Assalamu’alaikum wr wb,
mohon penjelasannya bagaimana
jika seorang perempuan yang sudah berusia matang lebih memilih untuk hidup
melajang, dengan alasan belum merasa siap menikah dan khawatir berlebihan tidak
mampu menjadi pasangan yang baik dan mampu bersikap ikhlas bagi pasangannya
kelak, apakah hukumnya secara syariat Islam jika seorang muslimah bersikap
demikian, saya mohon penjelasannya, jazakallah khairan
wassalamu’alaikum wr wb
Dari: Akhwat berinisial E.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam
Alhamdulillah was shalatu was
salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Allah berfirman,
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ
بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ
Dan para wanita tua yang telah
terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah, tidaklah berdosa
menanggalkan pakaian luar mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan aurat,
dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka (QS. An-Nur: 60)
Kemudian, dalam sebuah hadis,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan daftar orang yang mati
syahid, di luar medan jihad. Diantaranya,
وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهَادَةٌ
”Wanita yang mati dalam keadaan
jum’in, termasuk mati syahid.” (HR. Ibnu Majah 2803, dan
dishahihkan al-Albani).
Diantara makna ’mati dalam
keadaan jum’in’ mati dalam keadaan masih gadis. Sebagaimana keterangan
al-Hafidz Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam Fathul Bari (6/43).
Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam
kitabnya al-Muhalla menegaskan bahwa menikah hukumnya wajib bagi para pemuda.
Akan tetapi beliau mengecualikan kewajiban itu bagi wanita. beliau menegaskan
bahwa wanita tidak wajib menikah. Dua dalil di atas, menjadi alasan beliau
untuk mendukung pendapatnya. Setelah membahas hukum nikah bagi pemuda, Beliau
menegaskan,
وليس ذلك فرضا على النساء، لقول الله تعالى عز وجل: {والقواعد من
النساء اللاتي لا يرجون نكاحا}، وللخبر الثابت عن رسول الله صلى الله عليه وآله
وسلم… فيها: والمرأة تموت بجمع شهيدة» . قال أبو محمد: وهي التي تموت في نفاسها،
والتي تموت بكرا لم تطمث.
“Menikah tidak wajib bagi wanita.
berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari
haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah’ dan berdasarkan hadis shahih
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan, ‘Wanita yang
mati dalam keadaan jum’in, dia mati syahid’. Abu Muhammad (Ibnu Hazm)
mengatakan, Yaitu wanita yang mati ketika nifas atau yang mati ketika masih
gadis, yang belum digauli.” (al-Muhalla, 9/5).
Pendapat Ibnu Hazm ini dikuatkan
oleh Syaikh Mustofa al-Adawi – seorang ulama ahli hadis d Mesir –. Dalam buku
beliau, Jami’ Ahkam an-Nisa (kumpulan hukum tentang wanita), beliau menegaskan,
لا يجب على النساء أن يتزوجن، وذلك لأنني لا أعلم دليلا صريحا يوجب
عليها ذلك
“Tidak wajib bagi wanita untuk
menikah, karena saya tidak menjumpai adanya dalil tegas yang menunjukkan
kesimpulan wajibnya menikah bagi mereka.” (Jami’ Ahkam an-Nisa, 5/287).
Kemudian Syaikh Musthofa
menyebutkan dalil yang menguatkan pendapat beliau, sebuah hadis dari Abu Sa’id
al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau
menceritakan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِابْنَةٍ لَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ ابْنَتِي قَدْ
أَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: “أَطِيعِي أَبَاكِ” فَقَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا
أَتَزَوَّجُ حَتَّى تُخْبِرَنِي مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ؟ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ
أَنْ لَوْ كَانَتْ قَرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ”. قَالَتْ:
وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا تَنْكِحُوهُنَّ إِلَّا بإذنهن”
Ada seorang sahabat yang datang
menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama putrinya. ‘Putriku ini menolak
untuk menikah.’ Kata orang itu.
Nasehat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ’Taati bapakmu.’
”Demi Dzat yang mengutus anda
dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah sampai anda sampaikan
kepadaku, apa hak suami yang menjadi kewajiban istrinya?” tanya si wanita.
Si wanita itupun mengulang-ulang
pertanyaannya.
Sabda beliau, ”Hak suami
yang menjadi kewajiban istrinya, bahwa andaikan ada luka di badan suami,
kemudian dia jilati luka itu, dia belum memenuhi seluruh haknya.”
” Demi Dzat yang mengutus anda
dengan membawa kebenaran, saya tidak akan menikah selamanya.”
Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah
kalian menikahkan putri kalian, kecuali dengan izin mereka.” (HR. Ibnu Hibban 4164, Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf 17122, al-Hakim dalam Mustadrak 2767, ad-Darimi dalam
Sunannya 3571. Hadis ini dinilai hasan Syuaib al-Arnauth)
Anda bisa perhatikan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak
menyalahkan perkataan wanita tersebut, yang bersumpah tidak akan menikah
selamanya. Menunjukkan bahwa prinsip itu tidaklah bertentangan dengan syariat.
Boleh bukan Berarti Dianjurkan
Boleh bukan berarti dianjurkan.
Karena secara umum, bagi seluruh kaum muslimin, menikah jauh lebih baik dari
pada melajang. Ada sejuta manfaat dan kebaikan yang didapatkan seseorang
melalui jalan menikah. Manfaat dunia dan akhirat. Dalam al-Quran menceritakan
tentan para rasul-Nya, bahwa diantara ciri mereka adalah memiliki istri dan
keluarga,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ
أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
Sungguh Aku telah mengutus banyak
rasul sebelum kamu, dan Aku jadikan untuk mereka, istri dan keluarga…(QS. Ar-Ra’du: 38).
Kita memahami, sifat terpuji yang
dimiliki para rasul sangat banyak. Karena mereka adalah manusia pilihan yang
Allah tunjuk sebagai utusannya. Segala kelebihan dzahir dan batin ada pada
mereka. Baik yang diceritakan dalam al-Quran maupun yang tidak diceritakan.
Terlebih ciri dan sifat yang diceritakan yang disebutkan dalam al-Quran,
umumnya memiliki nilai yang lebih istimewa, atau setidaknya bisa dijadikan
panutan bagi manusia lainnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim,
bahwa Sa’d bin Hisyam pernah menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha dan berkata,
“Saya ingin melajang sampai mati.” Seketika itu, Aisyah langsung menyanggah,
لَا تَفْعَلْ، أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: وَلَقَدْ أَرْسَلْنا
رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنا لَهُمْ أَزْواجاً وَذُرِّيَّةً
“Jangan kau lakukan. Tidakkah kau
mendengar firman Allah (yang artinya), ‘Sungguh Aku telah mengutus banyak rasul
sebelum kamu, dan Aku jadikan untuk mereka, istri dan keluarga…’.” (Fathul
Qadir, 3/106).
Meskipun semuanya akan memberikan
konsekuensi, yang manis maupun pahit. Karena semua pilihan dalam hidup pasti mengandung
manfaat sekaligus resiko. Namun bagi muslim yang sabar, segala bentuk resiko
itu, justru akan menjadi sumber pahala baginya.
·
Repotnya istri melayani suami, menjadi sumber pahala
baginya.
·
Muncul konflik keluarga, bisa menjadi penghapus dosa
jika disikapi dengan benar.
·
Repotnya sang ibu ketika hamil dan melahirkan, menjadi
sumber pahala baginya.
·
Repotnya sang ibu mengurus anak, menjadi sumber pahala
baginya.
·
Karena semua kesedihan yang dialami muslim, tidak akan
disia-siakan oleh Allah,
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ
وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا
كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidak ada satu musibah yang
menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang
lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah
jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar