Hal ini termasuk dalam firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab
yang pedih.” (Qs. Asy-Syuura: 42)
Pihak bea cukai beserta para pegawainya, baik pemungut cukai,
sekretaris, saksi, dan orang yang menimbang maupun yang menakarnya, merupakan
orang-orang yang mempermulus kezaliman. Bahkan, mereka telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Pasalnya, mereka mengambil sesuatu yang bukan menjadi
haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak. Oleh karenanya, pelaku
cukai ini tidak akan masuk surga, karena dagingnya tumbuh dari sesuatu yang
haram. Dari manakah orang yang mengambil cukai ini akan mengembalikan hak
kepada pemiliknya nanti pada hari kiamat? Jika nanti ia mempunyai kebaikan,
maka kebaikan tersebut akan diambil dan ia masuk dalam kategori sabda
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang
terdapat dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Tahukah kalian kriteria oarng yang
pailit itu?”
Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, menurut kami orang yang pailit
adalah orang tidak mempunyai dirham maupun barang lain.”
Maka, beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang merugi
dari umatku nanti adalah orang yang datang di hari kiamat dengan membawa pahala
shalat, zakat, dan puasa. (Tetapi) ia telah menghina orang ini, memukul orang
itu, dan mengambil harta orang ini. Maka, orang ini akan mengambil kebaikannya,
yang ini mengambil kebaikannya, dan yang ini juga mengambil kebaikannya. Jika
kebaikannya habis sebelum terbayar semuanya, maka dosanya akan dilemparkan
kepadanya dan akhirnya ia akan dicampakkan ke dalam Neraka.” (HR.
Muslim dan lainnya)
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Ali bin Zaid dari Hasan dari
Utsman bin Abul Ash, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dawud ‘alaihissalam adalah seorang nabi Allah
mempunyai satu waktu untuk membangunkan keluarganya, ia berkata, ‘Wahai
keluarga Dawud, bangun dan shalatlah. Karena sesungguhnya pada waktu ini Allah
akan mengabulkan doa, kecuali bagi para tukang sihir dan Al-‘Asysyar (orang
yang memungut sepersepuluh harta orang lain)’.”
Orang yang memungut cukai dapat disebut Al-‘Asysyar (orang yang
memungut sepersepuluh harta orang lain). Al-Baghawi rahimahullah berkomentar, “Yang dimaksud pelaku
cukai adalah orang yang mengambil (harta) sebagai cukai dari para pedagang yang
melewatinya dengan nama Al-Usyur atau zakat.”
Al-Hafizh Al-Mundziri juga berkomentar, “Adapun saat ini, mereka
mengambil cukai dengan nama Al-Usyur dan ada yang mengambil cuka tanpa
menggunakan nama sama sekali. Bahkan, mereka mengambilnya dengan haram dan
mereka memasukkan api ke dalam perut mereka sendiri. Hujjah mereka terbantahkan
di hadapan Rabb mereka. Bagi mereka, kemarahan Allah Ta’ala dan adzab yang
sangat pedih.”
As-Siraj Al-Balqini pernah ditanya tentang sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
لَقَدْ تَبَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَحِبُ مَكْسٍ…
“(Perempuan yang berzina itu) telah bertaubat dengan taubat yang
benar. Sekiranya pemungut cukai bertaubat dengan taubatnya (tentu Allah akan
mengampuninya)…” (HR. Muslim)
Apakah yang disebut dengan Al-Makkas (pemungut cuka) itu orang
yang sudah dikenal oleh banyak orang yang memungut cukai dari barang-barang
dagangan atau yang lainnya?
Ia menjawab, “Yang disebut Al-Makkas (pemungut cukai) adalah semua
yang berlaku seperti pemungut cukai dan semua yang melaksanakan caranya yang
keji itu. Secara eksplisit, maksud sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pemungut cukai yang dosanya sangat besar adalah pemungutnya dan juga yang
berbuat seperti perbuatannya. Dari hadits ini jelaslah, bahwa orang yang telah
memungut cukai akan diterima taubatnya. Dan, orang yang telah mengawali
perbuatan buruk akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang telah berbuat
seperti dirinya selama ia belum bertaubat. Jika ia bertaubat, maka ia tidak
mendapatkan dosa orang yang melaksanakan perbuatan seperti dirinya.”
Al-Wahidi telah menyebutkan dalam kitab Tafsir-nya tentang firman
Allah Ta’ala:
قُل لاَّيَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ…
“Katakanlah, ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik…’.”(Qs. Al-Maidah: 100)
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya khamer adalah
daganganku dan ia telah membuatku kaya. Apakah ia bisa bermanfaat untukku jika
ia aku pergunakan untuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?”
Maka, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kamu infakkan hartamu itu untuk haji, jihad, dan sedekah, maka hal itu di
sisi Allah tidak sebanding dengan satu sayap nyamuk. Sesungguhnya Allah hanya
menerima yang baik.” Kemudian, Allah Ta’ala membenarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan firman-Nya:
قُل لاَّيَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ…
“Katakanlah, ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik…’.” (Qs. Al-Maidah: 100)
Hasan Al-Bashri dan Atha’ berkomentar, “Maksudnya, halal dan
haram.”
Dalam hadits tentang seorang wanita yang telah menyucikan dirinya
dengan hukuman rajam, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“(Perempuan yang berzina itu) telah bertaubat dengan taubat yang benar.
Sekiranya pemungut cukai bertaubat dengan taubatnya tentu Allah akan
mengampuninya atau taubatnya akan diterima.” Pemungut cukai telah melakukan
kekejian yang paling menjijikan.
Dengan hadits ini, Lajnah Fatwa Saudi Arabia memutuskan tentang
keharaman bekerja sebagai pegawai pabean (pemungut cukai) dengan syarat ia
mengambil harta banyak orang secara batil. Termasuk dalam kategori ini adalah
pajak gedung-gedung pencakar langit dan pajak harta peninggalan serta bentuk
lainnya yang bertujuan mengambil harta orang lain tanpa dasar yang dibenarkan
oleh syari’at.
Sementara itu, Ibnu Abdussalam membolehkan bagi pemungut cukai dan
sekretarisnya untuk mengambil gajinya dengan niat akan mengembalikan
kepemilikannya. Kecuali bagi para ulama yang menjadi panutan orang-orang.
Karena, biasanya orang-orang tidak menenggok niat mereka.
Pembayaran cukai dan pajak tidak bisa menggantikan kewajiban
zakat. Para ulama telah mengategorikan para pemungut cukai ini sebagai pencuri
dan perampok yang ganas, bahkan lebih jelek dan keji. Para ulama menyatakan
bahwa orang yang membayar cukai dengan niat sebagai zakat adalah perbuatan yang
tercela, dan pembayaran tersebut sama sekali tidak bisa menggugurkan kewajiban
zakat. Sekarang tinggal melihat, siapakah nanti yang akan mampu mengurangi
kezaliman, keburukan, dan kerusakan ini. Sebab, meminimalisir keburukan dan
kerusakan serta memperbanyak kebaikan dan kedamaian merupakan bentuk ketaatan
kepada Allah Ta’ala, terlebih lagi di saat syariat sudah hilang dan terjadi
kerusakan setiap saat. Sebagaimana yang dilakukan raja Najasyi selalu seorang
muslim yang mampu memimpin orang-orang kafir, meskipun pada saat itu ia jauh
dari negara Islam dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun
telah memujinya dan menshalatkan jenazahnya saat ia meninggal dunia.
Sumber: Halal Haram dalam Bisnis
Kontemporer, Dr. Sa’id Abdul Azhim, Al-Qowam
0 komentar:
Posting Komentar