Kalau
kita sendirian di kampung, menjalankan Islam, akan merasa seperti orang yang
terasing.
Kalau
kita berjenggot di kantoran, juga terasing.
Kalau
kita bercelana cingkrang, juga terasing.
Kalau
di antara wanita ada yang menutup aurat sempurna bahkan sampai mengenakan
cadar, kian terasing.
Bahkan
berakhlak jujur, ingin mengikuti ajaran sesuai tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan ingin menjauhi
kesyirikan, sama halnya kian terasing.
Itulah
keterasingan Islam saat ini. Namun tak perlu khawatir, berbanggalah menjadi
orang yang asing selama berada dalam kebenaran. Thuba lil ghurobaa.
Penganut
Islam yang Terasing di Tengah Umatnya yang Banyak
Dari
Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ
غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan yang
asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang
asing” (HR. Muslim no. 145).
Al
Qadhi ‘Iyadh menyebutkan makna hadits di atas sebagaimana disebutkan oleh Imam
Nawawi,
أَنَّ الإِسْلام بَدَأَ فِي آحَاد مِنْ النَّاس وَقِلَّة
، ثُمَّ اِنْتَشَرَ وَظَهَرَ ، ثُمَّ سَيَلْحَقُهُ النَّقْص وَالإِخْلال ، حَتَّى
لا يَبْقَى إِلا فِي آحَاد وَقِلَّة أَيْضًا كَمَا بَدَأَ
“Islam
dimulai dari segelintir orang dari sedikitnya manusia. Lalu Islam menyebar dan
menampakkan kebesarannya. Kemudian keadaannya akan surut. Sampai Islam berada
di tengah keterasingan kembali, berada pada segelintir orang dari sedikitnya
manusia pula sebagaimana awalanya. ” (Syarh Shahih Muslim, 2: 143)
Sebagaimana
kata As Sindi dalam Hasyiyah-nya terhadap kitab Sunan Ibnu Majah,
غَرِيبًا أَيْ لِقِلَّةِ أَهْله وَأَصْل الْغَرِيب
الْبَعِيد مِنْ الْوَطَن
Disebut
‘gharib’ jika pengikutnya sedikit dan maksud
asal dari kata ‘gharib’ adalah jauh dari negeri.
( وَسَيَعُودُ غَرِيبًا ) بِقِلَّةِ مَنْ يَقُوم بِهِ
وَيُعِين عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ أَهْله كَثِيرً
Kembali
dalam keadaan asing karena sedikitnya yang mau menjalankan dan saling menyokong
dalam menjalankan syari’at Islam padahal umatnya banyak.
(فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ) الْقَائِمِينَ بِأَمْرِهِ
Beruntunglah
orang yang asing, yaitu yang menjalankan ajaran Islam tersebut.
و”طُوبَى” تُفَسَّر بِالْجَنَّةِ وَبِشَجَرَةٍ عَظِيمَة
فِيهَا
Thuba sendiri ditafsirkan dengan surga dan pohon besar yang berada
di surga.
وَفِيهِ تَنْبِيه عَلَى أَنَّ نُصْرَة الإِسْلام
وَالْقِيَام بِأَمْرِهِ يَصِير مُحْتَاجًا إِلَى التَّغَرُّب عَنْ الأَوْطَان
وَالصَّبْر عَلَى مَشَاقّ الْغُرْبَة كَمَا كَانَ فِي أَوَّل الأَمْر
Ini
menunjukkan bahwa memperjuangkan dan menjalankan ajaran Islam memang butuh akan
keterasingan dari negeri. Ketika itu butuh ada kesabaran ekstra dalam
menghadapi keterasingan sebagaimana keadaan Islam di awal-awal. Demikian
penjelasan As Sindi.
Imam
Nawawi rahimahullah menyebutkan berbagai makna dari kata ‘thuba’ sehingga
makna ‘thuba
lil ghuroba’ adalah sebagai berikut:
1. Kegembiraan dan penyejuk mata, yaitu mereka adalah yang
paling bergembira dan jadi penyejuk mata, sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas.
2. Ni’ma maa lahum,
yaitu sebaik-baik sesuatu yang mereka miliki, sebagaimana pendapat dari
‘Ikrimah.
3. Ghibto lahum, yaitu merekalah yang
pantas dihasad dalam kebaikan, artinya berlombalah dengan mereka dalam
kebaikan, sebagaimana pendapat Adh Dhohak.
4. Husna lahum, yaitu merekalah yang
berhak mendapat kebaikan, sebagaimana pendapat dari Qatadah.
5. Khoirul lahum wa karomah,
yaitu merekalah yang mendapat kebaikan dan karomah, sebagaimana pendapat dari
Ibrahim.
6. Dawamul khoir, yaitu merekalah yang
mendapat kebaikan terus menerus, sebagaimana pendapat dari Ibnu ‘Ajlan.
7. Ada ulama yang mengatakan bahwa thuba adalah
pohon di surga.
Ketika
menyebutkan berbagai tafsiran di atas, Imam Nawawi nyatakan bahwa semuanya bisa
menafsirkan makna hadits yang dibahas. (Syarh Shahih Muslim, 2: 153).
Berlanjut
dalam tulisan “Siapakah yang Terasing?”
—
Selesai
disusun di Panggang, Gunungkidul, @ Darush
Sholihin, 14 Jumadal Ula 1436 H
Naskah
Khutbah Jum’at di Masjid Al Fatah Kota Ambon, 15 Jumadal Ula 1436 H
0 komentar:
Posting Komentar