Antara rasa harap (roghbah) dan takut (rohbah) ….
Saudaraku -yang semoga selalu ditunjuki kepada ketaatan-. Allah
telah mengisahkan tentang Zakaria dalam firman-Nya,
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى
رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ (89)
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا
وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (90)
”Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya
Tuhanku janganlah Engkau membiarkan Aku hidup seorang diri (tanpa keturunan,
pen) dan Engkaulah waris yang paling baik. Maka kami memperkenankan doanya, dan
kami anugerahkan kepadanya Yahya dan kami jadikan isterinya dapat mengandung.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami
dengan harap (rogbah) dan cemas (rohbah) dan mereka adalah orang-orang
yang khusyu’ kepada kami”. (QS. Al Anbiyaa’: 89-90).
Dari ayat ini, Allah mengisahkan tentang Zakaria, istrinya dan
Yahya yang selalu bersegera dalam melakukan ketaatan dan mendekatkan diri pada
Allah. Allah memuji mereka karena mereka berdoa kepada Allah dengan mengharap
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, serta dengan merendahkan diri kepada-Nya.
Mereka menyembah Allah dengan berbagai bentuk ibadah tersebut. (Lihat Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakar Jabir
Al Jazairi). Maka saudaraku, perhatikanlah dalam ayat yang mulia ini, Allah
mensifati para hambanya yang ikhlas yaitu yang beribadah dan berdo’a kepada-Nya
dengan rasa harap dan cemas (rogbah dan rohbah) serta merendahkan diri (khusyu’) kepada-Nya.
Pengertian Rogbah dan Rohbah
Makna rogbah adalah meminta, merendahkan diri, dan mengharap sepenuh
hati dengan penuh kecintaan yang mengantarkan kepada sesuatu yang dicintai.
Sedangkan makna rohbah adalah takut yang menyebabkan seseorang menjauh dari
sesuatu yang ditakuti. (Lihat Hushulul Ma’mu bisyarhi
Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdullah bin Sholih Al Fauzan).
Rogbah memiliki makna yang hampir sama dengan roja’. Namun keduanya memiliki perbedaan. Roja’ adalah menginginkan (hanya sekedar keinginan)
sedangkan rogbahadalah usaha untuk mendapatkan yang diinginkan, namun belum bisa
dipastikan keinginannya itu tercapai. (Lihat Madarijus Salikin Juz kedua, Imam Ibnul Qoyyim).
Jadi, rogbah adalah rasa harap yang lebih khusus dari roja’ dan rohbah adalah rasa takut/cemas yang lebih khusus dari khouf. (Lihat Syarhu Kitaab Tsalatsatil
Ushul,Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh)
Ibadah Dibangun di atas Rasa Harap (Rogbah) dan Rasa Takut (Rohbah)
Syaikh Sholih Alu Syaikh hafidzohullah mengatakan,”Jika kalian memperhatikan dan merenungkan keadaan
kaum musyrikin di sekeliling sesembahan mereka dan keadaan penyembah kubur di
sisi kuburan, maka kalian akan mendapati mereka dalam keadaan khusyu’. Mereka
tidak pernah melakukan ibadah di kuburan tersebut sebagaimana di rumah Allah
(masjid) -yang tidak memiliki kubur maupun kubah-. Di sisi kuburan tersebut,
mereka begitu takut (rohbah) dan begitu menaruh harapan (rogbah). Mereka juga khusyu’ dan tuma’ninah (tenang), tanpa ada gerakan dari anggota badan maupun
jiwa, bahkan mereka sampai takut melirik ke kanan kiri. Perbuatan seperti ini
tidaklah boleh ditujukan kecuali pada Allah Ta’ala semata. Karena setiap muslim tatkala shalat telah menegakkan
ibadahnya dengan ibadahrogbah dan rohbah. Sebagaimana tersirat dari surat Al Fatihah (surat yang minimal
17 kali dibaca setiap harinya, pen) pada firman-Nya:”Ar Rohmanir Rohiim (Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)”. Ini menunjukkan bahwa ibadah dibuka dengan rasa harap (rogbah) dan firman-Nya:”Maliki yaumiddiin (Yang menguasai di hari pembalasan)”. Ini menunjukkan bahwa ibadah dimulai dengan rasa cemas/takut
kepada Allah (rohbah). Jadi, ibadah itu dibangun atas dua unsur yaitu rogbah (harap) dan rohbah(cemas/takut).” (Lihat Syarhu Kitaab Tsalatsatil Ushul)
Rasa Harap dan Takut Para Ulama
Saudaraku –yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala-,
lihatlah bagaimana kisah ulama terdahulu yang begitu khawatir keimanannya akan
hilang yaitu Sufyan Ats Tsauri tatkala menemui ajalnya di sisi Abdurrahman bin
Mahdi. Sufyan di saat itu merasakan beratnya kematian dan tiba-tiba menangis.
Kemudian seseorang berkata kepada beliau, ”Wahai Abu Abdillah (yaitu nama
kunyah Sufyan Ats Tsauri, pen), saya melihat Engkau merasa punya banyak dosa?”
Kemudian Sufyan mengambil segenggam tanah dan berkata, ”Sungguh, menurutku
dosaku lebih ringan dari tanah ini, hanya saja aku takut jika tiba-tiba imanku
berbalik sebelum datang kematianku.”
Perhatikan pula saudaraku bagaimana rasa harap yang dicontohkan
oleh ulama kita terdahulu (para salaf). Rasa harap ini banyak mereka perkuat
ketika mendekati ajal yaitu di saat mereka merasa takut akan su’ul khotimah (akhir kehidupan yang jelek). Lihatlah Yahya bin Mu’adz
berkata, ”Sungguh aku harap keselamatan dari yang memberiku pakaian ketika
hidup di dunia agar tidak menyiksaku setelah matiku. Sungguh aku mengetahui
bahwa kemurahan adalah bentuk kasih sayang-Nya.” (LihatAl Khouf dan Ar Roja’, Abdullah bin Sulaiman
Al ’Atiq, Penerbit At Tibyan).
Mengendalikan Rasa Harap dan Cemas
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin –semoga Allah merahmati
beliau- berkata,”Ulama berselisih pendapat manakah yang harus seseorang
dahulukan, rasa harap (roja’) ataukah rasa takut/cemas (khouf)?”
Beliau melanjutkan, “Menurutku dalam masalah ini
berbeda-beda tergantung kondisi masing-masing. Apabila seseorang lebih
mendominasikan rasa takut sehingga menyebabkan putus asa dari rahmat Allah,
maka hendaknya ia segera memulihkan dan menyeimbangkannya dengan rasa harap.
Namun apabila ia lebih mendominasikan rasa harap sehingga menjadikannya merasa
aman dari makar Allah, maka hendaknya dipulihkan dan segera didominasi dengan
rasa takut. Pada hakikatnya, setiap orang adalah dokter bagi dirinya sendiri,
jika hatinya itu memang hidup. Adapun pemilik hati yang mati yang tidak dapat
disembuhkan dan tidak pula dapat dilihat kondisinya, maka bagaimana pun cara
yang ditempuh, tetap tidak akan sembuh.” (Diringkas dari Fatawal Aqidah wa Arkaanil Islam)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat (Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya
segala kebaikan menjadi sempurna).
Tulisan di masa silam, telah dimuat di Buletin
Dakwah At Tauhid yang disebar setiap Jumatnya di sekitar kampus UGM
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar