Murabahah yang Sesuai Syariah
Majalah
Pengusaha Muslim: Edisi 26/April 2012
Tulisan
ini mengenai konsep murabahah yang benar-benar sesuai syariah atau menurut
fikih Isalam, bukan yang diterapkan oleh perbankan syariah kita.
Oleh
Ustad Dr. Erwandi Tarmizi
Di rubrik ini edisi
sebelumnya (No. 25/Maret 2012), telah dijelaskan pengertian, hukum dan peran murabahah menjadi
sumber pendapatan perbankan syariah, sekaligus kesalahan penerapannya. Murabahah memang
produk andalan bahkan urat nadi bank syariah. Tulisan ini memaparkan konsep murabahah yang
benar-benar sesuai syariah atau menurut tinjaun fikih.
Murabahah umumnya diadalkan nasabah untuk
mendapatkan dana talangan guna membayar kebutuhan mereka yang tidak bisa mereka
bayar secara tunai. Bahkan, bagi sebagian kalangan, murabahah hanya sekadar mengikuti tren. Fenomena
ini perlu dicermati, karena hakikat transaksi ini adalah utang bank. Padahal
berutang sangat tidak dianjurkan dalam syariat Islam, kecuali membutuhkan
barang dan mampu melunasinya. Sekali lagi, seorang muslim sangat tidak
dianjurkan membeli barang mewah secara kredit.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa kepada Allah meminta
perlindungan dari lilitan utang: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari keluh kesah dan rasa sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari
sifat bakhil dan penakut, dari lilitan utang dan laki-laki yang menindas.
Ketika ditanya kenapa berlindung dari lilitan utang, beliau menjawab, “Karena seseorang yang dililit utang, bila
berbicara ia akan berbohong dan bila berjanji ia akan memungkirinya“.
(HR. Bukhari)
Namun dalam keadaan
sangat membutuhkan, dibolehkan berutang, sebagaimana diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha,
“Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi
dengan cara tidak tunai dan memberikan baju besinya sebagai jaminan“.
(HR. Bukhari)
Dalam hadis di atas
digambarkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat hati-hati dalam berutang,
sebagai jalan terakhir bagi beliau untuk menutupi kebutahan pokoknya, yaitu
dalam rangka mendapatkan bahan makanan untuk diri dan keluarganya, bukan
untuk barang yang sejatinya hanya kebutuhan sekunder. Sungguh bertolak belakang
sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sikap sebagian umatnya yang
saat ini terlalu mudah membeli barang secara kredit.
Bila seseorang sangat
membutuhkan sebuah barang dan diperkirakan mampu melunasinya, dibolehkan
baginya membelinya dengan cara kredit,[1] sekalipun harganya lebih mahal
daripada harga pembayaran tunai bila persyaratan lain terpenuhi.
Pendapat kuat bahwa
jual-beli tidak tunai (kredit) dibolehkan dalam Islam adalah hasil keputusan
Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fikih Organisasi Kerjasama Islam/OKI) No. 51
(2/6) 1990: “Boleh melebihkan harga barang yang dijual dengan tidak tunai,
melebihi harga jual pada transaksi tunai … dan harganya dicicil dalam
jangka waktu yang ditentukan”.[2]
Hal sama juga
difatwakan Dewan Ulama Kerajaan Arab Saudi dalam fatwanya No. 1178 ketika
ditanya tentang hukum jual-beli kredit. Jawabannya: “Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba, berdasarkan firmanNya, yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba“ (QS.
Al-Baqarah: 275). Dan jual- beli kredit termasuk dalam jual beli yang
dihalalkan”.[3]
Penjelasan di atas
meninggalkan pertanyaan: apa beda antara riba dan jual-beli murabahah dalam bentuk kredit? Sekilas, memang
tidak ada beda seseorang yang diberi kredit Rp 10 juta oleh bank kemudian
melunasi kreditnya Rp 12 juta selama setahun, dengan orang yang membeli barang
melalui jasa murabahah bank Rp 12 juta (10 juta harga barang
dan Rp 2 juta sebagai margin untuk
bank) dan diangsur selama setahun. Bukankah tambahan Rp 2 juta dalam dua
transaksi itu sama-sama nilai imbalan waktu tunggu selama setahun?
Jawab: inilah alasan yang disampaikan
orang kafir jahiliyah ketika Allah mengharamkan riba. Allah menceritakan
argumen mereka dan membantah dengan firmanNya, yang artinya: “Mereka (orang kafir) berpendapat, sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Untuk memahami
perbedaan sangat mendasar antara riba dan kredit murabahah, simak
tabel berikut.
Tidak Ada Murabahah untuk Emas, Perak dan Mata Uang Asing
Di antara syarat murabahah, barang
yang menjadi objek murabahah bukan emas, perak atau mata uang.
Tidak boleh menjual emas dengan cara murabahah yang tidak tunai, karena termasuk riba ba’i. Terkait
masalah ini, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
No. 77/DSN-MUI/V/2010 yang membolehkan jual-beli murabahah emas tidak tunai tidaklah tepat. Fatwa
ini bertentangan dengan panduan perbankan syariah internasional yang dibuat
AAOIFI (Accounting and Auditing
Organization of Islamic Finance Institutions)[4] yang menyatakan dalam Bab Al Murabahah lil Amir Bisysyira’ No 2/2/6, yang berbunyi, “Jual-beli murabahah tidak
tunai tidak boleh dilakukan pada emas, atau perak, atau mata uang”.[5]
Tahapan Akad Mudharabah
Untuk berlangsungnya
akad murabahah,
ada beberapa tahap yang harus dilalui.
Tahap
pertama, nasabah datang ke bank, mengutarakan
maksudnya untuk membeli rumah dengan menjelaskan spesifikasinya serinci mungkin
dan berjanji membelinya jika bank telah membeli rumah tersebut. Ada beberapa
catatan terkait tahapan ini.
Tahap ini hanya
sebatas janji, akad jual-beli belum lagi dimulai. Kesalahan praktik pada tahap
ini adalah sebagian bank syariah langsung menuliskan akad jual-beli murabahah yang sifatnya mengikat, dan bank
dianggap telah menjual rumah dengan spesifikasi yang dijelaskan nasabah dengan
harga, laba dan tempo waktu tertentu. Bila hal ini terjadi, akad murabahah tidak
sah dan hukum jual-belinya diharamkan, karena bank melanggar larangan menjual
barang yang belum menjadi milik bank.
Karena tahap ini
hanya sekadar janji kedua belah pihak yang sifatnya tidak mengikat, pihak bank
tidak boleh meminta uang muka (down payment)
kepada nasabah. Fatwa haramnya menarik uang muka pada tahap ini dikeluarkan
oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami No: 72 (3/8) tahun 1993: “Tidak boleh memberikan
dan menerima uang muka pada tahapan janji yang dilakukan dalam transaksi
Murabahah lil âmir bisysyiraa’, dan uang muka boleh diambil pada tahapan
selanjutnya.”[6]
Untuk keabsahan murabahah yang juga disyaratkan pada tahap ini,
calon pembeli yang datang ke bank syariah tidak boleh melakukan transaksi apa
pun dengan pihak penjual pertama sebelum ia mengajukan murabahah kepada pihak bank.
Sering terjadi
kesalahan dalam praktik murabahah tahap ini. Yakni, calon pembeli rumah
yang datang ke bank sebelumnya telah melakukan transaksi dengan developer, bahkan
kadang pembeli telah membayar uang muka, baru kemudian datang ke lembaga
keuangan syariah untuk mengajukan permohonan pembiayaan murabahah.
Bila hal itu terjadi
dan kemudian bank menyetujui pembiayaan untuk nasabah, sesungguhnya akadnya
tidak berbeda dengan pinjaman uang berbunga. Hal ini disebabkan pihak bank
tidak membeli rumah dari developer. Karena oleh developer, rumah
telah dijual ke nasabah yang kemudian datang ke bank untuk mengajukan
pembiayaan. Sehingga status bank dalam hal ini hanya melunasi utang nasabah ke developer kemudian nasabah melunasi secara
kredit dengan ditambah laba. Transaksi ini sama persis dengan bank meminjamkan
uang kepada nasabah dan nasabah mengembalikannya secara angsuran ditambah
bunga. Ini jelas riba jahiliyyah.
Oleh karena itu,
dalam panduan perbankan syariah yang disusun AAOIFI disebutkan: “Harus tidak
ada ikatan transaksi apa pun antara nasabah yang mengajukan permohonan ke pihak
bank, dan pihak pihak penjual pertama … karena bila terdapat ikatan transaksi
sebelumnya sesungguhnya murabahah yang
dilakukan hakikatnya adalah pinjaman utang yang dibayar dengan berbunga”. [7]
Untuk keabsahan murabahah juga disyaratkan pada tahap ini barang
yang diinginkan calon pembeli bukan barang yang dimiliki oleh perusahaan yang
sebagian besar sahamnya dikuasai oleh calon pembeli. [8] Misal, nasabah ingin membeli rumah
mewah seharga Rp 5 milyar. Dia mengajukan murabahah ke salah satu bank syariah. Lalu bank
membeli rumah yang dipesan itu dari developer.Namun ternyata sebagian
besar saham pembangunan rumah itu dikuasai oleh nasabah. Hukum murabahah ini batal dan diharamkan karena
termasuk jual-beli ‘inah.
Hakikat dalam
transaksi tersebut adalah developer yang
sekaligus nasabah bank mendapat uang tunai Rp 5 milyar dari bank, selanjutnya
harus membayar lebih karena ditambah laba murabahah untuk
bank. Sedangkan akad jual-beli hanya di atas kertas. Ini termasuk riba dan
merupakan jual-beli ‘inah yang diharamkan.
Tahap
kedua, bank syariah
membeli barang yang dipesan nasabah. Bank membeli secara tunai. Setelah dibeli,
barang harus diterima terlebih dahulu oleh bank dan resmi menjadi milik bank,
sebelum dijual kepada nasabah.
Beberapa catatan
untuk tahapan ini antara lain.
Pertama, sering
terjadi kesalahan dalam praktik murabahah tahap ini. Yakni pihak bank syariah
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli dan menerima barang. Misal, nasabah
ingin membeli rumah seharga Rp 500 juta dengan spesifikasi tertentu, lalu bank
memberikan cek seharga rumah itu dan mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
dan menerima rumah dari developer. Pada saat yang sama bank mencatat
kewajiban nasabah membayar ke pihak bank Rp 500 juta ditambah laba yang disepakati
dengan cara angsuran dalam jangka waktu tertentu serta jumlah cicilan yang
harus dibayar.
Praktik ini rekayasa
pelegalan riba, karena bank belum memiliki rumah yang merupakan objek jual-beli murabahah. Sehingga
hakikat dalam transaksi ini, bank meminjamkan uang Rp 500 juta yang akan
dikembalikan dalam jangka waktu tertentu ditambah laba murabahah.
Transaksi ini sama dengan pinjaman uang berbunga.[9]
Kedua, kesalahan
selanjutnya dalam praktik murabahah tahap ini adalah pihak bank menjual
barang kepada nasabah tanpa terlebih dahulu menerima barang tersebut. Misal, seorang nasabah ingin
membeli mobil dengan spesifikasi yang dirincikannya. Kemudian pihak bank
menghubungi salah satu showroom via telepon dan membeli mobil secara
tunai (transfer). Setelah transaksi ini, bank sama sekali tidak menyentuh mobil
itu. Sehingga masih dalam ruangan yang sama, bank langsung menjual mobil itu
secara murabahah kepada nasabah. Sementara bank sama
sekali belum menerima mobil dari showroom. Selanjutnya nasabah
datang ke showroom tersebut dan menerima mobil yang
diinginkannya. Akad jual-beli murabahah ini fasid (rusak) dan haram. Karena bank
melanggar larangan hadis, yakni menjual barang sebelum diterima.
Sebagaimana
disebutkan dalam hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual bahan makanan yang
telah dibelinya sebelum ia menerimanya.” Seseorang bertanya kepada Ibnu
Abbas, “Kenapa dilarang? Ibnu Abbas menjawab, “Karena dirham ditukar dengan
dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan.“ (HR. Bukhari)
Kesepakatan
Harus Jelas
Untuk keabsahan
jual-beli murabahah tidak tunai, pada saat transaksi
dibuat, harga, besarnya angsuran dan jangka waktu pelunasannya harus
jelas. Di samping itu, harga harus satu, dan tidak boleh ada dua harga. Juga
tidak boleh membuat harga mengambang, di mana penjual memberikan potongan harga
yang dikaitkan dengan pelunasan angsuran. Misal, jika pembeli melunasi sebelum
jatuh tempo pelunasan maka harga akan dipotong sekian persen. Potongan harga
kredit karena pelunasan sebelum jatuh tempo hukumnya boleh, dengan syarat
pemotongan harga tidak dicantumkan dalam akad jual-beli. Bila pemotongan
dicantumkan dalam akad, hukumnya haram dan termasuk riba.
Dasar pelarangan
ketidakjelasan harga atau adanya kesepakatan potongan ini ditinjau dari
beberapa sisi. Pertama, harga menjadi tidak
jelas. Sedangkan syarat sah jual-beli harga dan barang harus jelas.
Ketidakjelasan ini diakibatkan pencantuman pemotongan harga. Ketika ditulis
dalam akad bahwa harga mobil Rp 230 juta dengan angsuran selama 23 bulan dan
jika dilunasi dalam tempo 12 bulan, diberi potongan 10 persen. Pada saat akad,
pembeli tidak dapat memastikan apakah dia mampu melunasi selama 12 bulan, yang
berarti harga mobil menjadi Rp 207 juta ataukah harus tertunda lebih lama. Bila
tidak mampu, harga mobil menjadi Rp 230 juta.
Kasus tersebut
melanggar hadis, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual-beli dalam satu
transaksi jual-beli. (HR.
Ahmad, Turmudzi dan Nasa’i dengan sanad hasan). Ini yang dimaksudkan
dengan larangan menjual dua harga, yang di dalamnya terdapat dua harga dan
tidak jelas harga mana yang disepakati oleh penjual dan pembeli di awal
transaksi.
Kedua, pencantuman potongan kredit
menyebabkan riba. Jika pembeli memilih untuk melunasi dalam 12 bulan, berarti
harga mobil menjadi Rp 207 juta. Ternyata dia tidak mampu melunasinya dalam
tempo tersebut. Dengan demikian ia terpaksa melunasinya selama 23 bulan dengan
harga Rp 230 juta rupiah. Ini sama dengan riba. Karena ketika dia tidak
mampu melunasi utangnya, ia diberi masa tangguh selama 11 bulan dengan bunga
yang harus dibayar Rp 23 juta. Ini hakikat riba jahiliyah: “beri tangguh utangku dan akan aku beri
imbala.n“[10]
Tidak Ada Denda untuk
Keterlambatan Pelunasan
Untuk keabsahan
jual-beli murabahah tidak tunai, maka tidak boleh terdapat
persyaratan sanksi denda pada saat nasabah terlambat membayar angsuran.
Keterangan ini disepakati seluruh ulama, karena denda keterlambatan merupakan
riba yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah dan
telah diharamkan Allah dalam Al-Quran. Hal ini ditegaskan oleh keputusan
Muktamar Majma’ Al-Fiqh Al-Islami No : 51 (2/6) tahun 1990, yang berbunyi:
“Apabila pembeli (barang secara tidak tunai) terlambat membayar angsuran pada
tempo yang telah ditentukan, maka tidak boleh memberikan sanksi berupa
penambahan utang; baik hal ini disyaratkan sebelumnya pada akad maupun tidak,
karena ini merupakan riba yang diharamkan.”[11]
Pelarangan sanksi penalty pada jual-beli kredit dari satu sisi
akan merugikan pihak penjual, padahal Islam tidak mungkin menjadi penyebab
kerugian. Lalu bagaimana solusi Islami untuk mengatasi terjadinya kredit macet?
Bersambung
insya Allah..
Keterangan:
[1]
Dr. Sami Suwaylim, Qadhayaa Fil Iqtishad Wat Tamwil Islami,
hal 37.
[2] Journal Islamic Fiqh Council, vol VII, jilid 2, hal 9.
[3] Fatawa lajnah daimah, jilid XIII, hal 148-149.
[4] Lembaga resmi Internasional yang menyusun Standar Operasional Prosedur lembaga keuangan syariah, beranggotakan para ulama dan pakar ekonomi Islam yang dipilih dari seluruh dewan syariah di bank-bank syariah dunia, berpusat di Bahrain, didirikan pada tahun 1991. Saat ini AAOIFI telah mengesahkan 41 standar operasional produk Lembaga Keuangan Islam. Juga telah mengeluarkan 84 standar operasional akuntansi Lembaga Keuangan Islam.
[5] Al-Ma’ayir As-Syar’iyyah, hal 93.
[6] Journal Islamic Fiqh Council, edisi VIII, jilid I, hal 641.
[7] AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 92, 103.
[8] AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 92, 103.
[9] Dr. Asy Syubaily, Fiqh Muamalat Mashrafiyyah, hal 66.
[10] Dr. Sulaiman At Turki, Bai’ Taqsith, hal 293.
[11] Journal Islamic Fiqh Council, edisi VI, jilid 1, hal 193.
[2] Journal Islamic Fiqh Council, vol VII, jilid 2, hal 9.
[3] Fatawa lajnah daimah, jilid XIII, hal 148-149.
[4] Lembaga resmi Internasional yang menyusun Standar Operasional Prosedur lembaga keuangan syariah, beranggotakan para ulama dan pakar ekonomi Islam yang dipilih dari seluruh dewan syariah di bank-bank syariah dunia, berpusat di Bahrain, didirikan pada tahun 1991. Saat ini AAOIFI telah mengesahkan 41 standar operasional produk Lembaga Keuangan Islam. Juga telah mengeluarkan 84 standar operasional akuntansi Lembaga Keuangan Islam.
[5] Al-Ma’ayir As-Syar’iyyah, hal 93.
[6] Journal Islamic Fiqh Council, edisi VIII, jilid I, hal 641.
[7] AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 92, 103.
[8] AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 92, 103.
[9] Dr. Asy Syubaily, Fiqh Muamalat Mashrafiyyah, hal 66.
[10] Dr. Sulaiman At Turki, Bai’ Taqsith, hal 293.
[11] Journal Islamic Fiqh Council, edisi VI, jilid 1, hal 193.
Solusi Islami untuk Kredit Macet
Majalah
Pengusaha Muslim: Edisi 26/April 2012
Tulisan
ini mengenai konsep murabahah yang benar-benar sesuai syariah atau menurut
fikih Isalam, bukan yang diterapkan oleh perbankan syariah kita.
Oleh
Ustad Dr. Erwandi Tarmizi
Kita akan melanjutkan
tulisan sebelumnya tentang Murabahah Sesuai Syariah, Anda bisa melihat artikel
sebelumnya disini: Panduan Murabahah yang Sesuai Syariah (Bagian 1)
Kali ini kita akan
mengulas solusi Islami untuk kredit macet. Simak:
1.
Anjuran tidak meremehkan utang. Edukasi, itulah kata kuncinya.
Setiap muslim diimbau tidak menganggap remeh utang. Setiap muslim diimbau untuk
memperkirakan kemampuan finansialnya ketika hendak membeli produk tertentu.
Bila persyaratan tidak terpenuhi, dia termasuk orang berutang, sementara tidak
ada keinginan melunasi utangnya. Orang ini terkena ancaman Allah yang
disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang berutang dan dia bertekad untuk
membayarnya niscaya Allah akan memudahkannya untuk melunasi utangnya. Dan siapa
yang berutang tidak bertekad untuk membayar utangnya niscaya Allah akan
membinasakannya.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al Haitamy
dalam bukunya Az-Zawajir mengategorikan perbuatan itu termasuk
salah satu dosa besar. Ia berkata, “Dosa besar ke-205: berutang dengan niat
tidak melunasi utangnya, atau ada niat untuk membayar namun tidak ada harapan,
mampu melunasi hutangnya karena saat berutang dia telah memperkirakan tidak ada
harta yang dia miliki yang dapat melunasi utangnya, sementara dia berutang juga
bukan untuk keperluan yang bersifat darurat, serta pihak pemberi hutang tidak
mengetahui keadaan peminjam”.[1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengancam orang yang mampu
melunasi utangnya dan sudah jatuh tempo, namun sengaja menunda pelunasan dengan
berbagai alasan, orang ini pantas diberikan hukuman. Para ulama menjelaskan
maksud hukumannya adalah hukuman penjara hingga dia melunasi utangnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penundaan
pelunasan utang oleh orang yang mampu merupakan kezaliman, dibolehkan
menjatuhkan hukuman (penjara) kepadanya dan dibolehkan mencemarkan nama baiknya
(seperti dimasukkan dalam daftar hitam perbankan).” (HR. Bukhari)
2.
Harus ada jaminan. Sebagai tindakan pencegahan,
pihak pemberi kredit dianjurkan untuk meminta barang jaminan atau orang
jaminan. Bila utang terlambat dilunasi, bank bisa menjual barang jaminan atau
menagih utang kepada pihak penjamin untuk melunasinya.
Bagaimana jika tidak
mampu memberikan barang atau orang sebagai jaminan? Solusi yang
diterapkan beberapa bank syariah adalah meminta barang yang dijual sebagai
barang gadaian, dengan cara surat-surat resmi kepemilikan barang dipegang bank.
Hanya saja, pembeli bebas menggunakan barang. Selanjutnya bank syariah membuat
perjanjian dengan pembeli bahwa jika dia terlambat membayar angsuran kewajiban,
maka seluruh sisa angsuran menjadi tunai dan barang disita oleh bank, karena
statusnya sebagai barang gadai. Bank menjual barang itu untuk menutupi sisa
seluruh angsuran. Lalu sisa uang penjualan barang setelah pelunasan utang
dikembalikan kepada pembeli.
Sebagai ilustrasi, i
A membeli motor seharga Rp 10 juta melalui transaksi murabahah dengan bank. Melihat kondisi ekonomi
A, bank meminta agar motor digadaikan di bank, sebagai jaminan selama pelunasan
angsuran. Bank membawa semua surat penting motor tersebut. Setelah diangsur Rp
5 juta, kredit macet. Bank kemudian menjual motor itu, dan laku Rp 7 juta. Pada
kasus ini, bank boleh mengambil Rp 5 juta, dan sisanya, Rp 2 juta diserahkan ke
A.
Solusi tersebut
dibenarkan dalam Islam dan disetujui oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dengan
keputusan No. 51 (2/6) tahun 1990, yang menyatakan: “Dibolehkan penjual kredit
mensyaratkan jatuh tempo seluruh angsuran sebelum waktunya ketika pembeli
terlambat melunasi sebagian angsuran, selama pembeli menyetujui persyaratan ini
saat transaksi dilakukan. Penjual boleh mensyaratkan kepada pembeli agar barang
yang dibelinya menjadi barang gadai sebagai jaminan agar pembeli tidak
terlambat melunasi angsuran. [2]
Demikian juga
keputusan No. 64 (2/7) 1992, menyatakan, “Penjual dan pembeli (kredit) boleh
membuat kesepakatan bahwa keseluruhan angsuran menjadi jatuh temponya pada saat
pembeli enggan memenuhi kewajiban bayar salah satu angsuran. Selama pembeli
bukanlah orang yang mu’sir (yaitu: jatuh pailit).”[3]
Hukum menggadaikan
barang yang telah dibeli kepada penjual hingga pembayaran lunas merupakan
pendapat jumhur para
ulama; dari mazhab Abu Hanifah, Malik serta pendapat yang terkuat dari mazhab
Syafi’i dan Hanbali serta didukung oleh keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami.
Ibnul Qayyim berkata,
“Barang yang telah dijual (tidak tunai), lalu
penjual mensyaratkan barang tersebut untuk digadaikan hingga lunas pembayaran
barang … dalam hal ini tidak ada larangan yang membatalkan persyaratan ini …
para ulama sepakat jika disyaratkan yang menjadi barang gadaian atas utang
kredit adalah barang lain hukum persyaratannya boleh … maka begitu juga
hukumnya jika disyaratkan sebagai barang gadaian atas utang kredit barang yang
dibeli (tidak tunai). “[4]
Selain Majma’ Al-Fiqh
Al-Islami, AAOIFI juga membolehkan kesepakatan menjual barang objek mubahah
yang digadaikan untuk pelunasan kredit macet. Dalam panduan perbankan
syariah internasional dinyatakan, “Boleh membuat persyaratan bahwa seluruh sisa
angsuran menjadi tunai apabila kreditur yang mampu, sengaja lambat membayar
kewajiban, dan sebaiknya sanksi ini tidak diterapkan sebelum memberikan
peringatan tertulis kepada kreditur minimal dua minggu setelah keterlambatan
pelunasan kewajiban”[5].
Solusi ini juga
pernah diutarakan oleh Ibnu Qayyim. Beliau mengatakan, “Jika penjual kredit
khawatir bahwa pembeli tidak memenuhi kewajibannya pada setiap angsuran yang
telah disepakati maka solusinya: ia dapat membuat persyaratan bahwa bila jatuh
tempo salah satu angsuran dan pembeli tidak melunasinya maka sisa angsuran
menjadi tunai, dengan demikian ia dapat menuntut pembeli untuk melunasi seluruh
sisa angsuran saat itu juga.”[6]
Dalil solusi ini adalah
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang-orang
Islam itu memenuhi perjanjian (persyaratan) yang mereka buat, kecuali
perjanjian mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR.
Tirmizi. Hadis ini dishahihkan
Al-Albani).
Dalam solusi ini,
jika kedua belah pihak telah setuju akan persyaratan ini maka keduanya wajib
memenuhi persyaratan yang telah disepakati.
Catatan: Perlu diingat, jika sanksi ini
diterapkan, pihak penjual wajib mengurangi nilai harga yang disepakati dari
awal, berdasarkan waktu jatuh tempo yang lebih awal, karena harga awal adalah
harga yang disepakati sesuai dengan lama waktu angsuran. Sebagaimana kewajiban
pembayaran dikurangi karena pembeli membayar lebih awal, yang juga berlaku
dalam kasus ini. Bila tidak, penjual telah mengambil harta pembeli tanpa ada
imbalan, hal ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Misal, A membeli rumah
secara kredit seharga Rp 300 juta dengan masa angsuran 10 tahun. Harga tunai
rumah tersebut hanya sekitar Rp 200 juta. Laba per tahun Rp 10 juta. Jika A
terlambat melunasi angsuran pada akhir tahun ke-5, pembayaran seluruh sisa
angsuran menjadi jatuh tempo saat itu juga. Selanjutnya harga rumah dihitung
ulang: Rp 250 juta = Rp 300 juta – Rp 50 juta (laba 5 tahun ke depan yang
dibatalkan). Harga rumah yang awalnya Rp 300 juta, ketika jatuh tempo di tengah
pelunasan menjadi Rp 250 juta. Karena keuntungan Rp 50 juta yang seharusnya
dibayarkan 5 tahun kemudian tidak bisa dibayarkan.
Bila nasabah dari
awal telah mengikuti petunjuk Islam. Tetapi, malang tak dapat ditolak mujur tak
dapat diraih, dia terkena musibah barang yang dia beli secara kredit raib, dan
dia tidak mampu melunasi utangnya, maka tidak ada pilihan lain bagi bank selain
bersabar hingga nasabah mampu melunasi utangnya. Allah berfirman yang artinya,
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 280)
Itulah solusi yang
diberikan Islam untuk mengatasi kredit macet. Sungguh, solusi yang sangat mulia
dan manusiawi. Ini berbeda dengan tindakan zalim bank, yang malah
melipat-gandakan nominal utang bagi orang yang sedang kesulitan. Semoga Allah
memperbaiki kondisi masyarakat.***
Resume:
1. Islam
sangat tidak menganjurkan masyarakat berutang
2. Berutang
hukumnya boleh, dengan 2 syarat:
§
Hanya ketika kondisi darurat, misalnya untuk memenuhi
kebutuhan pokok.
§
Memiliki penghasilan tetap, sehingga diprediksi mampu
melunasinya.
3. Jual
beli secara kredit, hukumnya dibolehkan menurut pendapat yang kuat. Ini
merupakan pendapat Lembaga Fatwa Saudi dan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami
4. Transaksi
kredit tidak sama dengan transaksi riba. Diantara perbedaannya adalah
§
Hakekat riba adalah tambahan dalam utang piutang uang,
sedangkan hakekat keuntungan kredit adalah keuntungan dalam jual beli barang,
yang itu menjadi hak penjual untuk menentukannya.
§
Bunga utang berasal dari pembiayaan uang, sedangkan
keuntungan kredit berasal dari hasil penjualan barang.
§
Dalam akad riba, tidak ada perputaran uang. Dalam
transaksi kredit, uang diputar untuk membeli barang, kemudian dijual lagi
secara kredit.
5. Tidak
boleh ada murabahah secara kredit untuk emas, perak, dan
mata uang asing. Karena transaksi tiga benda ini harus dilakukan secara tunai.
6. Tahapan
akad murabahah ada dua:
§
tahap I: nasabah datang ke bank dan menawarkan diri
untuk murabahah
§
tahap II: bank membeli barang ke penjual pertama,
sesuai pesanan nasabah
7. Catatan
untuk tahap pertama; nasabah datang ke bank:
§
Tahap ini, akad antara nasabah dengan bank hanya
sebatas janji, bukan transaksi jual beli. Konsekuensinya:
2. Bank
tidak boleh mencatat transaksi ini sebagai transaksi jual beli secara
mudharabah. Karena berarti bank telah menjual barang yang tidak dia miliki.
3. Bank
tidak boleh meminta uang muka kepada nasabah. Karena janji ini bukan transaksi
jual beli.
§
Pada tahap ini, nasabah tidak boleh mendatangi penjual
pertama untuk melakukan transaksi jual beli barang. Apalagi dengan memberikan
uang muka, kemudian nasabah meminta bank melunasi sisanya. Karena hakekat
transaksi semacam ini, nasabah pinjam uang ke bank, sementara dia harus
membayar lebih. Dan ini murni riba
§
Barang yang menjadi objek murabah, bukan barang yang
dimiliki nasabah. Karena jika ini terjadi maka akad yang dilakukan adalah bai’
‘inah (jual beli ‘inah) dan itu statusnya haram.
8. Catatan
untuk tahapan kedua; bank membeli barang ke penjual pertama.
§
Bank harus membeli barang itu sendiri, tidak boleh
mewakilkan ke nasabah, dan harus atas nama bank. Jika bank hanya menyerahkan
cek, kemudian meminta nasabah untuk membeli sendiri barang tersebut maka ini
statusnya sama dengan mengakali transaksi riba. Karena hakekatnya bank
meminjamkan uang ke nasabah.
§
Bank tidak boleh menjual barang tersebut ke nasabah
sebelum sepenuhnya dimiliki bank. Karena itu, harus ada serah terima antara
penjual pertama dengan bank. Jika belum ada serah terima, kemudian bank
langsung menjual ke nasabah maka bank melanggar larangan hadis menjual barang
sebelum diterima.
9. Pada
akad murabahah,
hanya boleh menggunakan satu harga dengan jangka waktu yang jelas.
Konsekuensinya:
§
Tidak boleh menyebutkan adanya potongan di awal
transaksi, untuk pelunasan sebelum jatuh tempo
§
Menyebutkan adanya potongan di awal transaksi, untuk
pelunasan sebelum jatuh tempo, melanggar larangan hadis, menjual dengan dua
harga
§
Boleh memberikan potongan untuk pelunasan sebelum
jatuh tempo, dengan syarat tidak disebutkan di awal akad.
10. Tidak
boleh ada denda untuk penundaan pelunasan, dengan sepakat ulama, meskipun dana
ini nantinya disalurkan untuk qardhul hasan.
11. Solusi
untuk kredit macet:
§
Memberi edukasi kepada kaum muslimin agar tidak
meremehkan masalah utang.
§
Harus ada jaminan. Jaminan bisa berupa barang, atau
orang, atau bahkan barang yang menjadi objek murabahah.
12. Para
ulama membolehkan menggunakan jaminan barang yang menjadi objek transaksi murabahah. Ini
merupakan pendapat Imam Ibnul Qoyim, dan menjadi keputusan resmi Majma’ Al-Fiqh
Al-Islami, serta AAOIFI, lembaga ekonomi syariah sedunia.
13. Bentuk
menggunakan barang objek transaksi murabahah sebagai jaminan, ilustrasinya seperti
berikut: Nasabah membeli rumah melalui transaksi murabahah dengan bank seharga 200 juta.
Selanjutnya masing-masing sepakat, rumah ini menjadi jaminan selama pelunasan.
Jika nasabah tidak mampu melunasi sebelum jatuh tempo maka cicilan dianggap
lunas. Setelah mencicil 150 juta, nasabah tidak mampu melanjutkan pelunasan.
Bank menjual rumah itu seharga 210 juta. Selanjutnya, bank mengambil 50 juta
dan sisanya (160 juta) dikembalikan ke nasabah.
14. Jika
kenaikan harga barang bersifat linier, sesuai lama jatuh tempo maka ketika
barang jaminan hendak dijual, harga beli barang pada bank harus disesuaikan.
Dipotong berdasarkan potongan laba untuk bank.
15. Jika
barang yang dijual melalui murabahah hilang atau rusak maka tidak ada
pilihan lain bagi bank, selain bersabar memberi kesempatan nasabah untuk
melunasi utangnya sampai lunas, tanpa ada paksaan.
16. Solusi
kredit macet dalam islam adalah solusi yang sangat manusiawi, tidak seperti
kedzaliman bank yang melipat-gandakan nominal utang, di tengah himpitan kondisi
ekonomi nasabah.
Keterangan:
[1] Az-Zawajir, jilid 1, hal 410.
[2] Journal Islamic Fiqh Council, vol VI, jilid I, hal 193.
[3] Journal Islamic Fiqh Council, vol VII, jilid II, hal 9.
[4] I’lamul muwaqqi’in, jilid IV, hal 33.
[5] Al ma’ayir Asy Syar’iyyah, hal 26.
[6] I’lamul muwaqqi’in, jilid IV, hal 33.
[2] Journal Islamic Fiqh Council, vol VI, jilid I, hal 193.
[3] Journal Islamic Fiqh Council, vol VII, jilid II, hal 9.
[4] I’lamul muwaqqi’in, jilid IV, hal 33.
[5] Al ma’ayir Asy Syar’iyyah, hal 26.
[6] I’lamul muwaqqi’in, jilid IV, hal 33.
0 komentar:
Posting Komentar