampak yang ditimbulkan. Hal ini semisal dengan firman Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم
“Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah.” (QS. An-Nur: 15)
Yahudi Bukan Israel
Seolah telah menjadi konvensi dunia, bangsa yahudi yang menjajah Palestina bernama Israel. Termasuk mereka yang sangat memusuhi yahudi, juga menyebut negara ini dengan israel.
Sebelumnya kita perlu memperhatikan bahwa ISRAEL adalah nama lain dari seorang Nabi yang mulia, keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Allah ta’ala berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israel untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.” (QS. Ali Imran: 93)
Israel yang pada ayat di atas adalah Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu,
“Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan:
هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسْرَائِيلَ يَعْقُوبَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَرِضَ مَرَضًا شَدِيدًا فَطَالَ سَقَمُهُ، فَنَذَرَ لِلَّهِ نَذْرًا لَئِنْ شَفَاهُ اللهُ مِنْ سَقَمِهِ، لَيُحَرِّمَنَّ أَحَبَّ الشَّرَابِ إِلَيْهِ، وَأَحَبَّ الطَّعَامِ إِلَيْهِ
“Apakah kalian mengakui bahwa Israil yaitu Ya’qub ‘alaihis salam, pernah sakit keras dan lama, lalu beliau bernadzar, jika Allah menyembuhkannya maka akan mengharamkan makanan dan minuman yang paling beliau sukai?
Para Yahudi menjawab: “Ya, betul.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad 2471 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Arti kata ‘Israel’
Kata “Israil” merupakan susunan dua kata israa dan iil yang dalam bahasa arab artinya shafwatullah (kekasih Allah). Ada juga yang mengatakan israa dalam bahasa arab artinya ‘abdun (hamba), sedangkan iil artinya Allah, sehingga Israil dalam bahasa arab artinya ‘Abdullah (hamba Allah). (Simak Tafsir At Thabari dan Al Kasyaf untuk surat Al Baqarah ayat 40)
Ketika penamaan itu tanpa konsekuensi, mungkin masalahnya lebih ringan. Namun nama tidak hanya sebatas nama. Masyarakat menggunakan nama ini untuk konteks konflik.
”BIADAB ISRAIL… ISRAIL BANGSAT… KEPARAT ISRAIL… ISRAIL MEMBANTAI KAUM MUSLIMIN… PENYERANGAN ISRAIL KE PALESTINA… ISRAIL PENJAJAH DUNIA…. DST.
Kita sangat yakin, maksud mereka bukan dalam rangka menghina nabi Ya’qub ’alaihis salam, namun tidak selayaknya dilakukan karena beberapa pertimbangan,
Pertama, Allah menyebut yahudi dalam al-Quran dengan dua nama; Yahudi dan Bani Israil.
Sebagai mukmin yang baik, kita selayaknya lebih mengedepankan istilah yang Allah gunakan dari pada istilah buatan manusia. Karena ini termasuk bentuk menjaga keotentikan syiar islam.
Dalam bahasa arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan ‘atamah. Orang arab badui di masa Nabi terbiasa menamai shalat Isya’ dengan nama waktu pelaksanaan shalat isya’ yaitu shalat ‘atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan menamakan shalat isya’ dengan shalat ‘atamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka,
لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة لإعتامهم بالإبل لحلابها
“Janganlah kalian ikut-ikutan orang arab badui dalam menamai shalat kalian, sesungguhnya dia adalah shalat Isya’, sedangkan orang badui menamai shalat isya dengan ‘atamah karena mereka mengakhirkan memerah susu unta sampai waktu malam.” (HR. Ahmad 4688, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Al-Qurthuby mengatakan: “Agar nama shalat isya’ tidak diganti dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan …” (‘Umdatul Qori Syarh Shahih Bukhari, al-‘Aini)
Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga istilah yang Allah sebutkan dalam al-Quran. Meskipun istilah itu tidak mengandung konsekuensi yang sangat buruk. Hanya saja, itu kurang utama.
Anda bisa bayangkan, bagaimana dengan pengalihan nama yahudi menjadi israel, yang bisa dipastikan mengandung konsekuensi yang buruk.
Disamping itu, sejatinya, pengalihan ini bagian dari konspirasi yahudi terhadap dunia. Karena semua orang paham, bahwa kata ’yahudi’ dalam al-Quran telah dicela habis oleh Allah. Sehingga mereka tutupi kehinaan nama asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia, Nabi Israel ‘alaihis salam.
Kedua, bahwa penghinaan semacam ini bisa saja dianggap salah sasaran.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mudzammam gila, Mudzammam tukang sihir, dst. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat. Karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد
“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan laknat dan celaan orang Quraisy kepadaku. Mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad 7331, Bukhari 3533, dan Nasai 3438)
Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad maka Beliau menganggap itu bukan penghinaan untuknya. Sebaliknya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya.
Bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan. Nama asli mereka yahudi bukan Israel. Sementara yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.
Ketiga, Allah melarang para sahabat untuk menggunakan kalimat yang disalah gunakan oleh Yahudi ketika memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. Al-Baqarah: 104)
Kata raa’ina memiliki dua kemungkinan makna,
1.      Diturunkan dari kata raa’a – yuraa’i yang artinya perhatikan. Sehingga raa’ina bermakna perhatikanlah kondisi dan keadaan kami.
2.      Diturunkan dari kata ru’unah, yang artinya orang tolol. Sehingga kata raa’ina bermakna ’orang tolol di kalangan kami.’
Para sahabat ketika bergaul bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka memohon agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan kemampuan mereka dalam menangkap pelajaran dan hadis dari beliau. Merekapun mengatakan ’ya Rasulullah, raa’ina’. Ya Rasulullah, perhatikanlah kami.
Namun ternyata kebiasaan ini dimanfaatkan oleh orang yahudi untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka turut mengatakan, ”Ya Muhammad, raa’ina.” maksud mereka, Hai Muhammad, orang tolol di kampung kami.
Kemudian Allah melarang para sahabat untuk menggunakan kalimat ini, sebagai gantinya Allah perintahkan mereka untuk menggunakan kalimat undzurnaa, yang maknanya sama.
Pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa ketika ada sebuah kalimat yang ambigu, bisa bermakna baik dan bisa sebaliknya, bermakna buruk, kita dilarang untuk menggunakannya, dan diarahkan untuk menggunakan kata lain yang sepadan sebagai gantinya.
Jelas maksud mereka adalah dalam rangka menghina Yahudi Zionis. Namun ketika kalimat penghinaan semacam ini tidak lepas dari unsur penghinaan terhadap Nabi Israel, tidak selayaknya kita gunakan.
Keempat, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu, yang itu menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram.
Allah melarang kaum muslimin untuk menghina tuhan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta’ala. Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. Al An’am: 108)
Menghina sesembahan orang musyrik pada asalnya boleh atau bahkan disyari’atkan. Namun
Allah ta’ala melarang kaum muslimin malakukan hal ini, karena bisa menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta’ala.
Kita sangat yakin, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini, memiliki niatan sedikitpun untuk menghina Allah ta’ala. Maka bisa kita bayangkan, jika ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak langsung hukumnya dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung dari kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina Nabi Israil ‘alaihis salam.
Kelima, nama israel adalah nama pujian
Karena ini nama seorang nabi. Dan secara makna bahasa, israel berarti kekasih Allah atau hamba Allah. Karena itu, di masa silam, kaum muslimin menggunakan nama ini untuk anaknya. Ada seorang ulama ahli hadis, tsiqah (terpercaya), hafalannya kuat, dan termasuk perawi dalam kutub sittah. Beliau bernama Israil bin Yunus as-Suba’i. Biografi beliau disebutkan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala, 7/355.
Anda bisa menimbang, layakkah manusia yahudi mendapatkan nama indah israel?
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk tidak mengucapkan kecuali yang tepat dan benar.
Demikian, Allahu a’lam.
KonsultasiSyariah menggalang donasi peduli Palestina. KLIK DONASI PEDULI PALESTINA
Ditulis oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)



Follow kumpulan tanya jawab islam dan keluarga

Calendar holidays by Excel Calendar

Disclaimer

i don't own anything in this blog. all articles, images, videos belong to its owners / creator. if you think this useful feel free to share, rewrite, or copy
twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Info Harga Komoditi/Pangan

Flag Counter



Data Provided By Google Analytics

Diberdayakan oleh Blogger.

Mari gabung agar kenal & tidak terjerat riba/bunga bank

Bantuan hukum bagi yang terjerat riba (bunga bank)

Pencarian tentang Islam

yufid.com

[Disebutkan keadaan manusia di hari kiamat, "Alangkah baiknya kiranya aku dulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". QS Al-Fajr : 24]'


Orang ini menyebut akhirat dengan HIDUPKU. Artinya, sekarang ini KEHIDUPAN KITA BELUM DIMULAI

(-_-)

Video Pilihan

Paling Banyak Dibaca

Our Facebook Page