Allah itu dekat dengan hamba
ketika ia berdoa. Jadi selalu yakinlah bahwa Allah mendengar doa dan akan
mengabulkan doa tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Allah itu
Dekat
Selain ayat di atas,terdapat
dalil dalam Shahih yang menunjukkan bahwa Allah itu dekat. Dari Abu Musa, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِى تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ
عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ
“Yang kalian seru adalah Rabb
yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian daripada urat leher unta
tunggangan kalian.”
(HR. Muslim no 2704)
Dalam riwayat lainnya disebutkan
bahwa ada seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يا رسول الله : أقريب ربنا فنناجيه أم بعيد فنناديه ؟
“Wahai Rasulullah, apakah Rabb
kami itu dekat lantas cukup kami bermunajat dengan-Nya ataukah jauh sehingga
kami harus menyeru-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam dan
turunlah ayat yang kita bahas di atas. (HR. Ibnu Abi Hatim 2: 767, Ibnu Jarir,
2: 158. Di dalamnya ada perawi yang majhul -yang tidak diketahui- yaitu Ash
Shult bin Hakim bin Mu’awiyah, ia, ayah dan kakeknya majhul. Lihat tahqiq Abu
Ishaq Al Huwaini terhadap Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 63).
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Yang dimaksud Allah itu dekat yaitu Allah dekat dengan kalian dari
urat leher hewan tunggangan kalian. Namun kedekatan yang dimaksud di sini
adalah dalam do’a. Kedekatan yang dimaksud bukanlah pada setiap kedekatan.
Namun hanya ada pada sebagian keadaan. Sebagaimana disebut pula dalam hadits,
“Tempat yang seorang hamba sangat dekat dengan Rabbnya yaitu ketika ia sujud.”
Ada hadits lainnya pula yang semisal itu.” (Majmu’atul Fatawa, 5: 129).
Allah itu
Dekat, Namun Keberadaan Allah Menetap Tinggi di Atas ‘Arsy
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata dalam Al Aqidah Al Wasithiyyah,
“Kedekatan dan kebersamaan Allah
yang disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah tidaklah bertentangan dengan
ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dalam
setiap sifat-sifat-Nya. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun
tetap berada di ketinggian.”
Dalil yang menyatakan Allah
menetap tinggi di atas langit tidaklah bertentangan dengan keyakinan Allah itu
dekat. Adapun dalil-dalil yang mendukung keyakinan Allah menetap tinggi di atas
langit adalah:
Pertama: Ayat tegas yang
menyatakan Allah beristiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk
Allah yang paling tinggi dan paling besar.
Contoh ayat tersebut adalah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah.
Yang bersemayam di atas ‘Arsy .” (QS. Thaha: 5)
Kedua: Dalil yang menanyakan di
manakah Allah. Seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada seorang
budak, “Di mana Allah?” Budak itu menjawab, “Di atas langit.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budak tersebut menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia karena dia
adalah seorang mukmin.”
(HR. Muslim)
Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah
pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan
dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini
ada dua permasalahan: (1) Diperbolehkannya seseorang menanyakan, “Di manakah
Allah?” dan (2)] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas
Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia
telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H)
Ketiga: Dalil yang menyatakan
bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah
langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan
Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا
لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى
إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
“Dan berkatalah Fir’aun: “Hai
Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke
pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa
dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-37)
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan,
“Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka
itu termasuk pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah
di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” (Syarh Al
‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi , Dita’liq oleh Dr. Abdullah
bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/441, Mu’assasah Ar
Risalah, cetakan kedua, 1421 H)
Semoga bermanfaat. Hanya Allah
yang memberi taufik.
—
Akhukum fillah: Muhammad Abduh
Tuasikal
0 komentar:
Posting Komentar