Ustadz, mohon dijelaskan tentang hukum mengikuti salah satu dari
empat madzhab, sikap kita tehadap mereka yang bermadzhab dan yang mewajibkan
bermadzab, serta sejauh mana kebenaran klaim bahwa mereka mengikuti salah satu
imam tersebut, terutama di negeri ini.
Jazakallah khayran.
Jazakallah khayran.
Abu Abdillah
Alamat: Rawamangun, jaktim
Email: abu_abdilxxxx@yahoo.com
Alamat: Rawamangun, jaktim
Email: abu_abdilxxxx@yahoo.com
Jawaban:
Pertanyaan serupa pernah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin Baaz Rahimahullah, beliau menjawab:
“Empat imam mahdzab memiliki kapasitas ilmu yang berbeda. Karena
tentunya tidak ada seorang pun yang menguasai semua ajaran Nabi, dan tidak ada
seorang pun manusia yang menguasai keseluruhan ilmu yang ada. Sehingga mereka
kadang berbeda pada beberapa hal. Namun, mereka adalah para imam besar. Mereka
memiliki pengikut yang merumuskan madzhab mereka. Pengikut para imam ini
mengumpulkan pembahasan-pembahasan serta fatwa-fatwa para imam. Kemudian
ditulis dalam banyak kitab sehingga menyebarlah madzhab mereka dan dikenal
banyak orang. Yaitu disebabkan pengikut para imam yang menuliskan dan
mengumpulkan pembahasan dan fatwa dari para imam tersebut.
Sebagian diantara empat imam madzhab kadang terjerumus dalam
kesalahan. Karena kadang sebagia mereka belum mengetahui hadits yang berkaitan
dengan masalah tertentu. Lalu mereka berfatwa dengan ijtihad. Sehingga, dengan
sebab ini, mereka memfatwakan yang salah. Sedangkan sebagian imam yang lain
mengetahui hadits yang berkaitan, sehingga mereka berfatwa dengan fatwa yang
benar. Hal seperti ini banyak terjadi dalam berbagai masalah yang mereka bahas,
semoga Allah merahmati mereka semua. Oleh karena itulah Imam Malik berkata:
ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبر
“Setiap boleh menolak dan boleh ditolak pendapatnya, kecuali
pemilik kuburan ini“, yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
Namun tentang memilih salah satu pendapat madzhab, ini
hanya layak dilakukan oleh orang yang serius belajar agama. Dan merekapun
tetap tidak boleh taqlid terhadap salah satu madzhab. Selain
itu, jika seseorang menisbahkan diri pada madzhab tertentu karena ia memandang
kaidah-kaidah, landasan dan kesesuaian terhadap dalil secara umum pada madzhab
ini, ini dibolehkan. Namun tetap ia tidak boleh taklid baik kepada
Asy Syafi’i, atau kepada Imam Ahmad, atau kepada Imam Malik, atau kepada
Imam Abu Hanifah atau yang selain mereka. Yang wajib baginya adalah melihat
sumber pendapat dan cara pendalilan dari para imam tersebut. Pendapat yang
lebih kuat dalilnya dari beberapa pendapat yang ada, maka itulah yang diambil.
Sedangkan dalam perkara ijma, tidak boleh ada yang memiliki pendapat lain.
Karena para ulama tidak mungkin bersepakat dalam kebatilan. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبرلا تزال طائفة من
أمتي على الحق منصورة…. الحديث
“Akan selalu ada sekelompok orang (thaifah) dari ummatku yang
teguh di atas kebenaran, mereka ditolong oleh Allah.”
Dan jika para ulama telah bersepakat, maka merekalah thaifah yang
dimaksud.
Bagi orang yang paham agama, wajib baginya untuk memperhatikan
dalil dalam masalah khilafiyah. Jika pendapat Imam Abu Hanifah didukung dalil,
ini yang diambil. Jika pendapat Asy Syafi’i didukung dalil, maka ini yang
diambil. Jika pendapat Imam Malik didukung dalil, ini yang diambil. Jika
pendapat Imam Ahmad didukung dalil, ini yang diambil. Demikian juga, jika
pendapat Imam Al Auza’i didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Ishaq
bin Rahawaih didukung dalil, ini yang diambil, dan seterusnya. Wajib mengambil
pendapat yang berdasarkan dalil dan wajib meninggalkan pendapat yang tidak
berdasarkan atas dalil. Karena Allah Ta’ala berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka
putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10)
Kesimpulannya, wajib bagi orang yang paham agama untuk
mengembalikan setiap permasalahan khilafiyah kepada dalil. Pendapat yang
dalilnya paling kuatlah yang diambil.
Sedangkan orang awam, yang wajib bagi mereka adalah bertanya
kepada orang yang berilmu yang ada di masanya. Yaitu orang alim yang dapat memilihkan
pendapat yang menurutnya paling mendekati teladan Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Orang alim tersebut juga wara’, sangat memahami ilmu
agamanya, dan masyarakat pun percaya terhadap keilmuannya. Orang awam sebaiknya
merujuk dan bertanya kepada mereka. Sehingga dapat dikatakan madzhab orang awam
ini adalah madzhab sang ulama yang ia tanya.
Namun perlu ditekankan, orang awam sebaiknya merujuk pada ulama
-baik yang ada di negerinya atau di luar negerinya- yang dikenal ketinggian
kapasitas ilmunya, ia mengikuti kebenaran, ia menjaga shalat 5 waktu, ia
dikenal sebagai ulama yang mengikuti sunnah Nabi, ia memanjangkan janggut,
tidak isbal, bebas dari tuduhan dari ulama yang lain, dan pertanda-pertanda
lainnya yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang istiqamah. Maka jika anda
ditunjukkan kepada seorang ulama, dan dari zhahirnya nampak tanda-tanda
kebaikan dan ia pun dikenal kapasitas ilmunya, silakan bertanya kepadanya
tentang hal-hal yang anda belum paham dalam masalah agama. Alhamdulillah,
Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian.”
(QS. At Taghabun: 16)
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui.”
(QS. Al Anbiya: 7)
[Sampai di sini
penjelasan beliau, dikutip dari Fatawa Nurun ‘Ala Ad Darb Juz
1, http://binbaz.org.sa/mat/4729]
Mengenai mayoritas orang yang menisbahkan diri kepada salah satu mahdzab
di negeri kita (Indonesia), yaitu mahdzab Syafi’i, kami pernah menanyakan kepada Syaikh
Ali Salim Bukair hafizhahullah saat berkunjung ke
Indonesia, beliau adalah seorang faqih (pakar fiqih) Mazhab
Syafi’i dan Anggota Majelis Syura negeri Yaman. Beliau mengatakan bahwa pada
realitanya kebanyakan orang yang mengaku bermadzab Syafi’i adalah pengikut
madzhab Syafi’i dalam masalah furu’, dan mereka banyak menyelisihi
mahdzab Syafi’i dalam perkara ushul dan banyak mengikuti pendapat ulama
Syafi’iyyah zaman belakangan yang menyelisihi qoul mu’tamad (pendapat
yang dijadikan pegangang utama madzhab Syafi’i).
Wallahu’alam.
Dipublikasi ulang oleh www.KonsultasiSyariah.com
Haruskah kita bermazhab? Ini menjadi pertanyaan orang yang baru
menapaki dunia fikih. Sayangnya, mereka yang bertanya semacam ini, malas
belajar agama.
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Dari: Fajar
Jawaban:
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Bismillah, was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Pertama, Pertanyaan semacam ini bagi sebagian kalangan mungkin layak
dikatakan abang-abang lambe. Betapa tidak, banyak diantara kita yang
mempertanyakan hal ini, namun sejatinya belum bisa memahami konsekuensinya.
Kebanyakan orang yang kebingungan harus memilih madzhab tertentu, dia sendiri
sebenarnya tidak memahami isi madzhab-madzhab itu.
Sebagai contoh misalnya, ada orang yang menyarankan agar kita
memilih madzhab Syafii. Dan kita pun yakin bahwa itu lebih dekat dengan
kebenaran. Kemudian, setelah kita merasa mantap untuk memilih madzhab Syafii,
apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Diam saja, tanya ustadz, baca buku,
atau bagaimana?
Kita sangat yakin, kebanyakan orang yang menghadapi semacam ini,
dia hanya akan mengambil sikap diam saja. Karena dia sendiri tidak tahu apa
yang harus dia lakukan ketika ingin mengikuti madzhab Syafii. Anehnya, dia
sendiri enggan untuk kemudian mempelajari buku-buku dan karya ulama bermadzhab
Syafii. Ujung-ujungnya, dia hanya bisa bertanya kepada ustadz atau kiyai yang
dia yakini bermadzhab Syafii. Anda tahu bagaimana hasilnya?
Ya, sejatinya orang ini tidak menganut madzhab Imam Syafii, tapi
menganut madzhab sang kiyai atau ustadznya. Dus.., omong kosong ketika dia
mengaku-aku dan merasa bangga dengan madzhab Syafii, sementara dia sendiri
tidak mengenal madzhab Imam Syafii. Karena itu, Anda tidak perlu heran, ketika
banyak pendapat masyarakat syafiiyah di tempat kita, yang justru bertentangan
dengan pendapat imam madzhabnya. Salah satu contohnya adalah dalam masalah peringatan
kematian. Mereka yang membela dan melestarikannya, semuanya mengaku bermadzhab
Syafii. Padahal Imam Syafii dan ulama madzhab syafiiyah sendiri menentangnya.
Karena itu, yang lebih penting bukan Anda mengaku bermadzhab apa.
Tapi yang lebih penting adalah belajar dan belajar. Memahami agama ini dari
sumber-sumbernya. Dengan demikian, Anda akan bisa menimbang, manakah diantara
semua pendapat itu yang lebih mendekati kebenaran. Dengan demikian Anda bisa
mengambil sikap dengan penuh keyakinan, karena Anda tahu dasarnya. Dari pada
menjadi orang awam, yang kebingungan dan terombang-ambing dalam lautan
perselisihan.
Kedua, makna kata madzhab
Agar kita bisa memahami lebih sempurna, terlebih dahulu kita
pahami makna kata madzhab. Secara bahasa, madzhab artinya tujuan keberangkatan.
Kemudian kata ini mengalami perubahan, sehingga digunakan untuk menyebut
kesimpulan hukum yang menjadi tujuan akhir pembahasan, sebagaimana keterangan
al-Munawi dalam at-Tawqif.
Ad-Dasuqi dalam hasyiahnya untuk asy-Syarhul Kabir mengatakan,
مَذْهَبَ مَالِكٍ مَثَلًا عِبَارَةٌ عَمَّا ذَهَبَ إلَيْهِ مِنْ
الْأَحْكَامِ الِاجْتِهَادِيَّةِ
Madzhab Malik berarti ungkapan untuk menyebut semua hukum hasil
ijtihad yang menjadi pendapat Imam Malik (Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala asy-Syarh
al-Kabir, 1:49).
Atau denagn kalimat yang lebih ringkas, madzhab = pendapat.
Bermadzhab, berarti mengikuti pendapat. Bermadzhab Syafii, artinya mengikuti
pendapat Imam asy-Syafii, dst.
Dengan demikian, seorang mungkin saja mengikuti banyak madzhab,
dalam berbagai ibadahnya. Bahkan dalam satu kali shalat yang dia lakukan. Bisa
saja orang shalat dengan cara takbir menurut madzhab Hanafi, sedekap menurut
madzhab Maliki, rukuk dengan madzhab Syafii, dan i’tidal dengan madzhab
Hambali. Kita tentu yakin, ada salah satu dari sekian tata cara dari
masing-masing madzhab tersebut yang lebih mendekati kebenaran. Sehingga kita
bisa mengambil kesimpulan, tidak mungkin ada satu madzhab yang pendapatnya
benar secara mutlak.
Ketiga, kita sepakat bahwa Imam yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas,
Muhammad bin Idris asy-Syafii, dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah,
mereka semua adalah imam dan panutan bagi kaum muslimin generasi setelahnya.
Allah jadikan pendapat mereka diterima di hati kaum muslimin, dari generasi ke
generasi.
Namun kita juga sepakat bahwa ijtihad tidak hanya terbatas pada
empat ulama ini. Karena Islam tidak mungkin hanya berkutat pada pendapat empat
imam ini. Masih banyak ulama lain yang sekelas dengan mereka, semacam
ats-Tsauri, al-Auza’I, Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu Uyainah, Ibnu
Mahdi, Yahya bin Qathan, dll.
Untuk itulah, para imam tersebut tidak pernah berharap agar
madzhabnya disikapi sebagaimana syariah yang maksum dari kesalahan. Demikian
pula, mereka sama sekali tidak bermaksud untuk memaksa orang lain agar mengikuti
pendapatnya. Bahkan mereka menolak ketika ada orang lain yang mengambil
pendapatnya, tanpa mengetahui dalil yang menjadi dasar mereka.
Berikut diantara wasiat mereka,
Imam Abu Hanifah mengatakan,
إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه و سلم
فاتركوا قولي
“Jika saya menyampaikan pendapat yang bertentangan denagn Al-Quran
dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tinggalkanlah pendapatku.” (Iqadzul Himam al-Fallani, hlm. 50,
dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 48).
Imam Malik pernah berpesan:
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه و سلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا
النبي صلى الله عليه و سلم
Siapapun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pendapatnya layak diambil atau ditolak. Kecuali keterangan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (al-Jami’ Ibnu Abdil Bar, 2:91, dari Shifat
Shalat Nabi, hlm. 49).
Imam asy-Syafii mangatakan,
كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه و سلم خلاف قولي مما يصح
فحديث النبي أولى فلا تقلدوني
Semua pendapatku, namun keterangan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertentangan dengan pendapatku maka hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih layak diikuti dan janganlah taqlid kepadaku.
(Riwayat Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dari Shifat Shalat Nabi,
hlm. 52)
Imam Ahmad berpesan,
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ
من حيث أخذوا
“Janganlah kalian taqlid kepada aku, jangan pula taqlid kepada
Malik, As-Syafii, Al-Auzai, At-Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.” (I’lam
al-Muwaqi’in, 2:201).
Kita bisa memastikan, bagaimana semangat mereka dalam mengajarkan
kebaikan kepada umat. Sama sekali bukan dalam rangka membangun kelompok baru,
bukan pula menciptakan perbedaan di kalangan umat.
Keempat, mengapa hanya 4 ini yang terkenal?
Diantara balasan yang kebaikan yang Allah berikan kepada mereka,
atas jasa besar mereka bagi kaum muslimin, Allah abadikan karya mereka dan
pendapat mereka melebihi ulama lainnya. Sebagaimana yang dinyatakan Imam Malik,
ما كان لله بقي
“Sesuatu yang murni untuk Allah maka akan lebih langgeng”
Allah ciptakan para murid yang menimba ilmu dari mereka,
mengabadikan pendapat dan perjalanan hidup mereka. Para murid itu mencatat
pendapat mereka, penjelasan mereka, tanya jawab bersama mereka, termasuk
prinsip mereka dalam berijtihad. Sehingga sejarah kehidupan, ideologi, dan
pemahaman mereka dikenang oleh masyarakat generasi setelahnya.
Dalam perjalanannya, para ulama generasi selanjutnya, berusaha
meniru metodologi mereka dalam berijtihad dan mengambil kesimpulan hukum.
Mereka lebih mengikuti pada prinsip para imam dalam menyimpulkan pendapat,
ketimbang mengikuti pendapat sang imam. Sehingga terbentuklah metodologi
menggali kesimpulan dalil yang membedakan mereka dengan madzhab yang lainnya.
Mengingat 4 orang ini yang lebih banyak pengikutnya, jadilah madzhab 4 imam ini
lebih dikenal dibandingkan ulama lain yang sezaman dengan mereka.
Kelima, haruskah kita taqlid kepada madzhab?
Ketika menjelaskan tentang hukum taqlid madzhab, Dr. Abdullah
al-Judai mengatakan,
أنَّ النَّاسَ صنفَانِ، عالمٌ مجتهدٌ، وَعَامِيٌّ مقلِّدٌ، فأمَّا
المجتهدُ فقدْ امتنعَ عليهِ التَّقليدُ ما دامَ قادرًا على الاجتهادِ، وأمَّا
المقلَّدُ فإنَّه مأمورٌ بسؤالِ من يقدرُ على سُؤالهِ من أهلِ العلمِ، ولا
يتقيَّدُ بمذهبٍ من المذاهبِ الأربعَةِ، وإنَّما هو كما يقولُ بعضُ العلماءِ:
(مذهبُهُ مَذهبُ من يسْتَفتِيهِ) ، وعلَى هذا أكثرُ أهلِ العلمِ.
Sesungguhnya manusia terbagi menjadi dua golongan: Alim mujtahid
dan Awam yang taqlid. Seorang mujtahid, dia tidak diperbolehkan untuk taqlid
selama dia masih mampu untuk berijtihad. Sementara orang yang taqlid, dia
diperintahkan untuk bertanya kepada ulama yang mampu menjawab pertanyaannya.
Dan tidak harus terikat dengan madzhab tertentu dari empat madzhab di atas.
Statusnya sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama: “Madzhabnya orang awam
sama denagn madzhabnya orang yang dia mintai fatwa.” Inilah yang menjadi
pegangan para ulama.
Kemudian beliau melanjutkan,
لكنَّ التَّتلمُذَ لمن يقصِدُ تحصيلَ آلَةِ الاجتهادِ على مذهبِ من
هذهِ المذاهبِ لأجلِ ما وقعَ من العِنايَةِ بها مشروعٌ صحيحٌ؛ نظرًا لما يُحقِّقُ
من المصالحِ العظيمَةِ في مراتِبِ العلمِ، ولا ضرُورَةَ لتسميَّتِهِ تقليدًا
Namun, orang yang berusaha menggali untuk mendapatkan metodologi
berijtihad menurut salah satu madzhab dalam rangka memberikan perhatian
kepadanya, hukumnya disyariatkan dan dibenarkan. Mengingat terwujudnya
kemaslahatan yang besar dengan adanya penerapan tingkatan ilmu. Dan tidak
masalah jika bentuk semacam ini disebut taqlid.
فإنْ كانَ في مراحِل العلمِ فلهُ بعضُ الحالِ يشبَهُ العامِّيَّ
فيأخُذُ حُكمَهُ المذكُورَ آنفًا، ولهُ حالٌ يشبهُ المُجتهِدَ فيأخُذُ حُكمَهُ
كذلكَ.
Kaitannya dengan tingkatan ilmu, ulama yang mengkaji madzhab
terkadang pada satu keadaan sama dengan orang awam. Sehingga berlaku hukum
baginya sebagaimana yang telah disebutkan. Dan terkadang dia berada pada
keadaan seperti layaknya mujtahid, sehingga berlaku hukum mujtahid baginya. (Taisir
Ilmi Ushul Fiqh, 394 – 395).
Dari keterangan beliau, kita bisa mengambil kesimpulan
a. Manusia bertingkat-tingkat keilmuannya, ada yang awam, ada yang
secara khusus belajar agama, ada yang ulama mujtahid, dan ada yang menjadi
mujtahid mutlak.
b. Taqlid yang dilakukan seseorang, sesuai dengan tingkatan ilmunya.
Taqlid yang dilakukan orang awam, jelas berbeda dengan taqlid yang dilakukan
mereka yang sedang belajar. Demikian pula taqlidnya seorang penuntut ilmu,
tentu berbeda dengan taqlidnya ulama di atasnya, dst.
c. Dari tingkatan keilmuan itu pula, ada orang yang taqlidnya
mentahan. Dia hanya menerima hasil akhir, tanpa tahu dalilnya sepeserpun.
Itulah model taqlid orang awam. Kemudian ada yang taqlid hanya pada bagian
metodologi berfikir dan berijtihad, sehingga ketika mendapatkan kasus tertentu,
dia bisa gunakan metodologi itu untuk mendapatkan jawabannya. Itulah tingkatan
taqlid yang dilakukan ulama yang menisbahkan dirinya kepada madzhab tertentu.
Kemudian, tidak lupa Dr. Abdullah al-Judai memberikan persyaratan
ketika seseorang hendak taqlid kepada madzhab tertentu,
أمَّا الانتِسابُ بسببِ التَّلقِّي إلى واحدٍ من هذهِ المذاهبِ،
فشرْطُ جوازِهِ أنْ لا يقترِنَ بعصبيَّةٍ
“Adapun menisbahkan diri pada madzhab tertentu, disebabkan dia mengambil banyak ilmu dari salah
satu madzhab, hukumnya boleh dengan syarat tidak diiringi dengan ta’asub (taqlid
buta).” (Taisir Ilmi Ushul Fiqh, hlm. 395).
Yang dimaksud taqlid buta di sini adalah memegangi semua pendapat
madzhab tersebut, tanpa peduli benar dan salahnya.
Allahu a’lam
Read more https://konsultasisyariah.com/563-bolehkah-kita-ber-madzab.html
0 komentar:
Posting Komentar