Segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.
Mungkin ada yang menyangka
bahwa yang paling mulia adalah yang kaya harta, dari golongan konglomerat, yang
cantik rupawan, yang punya jabatan tinggi, berasal dari keturunan Arab atau
bangsawan. Namun, Allah sendiri menegaskan yang paling mulia adalah yang paling
bertakwa.
Ayat yang patut jadi
renungan saat ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Ath Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian
–wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan
menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia
dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.”
(Tafsir Ath Thobari, 21:386)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa
dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13: 169)
Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كرم الدنيا الغنى، وكرم الآخرة التقوى.
“Mulianya seseorang di dunia adalah karena kaya. Namun muliany
seseorang di akhirat karena takwanya.” Demikian dinukil dalam
tafsir Al Baghowi. (Ma’alimut Tanzil, 7: 348)
Kata Al Alusi, ayat ini
berisi larangan untuk saling berbangga dengan keturunan. Al Alusi rahimahulah berkata, “Sesungguhnya yang
paling mulia dan paling tinggi derajatnya di antara kalian di sisi Allah di
dunia maupun di akhirat adalah yang paling bertakwa. Jika kalian ingin saling
berbangga, saling berbanggalah dengan takwa (kalian).” (Ruhul Ma’ani, 19: 290)
Dalam tafsir Al Bahr Al
Muhith (10: 116) disebutkan, “Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagaimana
yang disebutkan dalam ayat (yaitu ada yang berasal dari non Arab dan ada yang
Arab). Hal ini bertujuan supaya kalian saling mengenal satu dan lainnya walau
beda keturunan. Janganlah kalian mengklaim berasal dari keturunan yang lain.
Jangan pula kalian berbangga dengan mulianya nasab bapak atau kakek kalian.
Salinglah mengklaim siapa yang paling mulia dengan takwa.”
Muhammad bin ‘Ali Asy
Syaukani rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Yang bertakwa itulah
yang berhak menyandang kemuliaan, yaitu lebih mulia dari orang yang tidak
memiliki sifat takwa. Dialah yang paling mulia dan tinggi kedudukannya (di sisi
Allah). Jadi, klaim kalian dengan saling berbangga pada nasab kalian yang
mulia, maka itu bukan menunjukkan kemuliaan. Hal itu tidak menunjukkan seseorang
lebih mulia dan memiliki kedudukan utama (di sisi Allah).” (Fathul Qodir, 7:
20)
Dalam tafsir Al Jalalain
(528) disebutkan, “Janganlah kalian saling berbangga dengan tingginya nasab
kalian. Seharusnya kalian saling berbangga manakah di antara kalian yang paling
bertakwa.”
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kalian berbeda bangsa dan suku
(ada yang Arab dan ada yang non Arab) supaya kalian saling mengenal dan
mengetahui nasab satu dan lainnya. Namun kemuliaan diukur dari takwa. Itulah yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah, yang rajin melakukan ketaatan dan
menjauhi maksiat. Standar kemuliaan (di sisi Allah) bukan dilihat dari
kekerabatan dan kaum, bukan pula dilihat dari sisi nasab yang mulia. Allah pun
Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. Allah benar-benar tahu siapa yang
bertakwa secara lahir dan batin, atau yang bertakwa secara lahiriyah
saja, namun tidak secara batin. Allah pun akan membalasnya sesuai realita yang
ada.” (Taisir Al Karimir Rahman, 802)
Banyak hadits pula yang
menyebutkan hal di atas, yaitu semulia-mulia manusia adalah yang paling
bertakwa.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ سُئِلَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ النَّاسِ أَكْرَمُ قَالَ « أَكْرَمُهُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ » . قَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ «
فَأَكْرَمُ النَّاسِ يُوسُفُ نَبِىُّ اللَّهِ ابْنُ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ نَبِىِّ
اللَّهِ ابْنِ خَلِيلِ اللَّهِ » . قَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ
« فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونِى » . قَالُوا نَعَمْ . قَالَ «
فَخِيَارُكُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوا »
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya,
“Siapakah orang yang paling mulia?” “Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di
antara mereka”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan”. “Manusia yang paling mulia adalah Yusuf, nabi Allah, anak dari Nabi
Allah, anak dari nabi Allah, anak dari kekasih-Nya”, jawab beliau. Orang tersebut berkata lagi, “Bukan itu yang kami tanyakan”. “Apa dari keturunan Arab?”, tanya beliau. Mereka
menjawab, “Iya betul”. Beliau bersabada, “Yang terbaik di antara kalian
di masa jahiliyah adalah yang terbaik dalam Islam jika dia itu fakih (paham
agama).” (HR. Bukhari no. 4689)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ
يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ».
Dari Abu Hurairah, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian. Namun
yang Allah lihat adalah hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لَهُ « انْظُرْ فَإِنَّكَ لَيْسَ بِخَيْرٍ مِنْ أَحْمَرَ وَلاَ أَسْوَدَ إِلاَّ أَنْ تَفْضُلَهُ بِتَقْوَى »
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadanya, “Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah
atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.” (HR. Ahmad,
5: 158. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari sanad lain)
Bukan kulit putih membuat
kita mulia, bukan pula karena kita keturunan darah biru, keturunan Arab, atau
anak konglomerat. Yang membuat kita mulia adalah karena takwa. Semoga pelajaran
tentang ayat yang mulia ini bermanfaat dan bisa kita renungkan serta
realisasikan. Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat.
@ Sabic Lab Riyadh KSA, 27
Dzulqo’dah 1432 H (25/10/2011)
Referensi:
1. Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, sumber kitab: Mawqi’
Tafasir.
2. Ma’alimut Tanzil, Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi,
terbitan Dar Thoyyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H
3. Ruhul Ma’ani fii Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim was Sab’il Matsanii,
Mahmud bin ‘Abdullah Al Husaini Al Alusi, sumber kitab: Mawqi’ Tafasir.
4. Tafsir Al Bahr Al Muhith, Abu Hayan Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali
bin Yusuf bin Hayyan, sumber kitab: Mawqi’ Tafasir.
5. Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As
Suyuthi, terbitan Darus Salam, cetakan kedua, 1422 H.
6. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ismail bin Katsir Ad
Dimasyqi, terbitan Muassasah Qurthubah.
7. Tafsir Ath Thobari Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an, Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Hijr.
8. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman
bin Naashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
0 komentar:
Posting Komentar