Tadz, bgmn hukum
dzikir dg cuma baca: Allah… Allah.. atau hu.. hu… Krn ada beberapa
thoriqat yg aku tahu mempraktekkan dzikir sperti itu.
Trim’s
Trim’s
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ada beberapa prinsip yang perlu kita pahami terkait dzikir kepada
Allah.
Pertama, hakekat dzikir kepada Allah adalah memuji Allah dengan
pujian yang layak untuk Allah. Karena itu, kita tidak boleh memberikan pujian
yang tidak layak untuk Allah, sekalipun itu pujian yang baik untuk makhluk.
Misalnya: sifat subur, dalam arti: berpotensi memiliki anak dan keturunan. Bagi
makhluk, ini sifat sempurna. Karena mandul adalah sifat yang buruk bagi
makhluk. Sebaliknya, bagi Allah, ini sifat yang tidak layak diberikan kepada
Allah, karena Allah Maha Suci dari memiliki anak dan keturunan.
Karena itu, yang paling tahu tentang cara memuji Allah yang benar
Allah sendiri, dan bentuk memuji Allah yang paling sempurna adalah dengan cara
dan lafal yang Allah ajarkan. Dalam salah satu doanya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengutarakan pujiannya,
…وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً
عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِك
Aku berlindung kepada-Mu dari hukuman-Mu, aku tidak mampu menyebut
semua pujian untuk-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri..(HR. Muslim 486, Nasai 169, Abu Daud 879, dan yang lainnya).
Kedua, dalam bahasa arab, satu kalimat disebut memiliki makna
sempurna jika dia berbentu kalam atau jumlah mufidah (kalimat sempurna).
Jumlah mufidah ada 2:
1.
Jumlah ismiyah: kalimat yang diawali isim, yang membentuk susunan
mubtada’ – khabar (subjek – prediket). Misalnya: Ahmad seorang guru. Ahmad:
mubtada’ (subjek), dan seorang guru: khabar (prediket).
2.
Jumlah fi’liyah: kalimat yang diawali fi’il (kata kerja), yang
membentuk susunan fi’il – fa’il (pelaku). Susunan semacam ini mungkin tidak
lazim dalam bahasa indonesia, namun ini ma’ruf dalam bahasa arab. Misalnya:
Telah datang Ahmad. Telah datang: fi’il (kata kerja), dan Adi: fa’il (pelaku).
Karena itu, bukan termasuk kalimat sempurna ketika hanya tersusun
dari SATU kata, tanpa kata lainnya. Misalnya, ada orang yang mengucapkan:
Ahmad… Ahmad…
Orang yang mendengar tidak akan memahami apapun. Ada apa dengan
Ahmad? Ahmad kenapa? Kecuali jika dia mengucapkan kata ‘Ahmad’ karena menjawab
pertanyaan. Misal, “Siapa yang datang?” kemudian ada orang menjawab, “Ahmad.”
Kemudian, kalimat semacam ini juga bukan pujian untuk Ahmad.
Berbeda ketika ada orang mengatakan: Ahmad pinter, Ahmad dermawan,
Ahmah Cah bagus, dst. Pendengar akan memahami apa yang diucapkan dan dia juga
menyadari bahwa itu pujian.
Zikir dengan lafal: Allah… Allah…
Dengan memahami dua pengantar di atas, kita bisa mengetahui status
zikir dengan lafal Allah… Allah… atau hu… hu… Para ulama menyebutkan dengan
zikir dengan isim mufrad (dzikir dengan satu kata).
Syaikhul Islam mengatakan
والذكر بالاسم المفرد مظهرا ومضمرا بدعة في الشرع وخطأ في القول
واللغة فإن الاسم المجرد ليس هو كلاما لا إيمانا ولا كفرا
Zikir dengan isi mufrad (satu kata), baik lahir (diucapkan) maupun
batin (dalam hati) adalah bid’ah dalam syariat, salah secara etika berbicara
dan keliru secara bahasa. Karena satu kata, bukan kalam (kalimat sempurna),
bukan iman dan bukan pula kekafiran. (Majmu’ Al-Fatawa, 10/396).
Syaikhul islam menyebut zikir ini sebagai tindakan bid’ah karena
tidak ada satupun dalil yang menyebutkannya. Tidak pula dipraktekkan para
sahabat dan orang soleh masa silam.
Kemudian beliau menegaskan bahwa zikir semacam ini kesalahan dalam
etika bicara dan tinjauan bahasa. Karena satu kata, tidak bisa disebut kalimat
sempurna. Orang mengatakan Allah.., Allah.., tidak bisa disebut memuji maupun
mencela Allah. Karena dalam kalimat ini tidak mengandung unsur pujian maupun
celaan.
Berbeda ketika seseorang mengatakan, Allahu Akbar., Allahu
Ar-Rahman., Allah Yang Maha Esa, dst. kalimat semacam ini sempurna dan
mengandung unsur pujian.
Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan beberapa dalil tentang zikir
yang paling utama dalam syariat,
وقد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: أفضل الكلام
بعد القرآن أربع وهن من القرآن: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله
أكبر
Terdapat dalam hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Ucapan yang paling afdhal setelah Al-Quran ada 4, dan
semuanya dari Al-Quran: Subhanallah, Alhamdu lillah, Laa ilaaha illallah, dan
Allahu akbar. (HR. Ahmad 20223 dan sanadnya dinilai shahih oleh Syuaib
Al-Arnauth)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أفضل الذكر لا إله إلا الله
Zikir yang paling utama adalah Laa ilaaha illallah
(HR. Turmudzi 3383, Ibn Majah 3800 dan dinilai hasan oleh Al-Albani)
Dalam hadis lain, beliau bersabda,
أفضل ما قلت أنا والنبيون من قبلي: لا إله إلا الله وحده لا شريك له
له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير
Kalimat terbaik yang kuucapkan dan diucapkan para nabi sebelumku
adalah Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul
hamdu, wa huwa ‘ala kulli syaiin qadiir.
(Majmu’ Al-Fatawa,
10/396).
Dalam Al-Quran maupun hadis, Allah tidak pernah mengajarkan kepada
kita zikir dengan lafal Allah… Allah…, namun dengan lafal lengkap yang
mengandung pujian: Subhanallah.., alhamdulillah, Allahu Akbar, atau Laa ilaaha
illallaah, dst.
Zikir Bilal
Anda yang pernah membaca sirah nabawiyah tentu pernah mendengar
ini. Bilal bin Rabah, sahabat mulia yang ketika masuk islam masih menjadi budak
Umayah bin Khalaf. Belliau disiksa dengan sangat sadis oleh sang majikan. Di
terik padang pasir yang sangat panas, ditindih batu besar yang panas,
dipaksa untuk mengucapkan Lata.., Uzza, namun Bilal hanya mengucapkan,
Ahad…Ahad. Tidak mempan disiksa di padang pasir yang panas, lehernya diberi
tali dan diseret, diarak di kota Mekah, namun Bilal hanya menjawab: Ahad…Ahad.
Sebagian orang berdalil dengan zikir Bilal ini untuk melegalkan
zikir dengan lafal mufrad: Allah..Allah.. Tentu saja ini adalah pendalilan yang
tidak pada tempatnya. Karena beberapa alasan,
·
Apa yang diucapkan Bilal adalah pujian untuk Allah. Bilal
mengucapkan Ahad, Ahad, Dzat Yang Maha Esa, dan ini kalimat pujian untuk Allah.
·
Bilal mengucapkan Ahad, Ahad, sebagai jawaban untuk paksaan
orang musyrik agar Bilal menyekutukan Allah, dengan memuji Lata dan Uzza.
Karena itu, sejatinya ucapan Bilal ini bukan kata tunggal, tapi jawaban untuk
paksaan orang musyrik.
Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar