Afwan saya mau tanya
Apakah ketika saya ingin mengirimi uang ke seseorang misalkan
ibu saya, dan kebetulan temen saya juga butuh dollar di sini, jadi
sistimnya saya kasih dollar ke temen saya cash dan nanti setelah sampe rumah
(masih di US), temen saya baru transfer sejumlah yg saya tuker dalam bentuk
rupiah ke Rekening yg saya mau.
Jadi tidak langsung ustadz penukaran tsb, apakah ini
jatuhnya Riba ustadz?
Dan memang itu tidak ada tanda bukti ustadz, jadi ketika
saya bertemu dia, saya langsung kasih uang ke dia dan tentu saya disitu
terjadi transaksi seperti temen saya akan bilang dapatnya sekian (dgn
menyesuaikan kurs) saat kita transaksi tsb?
Bu Wiwin Houston – Texas
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada dua akad yang berbeda namun mirip. Sehingga perlu mengetahui
batasannya, agar tidak terjerumus ke dalam riba.
[1] Akad utang piutang (dain)
[2] Akad tukar menukar uang (sharf)
Kita akan melihat perbedaan aturan dan latar belakangnya.
Dalam akad utang piutang, kita dibatasi dengan aturan, tidak
boleh mengambil keuntungan apapun dari utang yang kita berikan. Fudhalah bin
Ubaid radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Semua utang yang menghasilkan manfaat statusnya riba” (HR. al-Baihaqi dalam al-Kubro, Bab al-Qardh).
Sementara batas waktu penyerahan utang, dikembalikan kepada
kesepakatan, atau sampai memungkinkan bagi yang berutang untuk
mengembalikannya. Yang penting tidak ada kelebihan yang disepakati. Sementara
masalah teknis pembayaran, bisa sesuai kesepakatan.
Misalnya, si A utang 1jt kepada si B, dalam bentuk pecahan uang 100rb
sebannyak 10 lembar. Dan akan dilunasi tahun depan.
Boleh bagi si A untuk mengembalikan dalam bentuk pecahan 50rb
sebanyak 20 lembar, atau dengan cara ditransfer atau dengan barang lain. Semua
ini sifatnya teknis. Sehingga dikembalikan kepada kesepakatan kedua pelaku
akad.
Ciri khas latar belakang akad utang adalah salah satu butuh
bantuan, sementara satunya membantu.
Kita beralih ke akad sharf (tukar menukar uang)
Aturan baku dalam transaksi sharf, dinyatakan dalam hadis dari
Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ … مِثْلاً
بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ
فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, …,
maka kuantitasnya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda
maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai.” (HR. Muslim 4147).
Berdasarkan hadis di atas, aturan tukar menukar benda ribawi
sebagai berikut,
[1] Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis,
Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Yang dimaksud
wajib tunai adalah harus ada serah terima di tempat (qabdh).
Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan
rupiah, dolar US dengan dolar US.
[2] jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih
satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai, meskipun boleh beda
kuantitas. Misal: Emas dengan perak, rupiah dengan dolar, dst.
Dan latar belakang akad sharf sama seperti latar belakang akad
jual beli pada umumnya, yaitu sama-sama butuh atau butuh pecahan, namun bukan
butuh bantuan dana.
Sebagai ilustrasi,
Si A memiliki pecahan Rp 100rb, ingin ditukar dengan pecahan Rp
20rb sebanyak 5 lembar.
Dalam hal ini, si A tidak butuh bantuan dana 100rb, karena dia
sudah punya. Namun si A, butuh uang pecahan lebih kecil.
Dalam kasus ini, transaksi si A hanya mungkin dalam bentuk
sharf, dan bukan utang piutang.
Contoh lain,
Si B punya rupiah butuh dolar, sementara si C punya dolar butuh
rupiah. Ketika si B dan si C ketemu, mereka melakukan tukar menukar uang.
Dan mereka sama-sama saling butuh. Karena itu, akadnya hanya mungkin dalam
bentuk sharf dan bukan utang.
Kasus: Bagaimana jika ada jeda?
Teman anda butuh US $, sehingga dia pinjam ke anda. Sementara
anda sendiri butuh rupiah, untuk ditransfer ke orang tua di tanah air. Apa yang
bisa dilakukan?
Pada prinsipnya, boleh melakukan akad utang piutang, dengan alat
pembayaran yang berbeda. Misalnya, utang dalam bentuk US $ dan dikembalikan
dalam bentuk rupiah.
Hanya saja, di sana ada beberapa batasan yang dinyatakan dalam
fatwa islam no. 99642
Pertama, jika syarat ini disepakati sejak awal akad, hukumnya terlarang
Misalnya, si A utang $100 ke si B dan mereka sepakat akan
dibayar dalam bentuk rupiah senilai itu, 2 bulan mendatang.
Akad semacam ini dilarang, karena hakekatnya tukar menukar dolar
namun tidak tunai. Baik dengan standar harga dolar waktu utang, maupun waktu
pelunasan.
Kedua, tidak ada kesepakatan waktu awal utang akan dilunasi dengan
mata uang yang berbeda. namun saat melunasi, yang memberi utang meminta
dikonversi ke mata uang lain, dengan standar harga saat utang.
Ini juga dilarang. Karena bisa dipastikan akan ada selisih
dan kelebihan. Dan itu termasuk riba.
Misalnya, di awal tahun 2016, si P utang Rp 10jt ke si Q
dan akan dibayar tahun depan. Uang diserahkan dan tidak ada kesepakatan akan
dikembalikan dengan mata uang yang berbeda.
Ketika jatuh tempo, si Q meminta agar dilunasi dalam bentuk
dolar, mengikuti harga waktu utang.
Jika di tahun 2016, $1 = 10 rb, dan di tahun 2017, $1 = 13
rb, berarti si Q akan mendapat $1000. Padahal $1000 jika dikonversi ke rupiah
tahun 2017, menjadi 13jt. Selisih 3 juta adalah riba utang.
Ketiga, kebalikan dari yang kedua,
Tidak ada kesepakatan waktu awal utang akan dilunasi dengan mata
uang yang berbeda, namun saat melunasi, yang memberi utang meminta dikonversi
ke mata uang lain, dengan standar harga saat pelunasan.
Ini diperbolehkan, karena tidak ada unsur riba di sana.
Misalnya, di awal tahun 2016, si P utang Rp 10jt ke si Q
dan akan dibayar tahun depan. Uang diserahkan dan tidak ada kesepakatan akan
dikembalikan dengan mata uang yang berbeda.
Ketika jatuh tempo, si Q meminta agar dilunasi dalam bentuk
dolar, mengikuti harga saat ini (waktu pelunasan).
Jika di tahun 2016, $1 = 10 rb, dan di tahun 2017, $1 = 13
rb, berarti si Q akan mendapat $770. Dan nilai ini jika dikonversi ke rupiah di
tahun yang sama akan tetap 10jt. Sehingga nilai yang diterima sama dengan nilai
yang diutangkan.
Penyelesaian Kasus
Dari kasus yang anda sampaikan, akad yang lebih mendekati adalah
akad sharf dan bukan utang. Dengan alasan,
[1] Melihat latar belakangnya, sama-sama butuh
[2] Waktu penyerahannya hanya dalam hitungan menit. Dan jarang
ada orang yang butuh bantuan utang namun akan dikembalikan beberapa menit
kemudian. Kecuali terpaksa.
Sehingga US dolar yang anda serahkan, sedang ditukar dengan
rupiah.
Dari aturan di atas, harus dilakukan tunai. Dari tangan ke
tangan, tidak boleh ada yang tertunda. Jika ada yang penundaan, statusnya riba
nasiah.
Ibnu Syihab mengisahkan, Malik bin Aus bin Al-Hadatsan
menceritakan kepadanya bahwa pada suatu hari ia perlu menukarkan uang 100 Dinar
(emas). Mengetahui keinginan ini, Thalhah bin Ubaidillah memanggilku, dan
selanjutnya kami pun bernegoisasi hingga terjadi kesepakatan untuk
tukar-menukar uang. Setelah terjadi kesepakatan, Thalhah segera mengambil
uangku dan mencermati uang Dinarku.
Lalu ia berkata, “Aku akan berikan uang tukarnya ketika
bendaharaku telah datang dari daerah al-Ghabah (satu tempat di luar Madinah
sejauh + 30 km).”
Kala itu ucapan Thalhah didengar oleh sahabat Umar (bin Al
Khatthab). Secara spontan Umar berkata kepadaku, “Janganlah engkau
meninggalkannya (Thalhah bin Ubaidillah) hingga engkau benar-benar telah
menerima pembayaran darinya.” Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ
“Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali bila dilakukan
secara ini dan ini (tunai).” (HR. Bukhari 2134)
Sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu lebih
tegas lagi menjelaskan makna tunai yang dimaksudkan pada hadis tersebut atas,
beliau mengatakan,
“Janganlah engkau menukar emas dengan emas, yang satu diserahkan
secara kontan, sementara satunya tidak kontan. Janganlah engkau menjual perak
ditukar dengan emas, salah satunya tidak kontan sedangkan yang satunya secara
kontan. Dan bila dia meminta agar engkau menantinya sejenak hingga dia masuk
rumahnya sebelum dia menyerah uang miliknya, maka janganlah sudi untuk
menantinya. Sesungguhnya aku kawatir kalian melampaui batas kehalalan, dan yang
dimaksud dengan melampaui batas kehalalan ialah riba.” (HR. Imam Malik dan
Baihaqi)
Sekalipun masa tundanya sangat pendek, hanya menunggu si A masuk
rumah untuk mengambil uangnya, oleh Umar, ini dilarang.
Anda serahkan dolar, sementara dia setelah sampai di rumah baru
transfer dalam bentuk rupiah, ini tidak diperbolehkan. Karena ada masa jeda,
dan itu menjadi sebab riba nasiah.
Solusi
Kondisikan akad yang anda sepakati untuk dilakukan di satu
tempat, antara anda dan kawan anda. Sehingga ketika anda hendak menyerahkan
dolar, anda tunggu kawan anda menyiapkan proses transfer. Seketika setelah
transfer berhasil, serahkan uang itu ke kawan anda di tempat yang sama.
Sehinga yang terjadi adalah tukar menukar dolar ke rupiah,
kemudian rupiah itu ditransfer ke rekening yang anda inginkan.
Mayoritas ulama menganggap bahwa qobdh di sini bisa terjadi
serah terima dalam bentuk certified check atau bisa dalam bentuk kertas bukti
transfer yang telah dicetak dan diterima. Atau dengan kata lain sudah diketahui
berapa mata uang yang sudah ditukar ke mata uang lain, setelah ada bukti serah
terima seperti ini, kemudian boleh ditransfer.
Ada pertanyaan yang diajukan ke Lajnah Daimah,
“Apa hukum uang yang ditransfer dari satu mata uang ke mata uang
yang lain? Misalnya saya memiliki gaji dengan mata uang Riyal Saudi dan saya
ingin mentransfer dari Riyal Sudan. Dan perlu diketahui bahwa mata uang
Riyal Saudi sama dengan 3 Riyal Sudani. Apakah transaksi semacam ini
termasuk riba?”
Jawaban Lajnah,
“Boleh mentransfer mata uang dan diterima dengan mata uang
berbeda di negara lain walau terjadi beda nilai ketika penukaran karena berbeda
jenis mata uang sebagaimana dalam contoh yang telah disebutkan dalam soal. Akan
tetapi, syarat yang mesti diperhatikan adalah harus ada qobdh (serah terima)
dalam majelis. Jika sudah ada serah terima cek atau kertas bukti pengiriman,
maka hukumnya seperti qobdh dalam majelis
(Fatwa Lajnah Ad Daimah, no. 4721)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar