Bismillah was shalatu was salamu
‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertengkaran dalam rumah tangga, salah satu diantara pertanyaan
yang banyak masuk melalui situs KonsultasiSyariah.com. Semoga artikel ini bisa
menambah wawasan untuk menuju yang lebih baik.
Pertengkaran dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.
Pertengkaran dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau
menceritakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha,
dan beliau tidak melihat Ali di rumah. Spontan beliau bertanya: “Di mana anak
pamanmu?” ‘Tadi ada masalah dengan saya, terus dia marah kepadaku, lalu keluar.
Siang ini dia tidak tidur di sampingku.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepada para sahabat tentang keberadaan Ali. ‘Ya Rasulullah, dia di masjid,
sedang tidur.’ Datanglah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ke masjid, dan ketika itu Ali sedang tidur,
sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan dia terkena debu. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
debu itu, sambil mengatakan,
قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ
“Bangun, wahai Abu Thurab…
bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)
Tentu tidak ada apa-apanya ketika
keluarga kita dibandingkan dengan keluarga Ali dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma. Meskipun
demikian, pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana semacam
ini juga terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di
keluarga yang baik sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi di keluarga
yang tidak baik.
Apa
Bedanya?
Keluarga yang tidak baik, mereka
bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi dan saling mendzalimi.
Setitikpun tidak ada upaya untuk mencari solusi. Yang penting aku menang, yang
penting aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran semacam ini sampai menui
caci-maki, KDRT, atau bahkan pembunuhan.
Berbeda dengan keluarga yang
baik, sekalipun mereka bertengkar, pertengkaran mereka dilakukan tanpa
melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka tetap menjaga
jangan sampai mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk menemukan
solusinya dari pertengkaran ini. Umumnya sifat semacam ini ada pada keluarga
yang lemah lembut, memahami aturan syariat dalam fikih keluarga, dan sadar akan
hak dan kewajiban masing-masing.
Semua
Jadi Pahala
Apapun kesedihan yang sedang kita
alami, perlu kita pahami bahwa itu sejatinya bagian dari ujian hidup. Sebagai
orang beriman, jadikan itu kesempatan untuk mendulang pahala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ
وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا
كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidak ada satu musibah yang
menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang
lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah
jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Pahami bahwa bisa jadi
pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan. Kemudian Allah
memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Di saat itu, hadirkan
perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan kesedian yang anda
alami…lanjutkan dengan bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ
“Musibah turun disebabkan dosa
dan musibah diangkat dengan sebab taubat.” (Majmu’ Fatawa, 8/163)
3
Hal Yang Harus Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga
Selanjutnya, ada 3 hal yang wajib
dihindari ketika terjadi pertengakaran. Semoga dengan menghindari hal ini,
pertengkaran dalam keluarga muslim tidak berujung pada masalah yang lebih
parah. Secara umum, aturan ini telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadis dari Hakim bin
Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
kewajiban suami kepada istrinya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ،
أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ
إِلَّا فِي الْبَيْت
“Kamu harus memberi makan
kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai
kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya,
dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad 20011, Abu Daud
2142 dan dishahihkan Al-Albani).
Hadis ini merupakan nasehat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
para suami. Meskipun demikian, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis
ini juga berlaku bagi wanita. Dari hadis mulia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan
untuk menghindari 3 hal:
Pertama, hindari KDRT
Dalam Al-Quran Allah membolehkan
seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang istri membangkang. Sebagaimana
firman Allah di surat An-Nisa:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا
Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)
Namun ini izin ini tidak berlaku
secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya
istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain
tentang izin memukul,
1. Tidak boleh di daerah kepala,
sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.” Mencakup kata wajah adalah
semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak
organ vital yang menjadi pusat indera manusia.
2. Tidak boleh menyakitkan
Batasan ini disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
khutbah beliau ketika di Arafah.
إِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Jika istri kalian melakukan
pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” (HR. Muslim 1218)
Keterangan ini juga disebutkan
Al-Bukhari dalam shahihnya, ketika beliau menjelaskan firman Allah di surat
An-Nisa: 34 di atas.
Atha’ bin Abi Rabah pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas,
قلت لابن عباس : ما الضرب غير المبرح ؟ قال : السواك وشبهه يضربها به
Saya pernah bertanya kepada Ibnu
Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan
dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam
tafsirnya, 8/314).
Termasuk makna pukulan yang tidak
menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas, seperti memar, atau
bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu
tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.
Namun, meskipun ada izin untuk memukul
ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita yang lemah bukanlah
lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Anda bisa bayangkan, ketika ada
orang yang sangat kuat, mendapatkan lawan yang lemah. Tentu bukan sebuah
kehormatan bagi dia untuk meladeninya. Karena itu, lawan bagi suami yang
sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu menahan emosi, sehingga tidak
menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat yang sejatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي
يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
“Orang yang hebat bukahlah orang
yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang hebat adalah orang yang bisa
menahan emosi ketika marah.” (HR.
Bukhari 6114 dan Muslim 2609).
Seperti itulah yang dicontohkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. A’isyah menceritakan,
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا
قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي
سَبِيلِ اللهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah memukul wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal
beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim 2328).
Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan Allah”
untuk membuktikan bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sosok yang pemberani. Beliau
pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah. Beliau
tidak memukul wanita atau orang lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah
bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.
Kedua, Hindari Caci-maki
Siapapun kita, tidak akan
bersedia ketika dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya membolehkan hal ini
dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang didzalimi. Syariat membolehkan orang
yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam bentuk cacian atau
makian. Allah berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا
مَنْ ظُلِمَ
Allah tidak menyukai Ucapan buruk
(caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang
dianiaya. (An-Nisa: 148)
Setidaknya, ketika dia tidak
mampu memberi balasan secara fisik, dia mampu membalas dengan melukai hati
orang yang mendzaliminya.
Dalam ikatan rumah tangga,
syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan suasana harmonis. Sehingga
sampaipun terjadi masalah, balasan dalam bentuk caci maki harus dihindarkan.
Karena kalimat cacian dan makian akan menancap dalam hati, dan bisa jadi akan
sangat membekas. Sehingga akan sangat sulit untuk bisa mengobatinya. Jika
semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga yang sakinah.
Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan
jangan sampai seseorang mencaci pasangannya. Apalagi membawa-bawa nama keluarga
atau orang tua, yang umumnya bukan bagian dari masalah.
Beliau bersabda, “jangan kamu menjelekannya”
Dalam Syarh Sunan Abu Daud
dinyatakan,
لَا تَقُلْ لَهَا قَوْلًا قَبِيحًا وَلَا تَشْتُمْهَا وَلَا
قَبَّحَكِ اللَّهُ
“Jangan kamu ucapkan kalimat yang
menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud,
6/127).
Perlu kita ingat bahwa cacian dan
makian kepada pasangan yang dilontarkan tanpa sebab, termasuk menyakiti orang
mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا
اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Orang-orang yang menyakiti
orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka
Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)
Marah kepada suami atau marah
kepada istri, bukan alasan pembenar untuk mencaci orang tuanya. Terlebih ketika
mereka sama sekali tidak bersalah. Allah sebut tindakan semacam ini sebagai
dosa yang nyata.
Ketiga, Jaga Rahasia Keluarga
Bagian ini penting untuk kita
perhatikan. Hal yang perlu disadari bagi orang yang sudah keluarganya, jadikan
masalah keluarga sebagai rahasia anda berdua. Karena ketika masalah itu tidak
melibatkan banyak pihak, akan lebih mudah untuk diselesaikan. Terkait tujuan
ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت
“jangan kamu boikot istrimu kecuali
di rumah”
Ketika suami harus mengambil
langkah memboikot istri karena masalah tertentu, jangan sampai boikot ini
tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun suami istri sedang
panas emosinya, namun ketika di luar, harus menampakkan seolah tidak ada
masalah. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang berwenang, dalam rangka
dilakukan perbaikan.
Siapakah pihak yang berwenang?
Pihak yang posisinya bisa
mengendalikan dan memberi solusi atas masalah keluarga. Dalam hal ini bisa KUA,
hakim, ustadz yang amanah, atau mertua. Kami sebut mertua, karena dia berwenang
untuk mengendalikan putra-putrinya. Dan ini tidak berlaku sebaliknya.
Agar tidak salah paham, berikut
keterangan lebih rinci;
Ketika suami melakukan kesalahan,
tidak selayaknya sang istri melaporkan kesalahan suami ini kepada orang tua
istri. Tapi hendaknya dilaporkan kepada orang yang mampu mengendalikan suami,
misalnya tokoh agama yang disegani suami atau orang tua suami. Demikian
pula ketika sumber masalah adalah istri. Hendaknya suami tidak melaporkannya
kepada orang tuanya, tapi dia laporkan ke mertuanya (ortu istri).
Solusi ini baru diambil ketika
masalah itu tidak memungkinkan untuk diselesaikan sendiri antara suami-istri.
Hindari Pemicu Adu Domba
Bagian ini perlu kita hati-hati.
Ketika seorang istri memiliki masalah dengan suaminya, kemudian dia ceritakan
kepada orang tua istri, muncullah rasa kasihan dari orang tuanya. Namun tidak
sampai di sini, orang tua istri dan suami akhirnya menjadi bermusuhan. Orang
tua istri merasa harga dirinya dilecehkan karena putrinya didzalimi anak orang
lain, sementara suami menganggap mertuanya terlalu ikut campur urusan
keluarganya. Bukannya solusi yang dia dapatkan, namun masalah baru yang justru
lebih parah dibandingkan sebelumnya.
Selanjutnya, jadilah keluarga
yang bijak, yang terbuka dengan pasangannya, karena ini akan memperkecil
timbulnya dugaan buruk (suudzan) antar-sesama. Jika anda tidak memungkinkan
menyampaikan secara langsung, sampaikan dalam bentuk email, atau sms. Lebih rincinya,
anda bisa pelajari artikel : Mengatasi Keretakan Hubungan Suami Istri
Semoga bermanfaat..,
Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar