Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
يَا
بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ
وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian
takwa itulah yang paling baik. Hal itu adalah sebagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (al-A’raf: 26)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
قَدْ
أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا
“Sungguh Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian.”
Telah terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang
makna “Kami menurunkan pakaian” dalam ayat di atas. Ada
yang berkata bahwa yang dimaksud adalah Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
hujan yang kemudian menumbuhkan kapas dan pohon katun, serta memberi
penghidupan kepada hewan-hewan yang di antaranya menghasilkan wol dan bulu-bulu
lainnya. Ada pula yang berkata, yang dimaksud “menurunkan” adalah
menurunkan sebuah pakaian bersama turunnya Adam dan Hawa untuk dijadikan contoh
bagi yang lainnya. Ada pula yang berkata, menurunkan di sini bermakna
menciptakan, seperti halnya firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَأَنزَلَ
لَكُم مِّنَ الْأَنْعَامِ ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ
“Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari
binatang ternak.” (az-Zumar: 6)
Yang dimaksud “menurunkan” di sini adalah menciptakan. Pendapat ini
diriwayatkan dari Said bin Jubair rahimahullah, dan
dikuatkan oleh para ahli tahqiq, di antaranya
ath-Thabari, al-Baghawi, dan asy-Syaukani dalam Fathul
Qadir. Beliau berkata, “Allah Subhanahu wata’ala mengungkapkan
kata menciptakan dengan menurunkan.” (Lihat Tafsir al-Qurthubi, ath-Thabari, dan Fathul Qadir)
يُوَارِي
سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا
“Menutup sau’aat kalian.”
Sau’aat adalah jamak dari sau’ah, maksudnya adalah aurat. Aurat dinamakan sau’ah, dari asal kata suu’ yang berarti buruk.
Artinya, keburukan bagi seseorang jika ia
menyingkapnya. (Tafsir al- Baghawi) چچYang dimaksud riisy di dalam
ayat ini adalah pakaian luar yang menjadi hiasan. Lafadz yang
pertama (libas) adalah pakaian
inti yang menutup aurat, sedangkan riisy adalah pakaian penyempurna
dan penghias. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Tafsir Ayat
Ayat ini menerangkan tentang salah satu kenikmatan yang
Allah Subhanahu wata’ala anugerahkan kepada para
hamba-Nya, yaitu pakaian yang menutupi aurat mereka dan melindungi tubuh mereka
dari berbagai hal yang memudaratkan, seperti dingin, panas, debu; baju besi
yang digunakan dalam pertempuran, dan lainnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَعَلَ
لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُم بَأْسَكُمْ ۚ
كَذَٰلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ
“Dan Dia jadikan bagimu pakaian yang melindungimu dari panas dan
pakaian yang melindungi kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan
nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri.” (an-Nahl: 81)
Al – Allamah as – Sa ’ di rahimahullah menerangkan,
“Allah Subhanahu wata’ala memberi kenikmatan kepada
manusia dengan memberi kemudahan kepada mereka dalam bentuk pakaian yang wajib
dan pakaian perhiasan. Demikian pula kenikmatan lainnya, seperti makanan,
minuman, kendaraan, pernikahan, dan yang lainnya. Allah Subhanahu wata’ala telah memudahkan para hamba-Nya
terkait dengan (kebutuhan) yang wajib maupun yang menjadi penyempurnanya.
Allah Subhanahu wata’ala juga menjelaskan kepada mereka
bahwa tujuan kenikmatan tersebut bukan sekadar pemberian, melainkan untuk
membantu mereka beribadah dan taat kepada-Nya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hlm.
539)
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menerangkan
ayat ini, “Allah Subhanahu wata’ala mengatakan
kepada orang-orang Arab yang jahil, yang dahulu melakukan thawaf dalam keadaan
telanjang karena mengikuti perintah setan dan meninggalkan ketaatan kepada-Nya.
Allah Subhanahu wata’ala mengingatkan mereka tentang
tipu daya setan yang membuat mereka teperdaya sehingga berhasil menguasai
mereka dengan menghilangkan kenikmatan yang menjadi pelindung mereka. Akhirnya,
mereka menampakkan dan saling memperlihatkan auratnya di antara mereka. Setan
berhasil menggiring mereka sebagaimana ia berhasil menggiring kedua orang tua
mereka, yaitu Adam dan Hawa, yang diperdaya oleh setan hingga Allah Subhanahu wata’ala menghilangkan penutup yang Dia
berikan kepada keduanya sehingga tampaklah auratnya. Mereka pun bertelanjang.”
(Tafsir ath-Thabari, 12/261)
Kewajiban Menutup Aurat
Ayat ini dijadikan dalil oleh para ulama tentang kewajiban
menutup aurat dan tidak menampakkannya. Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Mayoritas ulama
mengatakan, ayat ini adalah dalil tentang wajibnya menutup aurat. Sebab,
Allah Subhanahu wata’ala mengatakan ‘yang menutupi aurat-aurat kalian’. Ada
yang berpendapat, ayat ini tidak mengandung dalil yang menunjukkan hal itu,
tetapi hanya menjelaskan tentang pemberian nikmat. Saya (al-Qurthubi) katakan,
pendapat pertama lebih benar. Sebab, di antara bentuk kenikmatan itu adalah
menutup aurat. Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan
bahwa Dia menjadikan bagi keturunan Adam sesuatu yang dapat menutup aurat
mereka. Ini menunjukkan perintah untuk menutup aurat. Tidak ada perselisihan di
kalangan ulama tentang kewajiban menutup aurat dari pandangan manusia.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/182) Hal ini dikuatkan pula oleh
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَا
يَنْظُرُ الرَّجُلُ إلي عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ
الْمَرْأَةِ
“Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lain, dan wanita
tidak boleh melihat aurat wanita lain.” (HR.Muslim no. 338, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga
bersabda,
احْفَظْ
عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali dari istri atau budak wanitamu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu Majah, dll, dari Bahz bin Hakim bin
Muawiyah, dari ayahnya, dari kakeknya. Hadits ini
dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 203)
Tentang batasan aurat laki-laki, bagian kemaluan depan dan
belakang disepakati oleh para ulama dan tidak ada perselisihan tentangnya.
Adapun bagian paha, terjadi silang pendapat di kalangan para ulama. Yang benar,
paha termasuk aurat. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh mayoritas para ulama.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Jarhad radhiyallahu ‘anhu tatkala pahanya tersingkap,
إِنَّ
الْفَخِذَ عَوْرَةٌ
“Sesungguhnya paha itu aurat.” (HR. al-Bukhari secara ta’liq, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, dari Jarhadradhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 7906)
Pusar dan lutut tidak termasuk aurat, menurut pendapat yang
lebih kuat. Al- Imam asy-Syafi’i t mengatakan, “Pusar dan lutut tidak termasuk
aurat, menurut pendapat yang benar.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/182)
Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat dari Umair bin Ishaq yang
berkata, “Suatu ketika, aku bersama al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menemui kami lalu berkata,
‘Perlihatkan kepadaku, aku ingin mencium bagian tubuhmu yang dicium oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Al-
Hasan mengangkat gamisnya, maka Abu Hurairah mencium pusarnya.” (HR. Ahmad,
2/493, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ats-Tsamar al- Mustathab hlm. 282)
Al – Qurthubi rahimahullah berkata , “Seandainya pusar adalah
aurat, tentu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tidak
menciumnya, dan al-Hasan radhiyallahu ‘anhu pun
tidak akan mengizinkannya.” (Tafsir al-Qurthubi,
9/182)
Tentang aurat wanita di hadapan lelaki yang bukan mahram, tidak
ada perselisihan di kalangan para ulama bahwa seluruh tubuh wanita adalah
aurat, selain wajah dan telapak tangan. Yang menjadi perselisihan adalah wajah
dan telapak tangan. Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa menutup wajah hukumnya sunnah muakkadah.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan
termasuk aurat yang harus ditutup.
Yang perlu dipahami, tidak ada seorang ulama pun yang
berpendapat tidak boleh menutup wajah dan telapak tangan. Yang kuat di antara
kedua pendapat di atas adalah wajibnya menutup seluruh tubuh wanita, termasuk
wajah dan telapak tangan. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah
hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai
berikut. Ia berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati
para wanita yang pertama kali berhijrah, ketika Allah Subhanahu wata’ala menurunkan firman-Nya,
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
‘Hendaknya mereka menutupkan kerudung-kerudung mereka di atas
dada-dada mereka.’ (an-Nur: 31)
Mereka pun segera merobek kainkain sarung mereka
lalu ‘berkhimar’ dengannya.”
(HR. al-Bukhari no.4480)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan
makna ber-khimar, “Mereka
menutupi wajah mereka.” (Fathul Bari, 8/490)
Mereka yang hidup di zaman Rasulullah n
tentu lebih mengerti tentang makna dan pengamalan
ayat tersebut dibandingkan dengan generasi yang setelah mereka. Demikian pula
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah aurat. Sesungguhnya, jika ia keluar, setan
menjadikan pandangan lelaki merasa indah tertuju kepadanya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan sahih olehal-Albani
dalam Shahih al-Jami’ no. 6690)
Takwa, Pakaian Terbaik
وَلِبَاسُ
التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
“Pakaian ketakwaan itu lebih baik.”
Pakaian terbaik adalah bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan berserah diri kepada
Allah Subhanahu wata’ala, menjalankan perintah-Nya, dan
menjauhi laranga-Nya. Tanpa pakaian ketakwaan, pakaian yang membungkus tubuh
seseorang untuk memperindah dirinya tidak berarti di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Seorang penyair berkata,
إِذَا
الْمَرْءُ لَمْ يَلْبَسْ ثِيَاباً مِنَ التُّقَى تَقَلَّبَ عُرْيَاناً وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ كَاسِياً وَخَْيرُ لِبَاسِ الْمَرْءِ طَاعَةُ رَبِّهِ وَلَا خَيْرَ
فِيْمَنْ كَانَ لِلهِ عَاصِياً
Jika seseorang tidak memakai pakaian ketakwaan, dia telanjang
meskipun sedang berpakaian Sebaik-baik pakaian seseorang adalah taat kepada
Rabb-nya Dan tiada kebaikan bagi seseorang yang bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wata’ala.
Al – Allamah as – Sa ’ di rahimahullah menerangkan, “dan pakaian ketakwaan itu lebih
baik” daripada pakaian jasmani. Sebab, pakaian ketakwaan akan
selalu dikenakan oleh seorang hamba, tidak lusuh dan hancur, sehingga semakin
memperindah hati dan ruhnya. Adapun pakaian tubuh, paling bermanfaat tatkala
digunakan untuk menutupi aurat yang tampak pada waktu tertentu atau menjadi
sebuah perhiasan bagi manusia. Tidak ada lagi manfaat selain itu. Itu pun jika
seseorang tidak memiliki pakaian dan auratnya tersingkap. Itu tidak
memudaratkan baginya jika tersingkap ketika dalam keadaan terpaksa. Adapun
seseorang yang tidak memiliki pakaian ketakwaan, aurat batinnya yang akan
tersingkap sehingga ia mendapatkan kehinaan dan keburukan.” (Taisir al- Karim ar-Rahman hlm.
539)
Ada beberapa riwayat dari ulama salaf tentang makna pakaian
ketakwaan di dalam ayat ini. Ibnul Anbari rahimahullah berkata,
“Pakaian takwa adalah rasa malu.” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Yang dimaksud adalah amalan saleh.” Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rupa yang baik
pada wajah.” Ada pula yang berkata, “Apa yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan menjadi hidayah-Nya.” Urwah
bin Zubair rahimahullah berkata, “Yang
dimaksud adalah rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam rahimahullah berkata,
“Ia bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala lalu
menutup auratnya, itulah pakaian ketakwaan.” Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Semua pendapat ini
berdekatan maknanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/279)
Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan,
“Ini bisa diterapkan kepada setiap yang mengandung nilai takwa kepada
Allah Subhanahu wata’ala, sehingga termasuk di dalamnya semua
pendapat yang disebutkan.” (Fathul Qadir, 2/277)
ذَٰلِكَ
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Hal itu adalah sebagian dari tandatanda kekuasaan Allah,
mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Isim isyarat pada ayat ini (kata dzalika) kembali kepada pakaian ketakwaan yang merupakan sebaik-baik pakaian. Apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala adalah tanda-tanda
kekuasaan-Nyayang menunjukkan bahwa Dialah satusatunya Pencipta alam semesta, seperti perkataan seorang penyair,
وَفِي
كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ
Dalam segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan, Dia adalah
Dzat yang Esa
asysyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar