Saya mau tanya mengenai hasil
dari hukum waris.
Misalkan dalam satu keluarga ada
salah satu anggota keluarga status janda tanpa anak, belum mempunyai pekerjaan
dan belum memilik rumah.
Semua anggota keluarga sepakat
untuk menjual rumah warisan dari almarhum kedua orang tua. Dari Hasil penjualan
rumah dibuat pembagian warisan sesuai hukum agama Islam.
Dari hasil pembagian waris yang
sudah diterima, apakah ada kewajiban dari masing-masing anggota keluarga
menurut hukum Syariat Islam untuk atau harus membantu salah satu anggota
keluarga tersebut diatas yang membutuhkan untuk urunan dana membelikan satu
rumah dan modal usaha.
Mohon pencerahan agar saya bicara
dengan semua anggota keluarga mempunyai dasar hukum sesuai Syariat Islam.
Terima kasih.
Dari Djaya Setiaman
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu
‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Allah berfirman,
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Apabila sewaktu pembagian itu
hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisa: 8)
Ayat ini mengajarkan kepada kita
salah satu bentuk latihan kedermawanan dalam hidup. Ketika kita melakukan
proses pembagian warisan bersama para ahli waris, Allah mengajarkan agar kita
tidak melupakan kerabat atau orang lain yang bukan termasuk ahli waris.
Terlebih ketika mereka hadir dalam proses pembagian warisan itu.
Imam as-Sa’di menafsirkan ayat
ini,
أعطوهم ما تيسر من هذا المال الذي جاءكم بغير كد ولا تعب، ولا عناء
ولا نَصَب، فإن نفوسهم متشوفة إليه، وقلوبهم متطلعة، فاجبروا خواطرهم بما لا يضركم
وهو نافعهم.
Berikanlah harta yang tidak
memberatkan dirimu. Harta yang kalian dapatkan tanpa usaha keras dan tanpa
melalui rasa lelah. Sehingga jiwa mereka (selain ahli waris) sangat berharap
mendapatkannya. Karena itu, tutupi angan-angan di hati mereka dengan memberikan
sedikit harta yang tidak mengurangi milik kalian, sementara itu sangat
bermanfaat bagi mereka. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 165).
Pada umumnya, harta warisan
diperoleh para ahli waris tanpa melalui usaha apapun, dan tanpa kerja keras.
Sementara umumnya orang lain bisa memprediksi, berapa nilai warisan yang
diterima tetangganya. Karena dia tahu tanah sawah, kebun, rumah atau kendaraan
yang menjadi warisan tetangganya. Jika tetangga saja tahu, apalagi kerabat
dekatnya. Mungkin dia lebih tahu secara detail apa saja harta warisan yang
diterima keluarganya. Sementara manusia tidak bisa lepas dari karakter hasad
dan dengki dalam dirinya.
Untuk menghilangkan munculnya
buruk sangka dari orang lain, terutama kerabat yang tidak mendapat warisan itu,
serta meredam peluang munculnya permusuhan karena hasad, Allah perintahkan
kita, ‘maka berilah mereka sebagian dari
harta itu’ dengan nilai yang tidak memberatkan kita. Sehingga
jalinan silaturahmi tetap terjaga. Inilah yang kami sebut dengan cipratan
warisan.
Al-Qurthubi membawakan keterangan
dari Ibnu Abbas,
أَمَرَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ عِنْدَ قِسْمَةِ مَوَارِيثِهِمْ أَنْ
يَصِلُوا أَرْحَامَهُمْ، وَيَتَامَاهُمْ وَمَسَاكِينَهُمْ مِنَ الْوَصِيَّةِ،
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ وَصِيَّةٌ وَصَلَ لَهُمْ مِنَ الْمِيرَاثِ
Allah memerintahkan orang yang
beriman ketika membagi warisan, agar tetap menjaga silaturahmi dengan kerabat
mereka, atau anak yatim, atau orang miskin, dalam bentuk memberikan wasiat
untuk mereka. Jika tidak ada wasiat, hubungan itu dijaga dalam bentuk
memberikan cipratan warisan. (Tafsir al-Qurthubi, 5/49)
Wajib ataukah Sunah?
Pendapat yang benar bahwa ayat
ini tidak mansukh dengan ayat warisan dan wasiat. Ini merupakan pendapat
sahabat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhum, Urwan bin Zubair
dan beberapa ulama tabiin lainnya.
Kemudian, apakah perintah
memberikan cipratan warisan kepada selain ahli waris, ini statusnya wajib
ataukah anjuran?
Dalam hal ini ulama berbeda
pendapat,
Pendapat pertama, perintah ini
statusnya wajib sesuai kerelaan hati. Sebagaimana memberikan barang ringan
kepada orang yang membutuhkan, yang Allah perintahkan di surat al-Ma’un. Ibnu
Katsir menyebutkan beberapa ulama yang berpendapat wajib, diantaranya; Ibnu
Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhum,
serta Abul Aliyah, as-Syabi, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Said bin Jubair, dan
an-Nakha’i.
Pendapat kedua, perintah ini hukumnya
anjuran dan tidak wajib. Dan inilah pendapat
An-Nuhas. beliau mengatakan,
فَهَذَا أَحْسَنُ مَا قِيلَ فِي الْآيَةِ، أَنْ يَكُونَ عَلَى
النَّدْبِ وَالتَّرْغِيبِ فِي فِعْلِ الْخَيْرِ، وَالشُّكْرِ لِلَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ
Pendapat palig kuat tentang ayat,
bahwa hukumnya anjuran dan dorongan untuk melakukan kebaikan da bersyukur
kepada Allah ‘azza wa jalla.
Dan pendapat yang dinilai kuat
oleh al-Qurthubi. Beliau mengatakan,
وَالصَّحِيحُ أَنَّ هَذَا عَلَى النَّدْبِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ
فَرْضًا لَكَانَ اسْتِحْقَاقًا فِي التَّرِكَةِ وَمُشَارَكَةً فِي الْمِيرَاثِ،
لِأَحَدِ الْجِهَتَيْنِ مَعْلُومٌ وَلِلْآخَرِ مَجْهُولٌ. وَذَلِكَ مُنَاقِضٌ
لِلْحِكْمَةِ، وَسَبَبٌ لِلتَّنَازُعِ وَالتَّقَاطُعِ
Yang benar, ini bersifat anjuran.
Karena jika ini hukumnya wajib, tentu mereka berhak mendapatkan warisan dan
memiliki bagian untuk mengambil warisan. Hanya saja, ada yang besar nilai
warisannya telah ditentukan (yaitu para ahli waris) dan ada yang besar nilai warisannya
tidak ditentukan (para kerabat, anak yatim dan orang miskin). Dan jelas ini
bertentangan dengan hikmah adanya pembagian warisan dan sebab pemicu permusuhan
dan sengketa. (Tafsir al-Qurthubi, 5/49)
Berdasarkan keterangan di atas,
anda boleh bahwa dianjurkan untuk mengajak para saudara yang mendapatkan harta
waris, agar menyisihkan sebagian warisan mereka untuk diberikan kepada janda
itu. Sebagai perekat ikatan kekeluargaan.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur
Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar