Sebelumnya maaf, mungkin agak
menyinggung figur tertentu. Seorang ustad di TV, sedang ramai dibicarakan
masyarakat, krn mengtakan bahwa pemimpin tidak ada hubungannya dengan masalah
agama, sehingga tidak harus muslim. Sebagaimana kita naik pesawat, kan pilotnya
gak harus muslim. Mohon dibahas di konsultasi syariah. Semoga bs menjadi
rujukan bagi kami.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu
‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Tidak semua orang yang berbicara,
layak dijadikan sumber ilmu. Karena ilmu itu bagian dari agama, sehingga
mengambil sumber ilmu, berarti mengambil sumber agama.
Seorang ulama tabi’in, Muhammad
bin Sirin mengatakan,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ
دِينَكُمْ
Ilmu ini agama, karena itu,
perhatikanlah, dari mana kalian mengambil agama kalian. (HR. Muslim 26 &
ad-Darimi 427)
Karena itulah para ulama di masa
silam memahami bahwa mengambil guru, termasuk tindakan yang harus dipertanggung
jawabkan di hadapan Allah Ta’ala. Kita bisa lihat, pernyataan Imam as-Syafi’i,
ketika beliau memuji gurunya Imam Malik rahimahumallah. Beliau
mengatakan,
رضيت بمالك حجة بيني وبين الله
“Aku ridha Malik sebagai hujjah
antara aku dengan Allah.” (at-Tahdzib, 8/10)
Untuk itu, saatnya kita lebih
hati-hati dalam memilih sumber ilmu. Terlebih di zaman manusia jauh dari ilmu,
sementara media liberal lebih berkuasa mengendalikan pola pikir mereka.
Sehingga ustad yang dipilih, harus memenuhi kriteria media liberal itu. Ini
persis seperti yang pernah disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا
الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ،
وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ
“Akan datang kepada manusia
masa-masa penuh kedustaan. Pendusta dianggap jujur dan orang jujur dianggap
pendusta, pengkhianat dianggap amanat, dan orang amanat dianggap pengkhianat.” (HR. Ibnu Majah
4036 dan dishahihkan dalam Shahih al-Jami’)
Pemimpin
Seperti Pilot?
Ada banyak pengendara di sekitar
kita, ada tukang becak, sopir angkot, sopir bis, sampai sopir pesawat (pilot).
Semua ini hanya alat transportasi. Kepentingan kita hanya menumpang, sesuai
tujuan yang kita inginkan. Sehingga status semua sopir itu, BUKAN pemimpin.
Dalam istilah fiqh muamalah disebut ‘ajiir’, orang yang kita pekerjakan dengan upah
tertentu. Dan penumpang sebagai konsumennya.
Memang mereka yang mengendalikan
kendaraan. Tapi kita bisa memarahi mereka, ketika mereka teledor dalam
mengemudi. Rakyat bisa marah kepada presiden ketika Pak presiden salah, tapi
rakyat tidak bisa memarahi presiden. Marah bisa, memarahi tidak bisa.
Karena itu, sangat aneh jika
ustad menyamakan pemimpin dengan pilot. Dalam ushul fiqh disebut qiyas ma’al
fariq… analogi yang tidak nyambung.
Pilot hanyalah seorang ajiir,
orang yang diupah. Sementara pemimpin negara atau gubernur, mereka bisa
menetapkan kebijakan yang mengendalikan rakyatnya.
Semoga Allah membimbing kami dan
para dai kaum muslimin ke jalan yang benar…
Hukum
Memilih Pemimpin Kafir
Terdapat banyak dalil yang
melarang memilih orang kafir sebagai pemimpin. Diantaranya,
Firman Allah,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلًا
“Allah
tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin.” (QS. an-Nisa: 141).
Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan,
إنَّ الله سبحانه لا يَجعل للكافرين على المؤمنين سبيلاً بالشَّرع،
فإن وجد فبِخلاف الشرع
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menjadikan orang kafir
untuk menguasai kaum mukminin secara aturan syariat. Jika itu terjadi, berarti
menyimpang dari aturan syariat. (Ahkam al-Quran, 1/641)
Allahu juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah, taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.” (QS. an-Nisa: 59)
Kalimat ‘min-kum’ yang artinya
diantara kalian, maknanya adalah diantara kaum muslimin. Sehingga, mereka tidak
boleh memilih pemimpin non-muslim.
Ketika menafsirkan surat Ali
Imran ayat 118, Al-Qurthubi mengatakan,
نَهى الله المؤمنين بِهذه الآية أن يَتَّخِذوا من الكُفَّار واليهود
وأهل الأهواء دُخلاءَ ووُلَجاء يُفاوضونهم في الآراء، ويُسندون إليهم أمورَهم
Allah melarang kaum mukminin,
berdasarkan ayat ini untuk memilih orang kafir, orang yahudi, dan pengikut
aliran sesat untuk dijadikan sebagai orang dekat, orang kepercayaan.
Menyerahkan segala saran dan pemikiran kepada mereka dan menyerahkan urusan
kepada mereka. (Tafsir al-Qurthubi, 4/179).
Ulama
Sepakat, Memilih Pemimpin Kafir, Dilarang
Ulama sepakat, memilih pemimpin
kafir hukumnya terlarang.
Al-Qadhi Iyadh mengatakan,
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ
عليه الكفر انعزل
Para ulama sepakat bahwa
kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada oranng kafir. Termasuk ketika ada
pemimpin muslim yang melakukan kekufuran, maka dia harus dilengserkan. (Syarah
Sahih Muslim, an-Nawawi, 6/315).
Ibnul Mundzir mengatakan,
إنَّه قد “أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا
ولايةَ له على المسلم بِحال
Para ulama yang dikenal telah
sepakat bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum
muslimin apapun keadaannya. (Ahkam Ahlu Dzimmah, 2/787)
Al-Hafidz Ibnu Hajar bahkan
memberikan keterangan lebih sangar,
إنَّ الإمام “ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كلِّ مسلمٍ القيامُ
في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ
عليه الهجرةُ من تلك الأرض
Sesungguhnya pemimpin
dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan, dengan sepakat ulama. wajib
kaum muslimin untuk melengserkannya. Siapa yang mampu melakukan itu, maka dia
mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat
dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu.
(Fathul Bari, 13/123)
Fatwa-fatwa yang disampaikan para
ulama di atas, berdasarkan hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu,
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا
وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ
الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ
فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami berbaiat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk selalu mendengar dan taat kepada pemimpin, baik dalam
suka maupun benci, sulitan maupun mudah, dan beliau juga menandaskan kepada
kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat
kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Hanya saja, perlu diperhatikan,
untuk masalah melengserkan pemimpin non muslim, para ulama memberi catatan,
bahwa upaya itu tidak boleh dilakukan jika memberikan madharat yang besar bagi
masyarakat.
Jika upaya menggulingkan
pemerintah bisa menimbulkan madharat yang besar, menimbulkan kekacauan bahkan
banyak korban, ini jelas tidak diperkenankan.
Namun, setidaknya kalimat ini,
menjadi peringatan, kita tidak boleh memilih pemimpin yang non muslim.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur
Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar