“Perkara wajib
tidaklah ditinggalkan kecuali karena perkara wajib.”
Ada kaedah yang sangat membantu
dalam memahami hukum Islam dan ibadah dalam agama kita ini. Kaedah ini
dibawakan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wa An-Nazhair, kaedah no. 23, pada halaman
329.
Imam As-Suyuthi rahimahullah menyatakan,
الوَاجِبُ
لاَ يُتْرَكُ إِلاَّ لِوَاجِبٍ
“Perkara wajib tidaklah
ditinggalkan kecuali karena perkara wajib.”
Ulama lain mengibaratkan dengan
istilah,
الوَاجِبُ
لاَ يُتْرَكُ لِسُنَّةٍ
“Perkara wajib tidaklah
ditinggalkan cuma karena adanya perkara sunnah.”
Ada lagi istilah lain,
مَا
كَانَ مَمْنُوْعًا إِذَا جَازَ وَجَبَ
“Sesuatu yang terlarang jika
dibolehkan, berarti menunjukkan wajibnya.”
Contoh
Kaedah
1- Memotong tangan dalam hukum
Islam untuk kasus pencurian dikatakan wajib (jika yang menjalankannya adalah
yang punya kuasa yaitu pemerintah, pen.). Karena asalnya memotong tangan orang
itu dilarang. Namun dalam rangka menegakkan hukum, maka dibolehkan. Berarti
penegakkan hukum potong tangan dalam hal ini dihukumi wajib.
2- Menegakkan hukuman had bagi
pelaku pidana termasuk wajib. Karena hukuman had berarti melukai orang lain dan
itu haram. Namun dibolehkan dalam rangka menegakkan keadilan, berarti
menegakkannya dihukumi wajib.
3- Makan bangkai dalam keadaan
darurat dihukumi wajib. Karena sesuatu yang haram jika dibolehkan berarti
menunjukkan wajibnya.
4- Khitan dihukumi wajib. Padahal
asalnya memotong sebagian anggota tubuh itu tidak dibolehkan. Namun dalam hal
ini dibolehkan, maka menunjukkan bahwa khitan itu wajib. Karena yang wajib
tidaklah dikalahkan kecuali dengan yang wajib pula atau sesuatu yang terlarang
jika dibolehkan berarti menunjukkan wajibnya.
5- Jika imam atau munfarid (yang
shalat sendirian) sudah berdiri di raka’at ketiga dan lupa melakukan tahiyat
awal, maka ia tidak boleh kembali ke tahiyat awal. Karena kita ketahui bersama
bahwa tahiyat awal dalam madzhab Syafi’i termasuk perkara sunnah (ab’adh). Sedangkan berdiri di raka’at
ketiga sudah masuk dalam rukun (wajib). Kaedahnya, perkara wajib tidaklah bisa
ditinggalkan cuma lantaran mengejar suatu yang sunnah. Perkara wajib hanya bisa
ditinggalkan karena bertemu dengan yang wajib.
6- Jika imam sudah berdiri ke
raka’at ketiga padahal lupa melakukan tahiyat awal, lalu ia kembali ke tahiyat
awal, maka wajib bagi makmum untuk mengikuti imam. Karena mengikuti imam itu
wajib. Sesuai kaedah, perkara wajib tidaklah ditinggalkan kecuali karena
perkara wajib.
7- Jika imam sudah sujud dan
meninggalkan qunut shubuh (bagi yang punya keyakinan adanya qunut shubuh setiap
shalatnya, pen.), maka ia tidak boleh kembali ke keadaan qunut dikarenakan
qunut Shubuh dalam madzhab Syafi’i termasuk sunnah (ab’adh). Sedangkan perkara
wajib (sudah masuk sujud) tidaklah boleh ditinggalkan hanya karena mengejar
sunnah.
Soal
Sekarang pertanyaannya, bagaimana
jika suami istri sama-sama melakukan sa’i saat haji atau umrah (melintas antara
Shafa dan Marwah) lantas melewati lampu hijau yang disunnahkan bagi pria untuk
berlari sekencang-kencangnya. Namun sayangnya suami tersebut berbarengan dengan
istri saat sa’i. Bolehkah ia meninggalkan istrinya cuma karena mengejar sunnah?
Pertanyaan lainnya, seorang suami
ingin menjalankan sunnah Poligami. Namun jika ia memutuskan berpoligami adalah
rumah tangga awal menjadi rusak dan anak-anak menjadi terlantar. Pantaskah
berpoligami dalam keadaan seperti ini?
Setelah memahami kaedah dari Imam
As-Suyuthi, kami yakin Anda bisa menjawab dua pertanyaan yang kami ajukan.
Semoga bermanfaat.
—
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom,
@DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam
0 komentar:
Posting Komentar