Bagian syukur dari nikmat
adalah dengan menampakkan nikmat tersebut secara lahiriyah. Bukan malah kita
menjadi orang pelit dan pura-pura “kere” (miskin). Kalau memang Allah beri
kelapangan rizki, nampakkanlah nikmat tersebut pada makanan dan pakaian kita.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha: 11).
Berikut beberapa pendapat
ulama mengenai ayat di atas.
Dari Abu Nadhroh, ia
berkata,
كان المسلمون يرون أن من شكر النعم أن يحدّث بها.
“Dahulu kaum muslimin
menganggap dinamakan mensyukuri nikmat adalah dengan seseorang menyiarkan
(menampakkan) nikmat tersebut.” Diriwayatkan oleh Ath Thobari dalam kitab
tafsirnya, Jaami’ Al Bayaan ‘an Ta’wili Ayyil Qur’an (24: 491).
Al Hasan bin ‘Ali berkata
mengenai ayat di atas,
ما عملت من خير فَحَدث إخوانك
“Kebaikan apa saja yang
kalian perbuat, maka siarkanlah pada saudara kalian.” Disebutkan oleh Ibnu
Katsir, dari Laits, dari seseorang, dari Al Hasan bin ‘Ali (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 14: 387).
Tentu saja nikmat atau
kebaikan disampaikan pada orang lain jika mengandung maslahat, bukan dalam
rangka menyombongkan diri dan pamer atau ingin cari muka (cari pujian, alias
“riya’ “). Lihat perkataan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam kitab
tafsirnya, “Yang dimaksud dalam ayat tersebut mencakup nikmat din (akhirat)
maupun nikmat dunia. Adapun “fahaddits” bermakna “pujilah Allah atas nikmat tersebut”. Bentuk syukur di
sini adalah dengan lisan dan disebut khusus dalam ayat, dibolehkan jika memang mengandung maslahat. Namun boleh juga
penampakkan nikmat ini secara umum (tidak hanya dengan lisan). Karena
menyebut-nyebut nikmat Allah adalah tanda seseorang bersyukur. Perbuatan
semacam ini membuat hati seseorang semakin cinta pada pemberi nikmat (yaitu
Allah Ta’ala). Itulah tabiat hati yang selalu mencintai orang yang berbuat
baik padanya.” (Taisir Al Karimir Rahman, 928)
Ulama besar dari negeri
‘Unaizah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dalam tafsir Juz ‘Amma menjelaskan,
“Tahadduts ni’mah (menyebut-nyebut
nikmat Allah) adalah dengan ditampakkan yaitu dilakukan dalam rangka syukur
kepada pemberi nikmat (yaitu Allah Ta’ala), bukan dalam rangka menyombongkan diri pada yang lain. Karena
jika hal itu dilakukan karena sombong, maka itu jadi tercela.”
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz rahimahullah memberikan penjelasan menarik tentang ayat di atas.
Beliau rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menyebut-nyebut nikmat yang Allah berikan. Nikmat itu disyukuri dengan ucapan
dan juga ditampakkan dengan amalan. Tahadduts ni’mah (menyiarkan nikmat) dalam ayat tersebut berarti seperti
seorang muslim mengatakan, “Alhamdulillah, saya dalam keadaan baik. Saya
memiliki kebaikan yang banyak. Allah memberi saya nikmat yang banyak. Aku
bersyukur pada Allah atas nikmat tersebut.”
Tidak baik seseorang
mengatakan dirinya itu miskin (fakir), tidak memiliki apa-apa. Seharusnya ia
bersyukur pada Allah dan tahadduts ni’mah (siarkan nikmat tersebut). Hendaklah ia yakin bahwa kebaikan
tersebut Allah-lah yang memberi. Jangan ia malah menyebut-nyebut dirinya itu
tidak memiliki harta dan pakaian. Janganlah mengatakan seperti itu. Namun
hendaklah ia menyiarkan nikmat yang ada, lalu ia bersyukur pada Allah Ta’ala. Jika Allah memberi pada seseorang nikmat, hendaklah ia
menampakkan nikmat tersebut dalam pakaian, makanan dan minumnya. Itulah yang
Allah suka. Jangan menampakkan diri seperti orang miskin (kere). Padahal Allah
telah memberi dan melapangkan harta. Jangan pula ia berpakaian atau mengonsumsi
makanan seperti orang kere (padahal keadaan dirinya mampu, pen). Yang
seharusnya dilakukan adalah menampakkan nikmat Allah dalam makanan, minuman dan
pakaiannya. Namun hal ini jangan dipahami bahwa kita diperintahkan untuk
berlebih-lebihan, melampaui batas dan boros.” [Majmu’ Fatawa wa Maqolaat
Mutanawwi’ah, juz ke-4, http://www.ibnbaz.org.sa/mat/32]
Semoga kita diberi taufik
untuk merealisasikan syukur kepada Allah.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh KSA
28 Dzulqo’dah 1432 H
(26/10/2011)
0 komentar:
Posting Komentar