Negeri ini menyimpan begitu banyak kekayaan, itu patut kita
syukuri. Sayangnya, banyak kekayaan berupa jimat-jimat tradisional yang justru
malah menyesatkan pemiliknya. Maklum, masyarakat kita masih banyak yang
mencampuradukkan antara klenik dan akidah. Jimat lainnya, ada yang berupa
penglaris dagang dan untuk menambah kesaktian. Jimat yang berupa tulisan
disebut dengan rajah. Tulisan berikut akan memberikan contoh berbagai macam jimat
dan rajah, serta membuktikan pula kesyirikan benda-benda tersebut.
Mengenal Tamimah
Tamimah pada asalnya digunakan untuk mencegah ‘ain, yaitu pandangan dari mata hasad (dengki). Dengan pandangan
yang hasad, seorang anak bisa menangis terus menerus, atau lumpuh atau
terkena penyakit. Untuk melindungi anak kecil dari penyakit ‘ain ini, di masa
silam –zaman Jahiliyah- digunakanlah tamimah, yang bentuk pluralnya tamaa-im. Ketika Islam datang, tamimah atau jimat semacam ini dihapus (Lihat Fathul Majid, 131).
Namun tamimah beralih digunakan lebih umum yaitu pada segala
sesuatu yang digantung untuk mencegah ‘ain atau lainnya, baik berupa gelang, kalung, benang, atau
ikatan. Ini semua disebut tamimah. Nah, kalau di sekitar kita, jimat dan rajah dengan berbagai macam
bentuknya dengan berbagai macam penggunaan, itulah yang termasuk dalam tamimah.
Di sekeliling kita, tamimah dapat berupa keris untuk melindungi rumah misalnya, berupa
benang pawitra untuk melindungi anak agar tidak terkena bahaya, dan berupa
tulisan rajah yang dipasang di atas pintu masuk warung untuk melariskan
dagangan.
Berikut contoh-contoh jimat dan rajah yang kami peroleh. Kadang
jimat ini menjadi sarangnya jin, namun masih disimpan di rumah-rumah sebagai
benda pusaka dan tujuan lainnya.
Dalil Larangan Jimat dan Rajah
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا
تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ
كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ
قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah
hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat
menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku,
apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”.
Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az Zumar: 38)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah –penulis Fathul Majid-
berkata, “Ayat ini dan semisalnya adalah dalil yang menunjukkan tidak bolehnya
menggantungkan hati kepada selain Allah ketika ingin meraih manfaat atau
menolak bahaya. Ketergantungan hati kepada selain Allah dalam hal itu termasuk
kesyirikan“ (Fathul Majid, 127-128).
Jimat dan rajah termasuk yang dimaksudkan dalam ayat yang mulia
ini. Karena orang yang memakai jimat dan memasang rajah di dinding dan tempat
lainnya, bermaksud untuk mendatangkan manfaat –seperti dagangannya laris atau
agar penyakitnya sembuh- atau ingin menolak mudhorot (bahaya) –seperti menolak ‘ain (mata dengki) atau menolak wabah penyakit-.
Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ «
وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ
تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ
مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang dinampakkan
padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu
beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi
menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di
lengan atas). Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu
semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan
gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531).
Al Hakim mengatakan, “Kebanyakan guru kami berpendapat bahwa
Hasan Al Bashri mendengar hadits ini langsung dari ‘Imron (Lihat Fathul Majid,
128). Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz termasuk ulama yang
menyatakan bahwa sanad hadits inijayyid, artinya tidak bermasalah (Fatawa Nur ‘ala Darb, 1: 383). Ulama
lain mengatakan bahwa Al Hasan Al Bashri tidak mendengar hadits ini langsung
dari ‘Imron, sehingga sanad hadits ini inqitho’ (terputus). Inilah pendapat
Ibnu Ma’in, Ibnu Abi Hatim dan Ahmad. Oleh karenanya, hadits ini lemah,
walaupun maknanya shahih (Lihat Syarh Kitabit Tauhid, 54). Yang mendho’ifkan
hadits ini adalah Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad dan
Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1029.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ
أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka
Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan
(hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen),
maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ
أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah
berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
sanad hadits iniqowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).
Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim (43: 179), dari Hudzaifah, di mana
ia pernah melihat seseorang memakai benang untuk mencegah demam, kemudian ia
memotongnya. Lantas Hudzaifah membacakan firman Allah Ta’ala,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ
بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah,
melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)
Begitu pula Waki’ pernah meriwayatkan dari Hudzaifah.
Beliau pernah mengunjungi orang sakit. Lantas beliau melihat-lihat di lengan
atas orang sakit tersebut dan mendapati benang. Hudzaifah pun bertanya, “Apa ini?” “Ini adalah sesuatu yang bisa menjagaku dari rasa sakit tersebut”, jawab orang sakit tadi. Lantas Hudzaifah pun memotong benang
tadi. Lantas Hudzaifah berkata, “Seandainya engkau mati dalam
keadaan engkau masih mengenakan benang ini, aku tidak akan menyolatkanmu” (Fathul Majid, 132).
Lihatlah bagaimana sikap keras para sahabat bagi orang yang
mengenakan jimat untuk melindungi dirinya dari sakit, dalam rangka meraih maslahat. Jimat tersebut sampai dipotong, walau tidak diizinikan. Dalam
penjelesan di atas menunjukkan bahwa seseorang bisa berdalil dengan ayat yang
menjelaskan tentang syirik akbar (besar) untuk maksud menjelaskan syirik ashgor
(kecil) karena kedua-duanya sama-sama syirik (Lihat Fathul Majid, 132).
Jimat Benarkah Sebab yang Dibolehkan?
Orang yang memakai jimat jelas telah terjerumus dalam kesyirikan
walau ia menyatakan bahwa jimat atau rajah hanyalah sebagai perantara atau sebab saja. Ia jelas
keliru karena mengambil sebab yang tidak diperkenankan dan tidak terbukti
secara syar’i dituntunkan atau secara eksperimen ilmiah benar-benar terbukti
ampuhnya.
Berbeda halnya jika kita sakit, lalu kita meminum obat. Obat ini
sudah terbukti secara eksperimen akan keampuhannya. Hal ini jauh berbeda dengan
jimat dan rajah. Masa’dengan memasang rambut dan tulang, bisa langsung menangkal
musibah? Apa buktinya? Apa sudah pernah diuji kelayakannya di laboratorium atau
lewat berbagai eksperimen? Itulah mengapa memakai jimat sebagai perantara atau
sebab semata, sedangkan yakin Allah yang beri maslahat dan menolak mudhorot
(bahaya) tetap masuk dalam kategori syirik. Lihat saja contoh-contoh yang
dikisahkan dalam beberapa hadits di atas yang menjadikan benang, ikatan atau
gelang supaya terhindar dari penyakit atau ‘ain. Itu pun tetap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang dan menyuruh disingkirkan atau dibuang. Demikian halnya
perlakuan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam nantinya
pada jimat penglaris dagang, jimat penolak ‘ain, jimat benang yang dikenal di
kalangan orang jawa dengan ‘benang pawitra’ (untuk melindungi anak dari bahaya), semua akan diperintahkan
untuk dibuang dan disingkirkan karena yang memakainya bermaksud mengambil sebab
sebagai perantara padahal tidak terbukti secara syar’i, juga tidak terbukti
secara eksperimen ilmiah.
Jadi intinya di sini dalam mengambil sebab untuk meraih manfaat
atau menolak mudhorot (bahaya) harus memenuhi dua syarat:
1. Sebab tersebut terbukti secara syar’i, ditunjukkan dalam dalil
atau terbukti lewat eksperimen ilmiah.
2. Ketergantungan hati hanyalah pada Allah, bukan pada sebab.
Semisal orang yang mengambil sebab untuk sembuhnya penyakit dengan meminum
obat, maka hatinya harus bergantung pada Allah, bukan pada obat, bukan pula
pada ‘Pak Dokter’.
3. Harus yakin bahwa ampuhnya suatu sebab adalah dengan takdir atau
ketentuan Allah. (Faedah dari guru kami –Ustadz Abu Isa hafizhohullah– dalam kajian Kitab Tauhid)
Apakah Memakai Jimat Termasuk Syirik?
Memakai jimat memang termasuk kesyirikan, namun apakah termasuk
syirik akbar ataukah syirik ashgor? Di sini para ulama memberikan rincian
sebagai berikut:
1. Jika yakin bahwa tamimah atau jimat bisa mendatangkan manfaat
dan menolak bahaya (mudhorot), maka ini termasuk syirik akbar. Karena yang
mendatangkan manfaat dan bisa menolak bahaya hanyalah Allah, bukanlah jimat.
2. Jika yakin bahwa jimat hanyalah sebagai sebab untuk penyembuhan
–misalnya-, maka ini termasuk syirik ashgor. Demikianlah keyakinan kebanyakan
orang yang memakai jimat pada umumnya. (Lihat Syarh Kitabit Tauhid, 55)
Walaupun jimat dikatakan syirik ashgor (kecil), namun syirik
tetap lebih parah dari dosa besar. Dan kita tetap harus waspada dari dosa
syirik tersebut walaupun kecil karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ
يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (QS An Nisa: 48)
Dan waspadalah dengan kesyirikan karena syirik itu sangat samar
dari jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.
Menggantungkan Hati pada Jimat
Mengapa dalam menyelesaikan masalah, ingin lepas dari musibah,
ingin menangkal diri dari berbagai penyakit, seseorang malah mencari selain
Allah sebagai tempat mengadu. Padahal Allah-lah yang Maha Mencukupi, Allah-lah
yang Ghoni, Yang Maha Kaya dan Mencukupi segalanya. Sungguh aneh, sebagian kita
malah bergantung pada makhluk yang lemah, pada jimat yang bisa saja rusak dan
punah, padahal ada Allah yang selalu mengawasi dan selalu menolong kita.
Dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Ukaim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ
إِلَيْهِ
“Barangsiapa menggantung hati pada sesuatu, urusannya akan
diserahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072 dan Ahmad 4: 310. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan). Barangsiapa menggantungkan hatinya pada jimat dan rajah, maka
Allah akan menyerahkan urusan orang tersebut pada benda-benda tadi dan Allah
akan menghinakannya. Beda halnya jika Allah yang dijadikan tempat bergantung.
Jika seseorang bergantung pada Allah, maka urusannya akan diselesaikan oleh
Allah, yang sulit akan menjadi mudah, dan yang jauh akan didekatkan. Jika Allah
yang menjadi sandaran, maka sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). (Lihat Fathul Majid, 138)
Tawakkal, Itu Kunci Kemudahan
Bersandarnya hati Allah diikuti dengan melakukan sebab yang benar,
itulah tawakkal dan itulah jalan meraih berbagi kemudahan dan kecukupan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)
Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah ketika menjelaskan surat Ath Tholaq ayat 3 mengatakan,
“Barangsiapa yang bertakwa pada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan
menyandarkan hatinya pada-Nya, maka Allah akan memberi kecukupan bagi-Nya.”
(Tafsir Ath Thobari, 23: 46)
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang menyandarkan diri pada Allah
dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat dan terlepas dari
kemudhorotan (bahaya), dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah
yang akan mencukupi urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang
Maha Mencukupi (Al Ghoni), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (Al
‘Aziz) dan Maha Penyayang (Ar Rohim), maka hasilnya pun akan baik dari
cara-cara lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun
diakhirkan sesuai dengan waktu yang pas.” (Taisir Al Karimir Rahman). Masya Allah suatu keutamaan yang sangat luar biasa sekali dari
orang yang bertawakkal.
Semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita dari berbagai macam
kesyirikan dan budaya jimat. Semoga Allah mematikan kita dalam keadaan
bertauhid dan bersih dari syirik.
rumaysho.com











0 komentar:
Posting Komentar