Saya ibu dengan satu bayi putri. Saya bekerja sebagai PNS di
Depdiknas. Mohon nasihatnya, setelah saya belajar Islam dengan manhaj Salaful
ummah ini, timbul dilema antara melanjutkan karir atau mempersiapkan diri untuk
keluar dari pekerjaan dan menjadi ibu yang full time di rumah.
Masalahnya adalah saya kurang pandai bekerja di rumah, sekarang ini walau tak
ada pembantu saya masih bisa mengurus rumah walaupun seadanya.
Khawatirnya jika saya tetap bekerja, akan bertentangan dengan
surat Al Ahzab ayat 33 bahwa tempat wanita adalah rumahnya. Mohon nasihatnya
ustadz, agar ana ikhlas bekerja tanpa pembantu dan mendapatkan yang lebih baik
dari sekadar khadimat dengan dzikir sebelum tidur. Namun, bolehkah saya punya khadimat ya
ustadz masalahnya jadi ada non-mahram di rumah kami. Jazaakumullah
Khair wa Barakallahu fikum, Wassallam
Neneng
Alamat: Jakarta Selatan
Email: nenengtxxxxx@yahoo.com
Alamat: Jakarta Selatan
Email: nenengtxxxxx@yahoo.com
Ustadz Musyaffa Ad Darini,Lc. menjawab:
Bismillah, walhamdulillah wash shalatu wassalamu ala rasulillah,
wa’ala alihi washahbihi wa man waalah, amma ba’du.
Semoga Allah mencurahkan rahmat, berkah dan taufiq-Nya kepada
anda, karena semangat anda menetapi manhaj yang lurus ini, Amin. Agar lebih
fokus dan mudah dipahami, jawaban pertanyaan anda kami jabarkan dalam poin-poin
berikut ini:
Pertama: Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta
Manusia, hanya Dia-lah yang maha mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya. Hanya Dia
yang maha tahu mana yang baik dan memperbaiki hamba-Nya, serta mana yang buruk
dan membahayakan mereka. Oleh karena itu, Islam menjadi aturan hidup manusia
yang paling baik, paling lengkap dan paling mulia, Hanya Islam yang bisa
mengantarkan manusia menuju kebaikan, kemajuan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Allah
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan
Rosul apabila dia menyerumu kepada sesuatu (ajaran) yang memberi kehidupan
kepadamu“. (QS. Al-Anfal: 24).
Allah adalah Dzat yang maha pengasih, maha penyayang dan terus
mengurusi makhluk-Nya, oleh karena itu Dia takkan membiarkan makhluknya
sia-sia, Allah berfirman:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
ada perintah, larangan dan pertanggung-jawaban)?!” (QS. Al-Qiyamah:36,
lihat tafsir Ibnu Katsir 8/283).
Oleh karena itulah, Allah menurunkan syariat-Nya, dan mengharuskan
manusia untuk menerapkannya dalam kehidupan, tidak lain agar kehidupan mereka
menjadi lebih baik, lebih maju, lebih mulia, dan lebih bahagia di dunia dan di
akhirat.
Kedua: Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di pundaknya
lah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional
dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk
menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama
yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri),
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari
harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Begitu pula firman-Nya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah kalian” (QS.
Al-Ahzab:33).
Ahli Tafsir ternama Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan
perkataannya: “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian,
dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang
syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi
syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Inilah keluarga yang ideal dalam Islam, kepala keluarga sebagai
penanggung jawab utama urusan luar rumah, dan ibu sebagai penanggung jawab
utama urusan dalam rumah. Sungguh, jika aturan ini benar-benar kita terapkan,
dan kita saling memahami tugas masing-masing, niscaya terbangun tatanan
masyarakat yang maju dan berimbang dalam bidang moral dan materialnya, tercapai
ketentraman lahir batinnya, dan juga teraih kebahagiaan dunia akhiratnya.
Ketiga: Bolehkah wanita bekerja?
Memang bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah
tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh
bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang
dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita
untuk bekerja dan bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan
memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ
وَالْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh,
Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS.
At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan
bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk
berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman
(yang artinya):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling
memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi
hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS.
An-Nisa:29),
Perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.
AKAN TETAPI, wajib diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya,
hendaklah pelaksanaannya bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah dan
kemungkaran. Dalam pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur)
dengan pria dan tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya
dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab syar’i,
tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.
Karena itu, jual beli antara mereka bila dipisahkan dengan pria
itu boleh, begitu pula dalam pekerjaan mereka. Yang wanita boleh bekerja
sebagai dokter, perawat, dan pengajar khusus untuk wanita, yang pria juga boleh
bekerja sebagai dokter dan pengajar khusus untuk pria. Adapun bila wanita menjadi
dokter atau perawat untuk pria, sebaliknya pria menjadi dokter atau perawat
untuk wanita, maka praktek seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat, karena
adanya fitnah dan kerusakan di dalamnya.
Bolehnya bekerja, harus dengan syarat tidak membahayakan agama dan
kehormatan, baik untuk wanita maupun pria. Pekerjaan wanita harus bebas dari
hal-hal yang membahayakan agama dan kehormatannya, serta tidak menyebabkan
fitnah dan kerusakan moral pada pria. Begitu pula pekerjaan pria harus tidak
menyebabkan fitnah dan kerusakan bagi kaum wanita.
Hendaklah kaum pria dan wanita itu masing-masing bekerja dengan
cara yang baik, tidak saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya,
serta tidak membahayakan masyarakatnya.
Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang
pria boleh mengurusi wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak
adanya wanita yang bisa mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan
tetap berusaha menjauhi sumber-sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat,
dll yang bisa menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh
dilakukan jika keadaannya darurat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz,
jilid 28, hal: 103-109)
Keempat: Ada hal-hal yang perlu diperhatikan, jika istri ingin bekerja,
diantaranya:
1. Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan
dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan
luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan
oleh sesuatu yang tidak wajib.
2. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati
suaminya.
3. Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan,
memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya
kepada pria yang bukan mahrom, dll.
4. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar,
dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.
5. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari
lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan
wanita, kursus wanita, dll.
6. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam
rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan
wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang
campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan
sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan
keluarganya, atau suaminya sakit, dll.
Kelima: Jawaban pertanyaan anda sangat bergantung dengan pekerjaan dan
keadaan anda.
Apa suami mengijinkan anda untuk bekerja? Apa pekerjaan anda tidak
mengganggu tugas utama anda dalam rumah? Apa tidak ada pekerjaan yang bisa
dikerjakan dalam rumah? Jika lingkungan kerja anda sekarang keadaannya ikhtilat
(campur antara pria dan wanita), apa tidak ada pekerjaan lain yang
lingkungannya tidak ikhtilat? Jika tidak ada, apa anda sudah dalam kondisi
darurat, sehingga apabila anda tidak bekerja itu, anda akan terancam hidupnya
atau paling tidak hidup anda akan terasa berat sekali bila anda tidak bekerja?
Jika memang demikian, sudahkah anda menerapkan adab-adab islami ketika anda
keluar rumah? InsyaAllah dengan uraian kami di atas, anda bisa menjawab sendiri
pertanyaan anda.
Memang, seringkali kita butuh waktu dan step by step dalam
menerapkan syariat dalam kehidupan kita, tapi peganglah terus firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Alloh semampumu!” (QS. At-Taghabun:16)
dan firman-Nya (yang artinya):
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Jika tekadmu sudah bulat, maka tawakkal-lah kepada Alloh!”
(QS. Al Imran:159),
juga sabda Rasul –shallallahu alaihi wasallam– “Ingatlah
kepada Allah ketika dalam kemudahan, niscaya Allah akan mengingatmu ketika
dalam kesusahan!” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani), dan juga sabdanya:
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا
أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد وقال الألباني: سنده صحيح على شرط
مسلم)
“Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada
Alloh azza wajall, melainkan Alloh pasti akan memberimu ganti yang lebih baik
darinya” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani).
Terakhir: Kadang terbetik dalam benak kita, mengapa Islam terkesan
mengekang wanita?!
Inilah doktrin yang selama ini sering dijejalkan para musuh Islam,
mereka menyuarakan pembebasan wanita, padahal dibalik itu mereka ingin
menjadikan para wanita sebagai obyek nafsunya, mereka ingin bebas menikmati
keindahan wanita, dengan lebih dahulu menurunkan martabatnya, mereka ingin
merusak wanita yang teguh dengan agamanya agar mau mempertontonkan auratnya,
sebagaimana mereka telah merusak kaum wanita mereka.
Lihatlah kaum wanita di negara-negara barat, meski ada yang
terlihat mencapai posisi yang tinggi dan dihormati, tapi kebanyakan mereka
dijadikan sebagai obyek dagangan hingga harus menjual kehormatan mereka,
penghias motor dan mobil dalam lomba balap, penghias barang dagangan, pemoles
iklan-iklan di berbagai media informasi, dll. Wanita mereka dituntut untuk
berkarir padahal itu bukan kewajiban mereka, sehingga menelantarkan kewajiban
mereka untuk mengurus dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus.
Selanjutnya rusaklah tatanan kehidupan masyarakat mereka. Tidak berhenti di
sini, mereka juga ingin kaum wanita kita rusak, sebagaimana kaum wanita mereka
rusak lahir batinnya, dan diantara langkah awal menuju itu adalah dengan
mengajak kaum wanita kita -dengan berbagai cara- agar mau keluar dari rumah
mereka.
Cobalah lihat secuil pengakuan orang barat sendiri, tentang sebab
rusaknya tatanan masyarakat mereka berikut ini:
Lord Byron: “Andai para pembaca mau melihat keadaan wanita di zaman
yunani kuno, tentu anda akan dapati mereka dalam kondisi yang dipaksakan dan
menyelisihi fitrahnya, dan tentunya anda akan sepakat denganku, tentang
wajibnya menyibukkan wanita dengan tugas-tugas dalam rumah, dibarengi dengan
perbaikan gizi dan pakaiannya, dan wajibnya melarang mereka untuk campur dengan
laki-laki lain”.
Samuel Smills: “Sungguh aturan yang menyuruh wanita untuk berkarir di
tempat-tempat kerja, meski banyak menghasilkan kekayaan untuk negara, tapi
akhirnya justru menghancurkan kehidupan rumah tangga, karena hal itu merusak
tatanan rumah tangga, merobohkan sendi-sendi keluarga, dan merangsek hubungan
sosial kemasyarakatan, karena hal itu jelas akan menjauhkan istri dari suaminya,
dan menjauhkan anak-anaknya dari kerabatnya, hingga pada keadaan tertentu tidak
ada hasilnya kecuali merendahkan moral wanita, karena tugas hakiki wanita
adalah mengurus tugas rumah tangganya…”.
Dr. Iidaylin: “Sesungguhnya sebab terjadinya krisis rumah tangga di
Amerika, dan rahasia dari banyak kejahatan di masyarakat, adalah karena istri
meninggalkan rumahnya untuk meningkatkan penghasilan keluarga, hingga
meningkatlah penghasilan, tapi di sisi lain tingkat akhlak malah menurun…
Sungguh pengalaman membuktikan bahwa kembalinya wanita ke lingkungan
(keluarga)-nya adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi baru dari
kemerosotan yang mereka alami sekarang ini”. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu
Baz, jilid 1, hal: 425-426)
Lihatlah, bagaimana mereka yang obyektif mengakui imbas buruk dari
keluarnya wanita dari rumah untuk berkarir… Sungguh Islam merupakan aturan dan
syariat yang paling tepat untuk manusia, Aturan itu bukan untuk mengekang, tapi
untuk mengatur jalan hidup manusia, menuju perbaikan dan kebahagiaan dunia dan
akhirat… Islam dan pemeluknya, ibarat terapi dan tubuh manusia, Islam akan
memperbaiki keadaan pemeluknya, sebagaimana terapi akan memperbaiki tubuh
manusia… Islam dan pemeluknya, ibarat UU dan penduduk suatu negeri, Islam
mengatur dan menertibkan kehidupan manusia, sebagaimana UU juga bertujuan
demikian…
Jadi Islam tidak mengekang wanita, tapi mengatur wanita agar
hidupnya menjadi baik, selamat, tentram, dan bahagia dunia akhirat. Begitulah
cara Islam menghormati wanita, menjauhkan mereka dari pekerjaan yang
memberatkan mereka, menghidarkan mereka dari bahaya yang banyak mengancam
mereka di luar rumah, dan menjaga kehormatan mereka dari niat jahat orang yang
hidup di sekitarnya…
Sekian jawaban kami, wallahu a’lamsemoga bermanfaat
dan bisa dimengerti. wassalam.
NB: Tentang hukum mengambil pembantu, insyaAlloh akan kami jawab
di kesempatan lainnya.
Penulis: Ustadz Musyaffa’ Addariny
0 komentar:
Posting Komentar