Alhamdulillah,
segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Perekonomian
yang tumbuh dan berkembang adalah harapan setiap insan karena dengannya
kesejahteraan dapat terwujud. Bila kesejahteraan telah terwujud, maka
kebahagiaan hidup dunia dengan mudah menjadi milik Anda.
Beraneka
ragam cara dan kiat ditempuh umat manusia guna mewujudkan cita-cita indah ini.
Di antara mereka ada yang memulai dari jaur industri, ada yang dari jalur
pertanian, peternakan, dan lainnya. Di antara mereka ada yang menempuh jalur
yang lurus nan bersih, namun banyak pula yang menghalalkan segala macam cara
tanpa peduli dengan berbagai nilai-nilai agama ataupun budaya yang berlaku di
masyarakat.
Di
antara cara keji yang sering ditempuh sebagian orang demi melipatgandakan
kekayaannya ialah dengan menjadi lintah darat. Mereka menduga bahwa dengan cara
tersebut harta dapat berlipat ganda dan akhirnya kesuksesan dunia menjadi
nyata. Mereka lupa bahwa sejarah telah membuktikan bahwa cara-cara haram
tersebut hanyalah menjadi awal dari nestapa.
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya, pada
akhirnya akan menjadi sedikit.”
Hukum
Riba
Riba
adalah salah satu hal yang diharamkan dalam syariat Islam. Banyak dalil yang
menunjukkan akan keharamannya dan menutup celah terjadinya riba.
Ayat
berikut salah satu dalil yang nyata-nyata menegaskan akan keharamannya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)
Ibnu
Katsir berkata, “Allah Ta’ala melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman dari praktik dan memakan riba yang senantiasa
berlipat ganda. Dahulu, di zaman jahiliah, bila piutang telah jatuh tempo, maka
kreditur berkata kepada debitur, ‘Lunasi utangmu atau bayar riba. Bila debitur
tidak melunasinya, maka kreditur menunda tagihan dengan kompensasi debitur
menambah jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja
piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda hingga beberapa kali lipat.”
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba. Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan)’ dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan
selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
sholih, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka (pula) mereka bersedih hati.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba),maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
(QS. Al Baqarah: 275-280)
Kelima
ayat ini merupakan larangan sekaligus ancaman berat bagi pemakan riba. Pada
kelima ayat ini terdapat berbagai petunjuk kuat lagi tegas bagi keharaman riba:
Pertama:
Pemakan riba dihinakan di hadapan seluruh makhluk, ketika ia dibangkitkan dari
kuburannya. Ia dibangkitkan dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan
bagaikan orang gila. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
“Pemakan riba akan dibangkitkan dari kuburannya dalam keadaan gila dan
tercekik.”
Penjelasan
yang senada dengan ini juga disampaikan oleh Sa’id bin Jubair, Qatadah, dan
Ibnu Zaid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam
Tafsir-nya.
Kedua:
Ancaman bagi pemakan riba padahal telah datang kepadanya penjelasan, akan
dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekadar masuk ke dalamnya, melainkan “ia
kekal di dalamnya.”
Adanya
ancaman berupa adzab neraka atau hukuman di dunia adalah bukti bahwa perbuatan
tersebut adalah dosa besar.
Ketiga:
Penegasan bahwa Alah memusnahkan riba. Ibnu Katsir berkata, “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan
riba. Maksudnya bisa saja memusnahkannya secara keseleuruhan dari tangan
pemiliknya atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut.
Dengan demikian, pemilik riba tidak dapat menikmati harta hasil ribanya. Bahkan
bisa jadi Allah membinasakannya dengan harta tersebut dalam kehidupan dunia.
Dan kelak di akhirat Allah akan menyiksanya akibat harta tersebut.
Pemakan
riba mendapat siksa begitu berat dikarenakan ulahnya mencerminkan bahwa ia
tidak rela dengan pembagian Allah. Allah telah mengizinkannya untuk menempuh
jalan-jalan halal dalam mencari rezeki, namun ia merasa tidak puas dengan
syariat Allah sehingga ia berusaha mengeruk harta orang lain dengan cara-cara
yang batil lagi buruk. Ini semua wujud nyata dari sikap ingkar terhadap
berbagai nikmat, keji, dan rakus merampas harta orang lain.
Keempat:
Allah Ta’ala mengumumkan peperangan dengan orang-orang
yang enggan meninggalka riba.
Sahabat
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
“Kelak pada hari kiamat, dikatakan kepada pemakan riba, ‘Ambillah senjatamu
untuk berperang (melawan Allah dan Rasul-Nya)’.”
Masih
banyak lagi kandungan ayat-ayat di atas yang membuktikan akan bahanya praktik
riba. Dan agar Anda semakin memahami tentang betapa besarnya dosa riba, maka
saya mengajak Anda untuk merenungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“(Dosa)
riba itu memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan ialah semsial
dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya
riba yang paling besar ialah seseorang melanggar kehormatan/harga diri
saudaranya.”
Macam–macam Riba
Para
ulama menyebutkan riba secara umum terbagai dua macam:
1. Riba
Nasi’ah/Penundaan (Riba Jahiliah)
Yaitu
riba (tambahan) yang terjadi karena adanya pembayaran yang tertunda pada akad
tukar-menukar dua barang yang tergolong ke dalam komoditas riba, baik satu
jenis atau berlainan jenis.
Riba
jenis ini dapat terjadi pada akad perniagaan, sebagaimana dapat juga terjadi
pada akad utang-piutang.
Contoh
riba nasi’ah dalam perniagaan:
–
Menukarkan emas bagus/baru dengan emas yang lama yang sama beratnya, tetapi
emas yang bagus/baru dapat diterimakan setelah satu bulan dari waktu transaksi
dilaksanakan.
–
Bila A menukarkan uang kertas pecahan Rp100.000,00 dengan pecahan Rp1000,00
kepada B. Namun, pada waktu akad penukaran, B hanya membawa 50 lembar uang
pecahan Rp1000,00. Sisanya baru dapat ia serahkan setelah satu jam dari saat
terjadinya akad penukaran. Perbuatan mereka berdua ini disebut dengan riba
nasi’ah.
Keterangan
lebih lanjut tentang riba nasi’ah pada perniagaan bisa Anda dapatkan pada
pembahasan riba jenis kedua, yaitu riba fadhl, dikarenakan hubungan yang erat
antara keduanya.
Contoh
riba nasi’ah dalam akad utang-piutang:
A
berutang uang sejumlah Rp1.000.000,00 kepada B, dengan tempo satu bulan. Ketika
jatuh tempo, A belum mampu melunasinya, maka B menunda tagihannya dengan syarat
A membayar bunga atau pinalti atas keterlambatannya ini. Atau, bisa jadi B
sedari awal mensyaratkan agar A memberikan tambahan ketika pelunasan.
Al-Mujahid
berkata, “Dahulu orang-orang jahiliah bila ada orang yang berutang kepada
seseorang (yang telah jatuh tempo dan belum mampu melunasinya) ia berkata,
‘Engkau akan kuberi demikian dan demikian, dengan syarat engkau menunda
tagiahanmu, maka pemberi piutang pun menunda tagihannya’.”
Abu
Bakr al-Jashosh berkata, “Dan gambaran riba yang dahulu dikenal dan dijalankan
oleh orang-orang Arab ialah: Memiutangkan uang dirham atau dinar hingga tempo
tertentu dengan mensyaratkan bunga/tambahan di atas jumlah uang yang terutang
sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak, dan gambaran transaksi riba yang
biasa mereka lakukan ialah seperti yang saya sebutkan, yaitu memiutangkan uang
dirham atau dinar dalam jatuh tempo waktu tertentu dengan mensyaratkan
tambahan/bunga.”
Inilah
riba yang ada sejak zaman jahiliah, bahkan jauh hari sebelum datang Islam.
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi. Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161)
Riba
jenis inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
khotbah beliau di Padang Arafah, ketika beliau menunaikan haji Wada:
“Seluruh riba jahiliah dihapuskan, dan riba pertama yang aku
hapuskan ialah riba kami (kabilah kami) yaitu riba Abbas bin Abdul Muththolib,
sesungguhnya ribanya dihapuskan semua.” (Riwayat Imam Muslim hadis
no. 3009)
Penambahan
pada akad utang-piutang diharamkan karena akad ini termasuk akad sosial.
Idealnya, akad sosial hanya bertujuan menolong dan mengulurkan tangan kepada
orang yang membutuhkan bantuan. Namun, bila ternyata kreditur memungut
keuntungan, maka ia bagaikan musang berbulu domba –mengesankan sebagai
penolong- walau sebenarnya ia sedang menuruti ambisi haus akan harta kekayaan.
Akibatnya, ia tega menjadikan kesusahan orang lain sebagai ajang mengeruk
keuntungan.
1. Riba
Fadhel (Riba Penambahan)/Riba Perniagaan
Sahabat
Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu meriwayatkan
dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual
dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma
dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) sama
dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Barang siapa yang menambah atau
meminta tambahan maka ia telah berbuat riba.” (HR. Muslim)
Para
ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditas tersebut pada hadis di atas
adalah komoditas yang berlaku padanya hukum riba perniagaan (riba fadhl).
Sebagai
konsekuensinya tidak boleh diperjualbelikan dengan cara barter (tukar-menukar
barang) melainkan dengan ketentuan yang telah disebutkan pula, yaitu:
Pertama,
Barter barang sejenis, misalnya: emas ditukar dengan emas atau gandum dengan
gandum, maka harus memenuhi dua persyaratan:
1. Transaksi
dilakukan dengan cara kontan. Kedua barang diserahterimakan langsung pada saat
terjadi akad transaksi, dan tanpa ada yang ditunda sedikit pun.
2. Barang
yang dibarterkan harus sama jumlah dan takarannya. Misalnya satu ons emas hanya
boleh ditukar dengan satu ons emas, tidak ada yang dilebihkan walau keduanya berbeda
kualitas.
Solusi
aman bagi orang yang hendak menukarkan perhiasan emasnya dengan perhiasan baru,
adalah dengan menjual perhiasan lama dengan uang tunai atau barang. Setelah
menerima uang atau barang tersebut. Anda membeli perhiasan emas baru yang Anda
inginkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Juallah kurma yang biasa dengan uang dirham, kemudian dengan uang
dirham tersebut belilah kurma dengan mutu terbaik tersebut.”
(Bukhari hadis no. 2089 dan Muslim hadis n. 1593)
Kedua:
Bila barter dilakukan antara dua barang yang berbeda jenis, misalnya gandum
dibarterkan dengan garam, emas dengan perak, maka boleh terjadi perbedaan
timbangan walaupun serah terima barang harus dilakukan dengan cara kontan. Hal
ini berdasarkan saba Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan
perak, gandum ditukar dengan gandum, gandum
kasar ditukar dengan gandum kasar, kurma ditukar dengan
kurma, dan garam ditukar dengan garam, sama dengan sama dan (dibayar dengan)
kontan. Bila macam/jenis barang berbeda, maka silakan engkau membarterkannya
dengan cara sesuka hatimu, bila hal itu dilakukan dengan cara kontan.”
(HR. Muslim)
Adapun
selain enam komoditas tersebut, maka para ulama berselisih pendapat. Pendapat
yang paling kuat ialah pendapat kebanyakan ulama yang menyatakan: Hukum riba
perniagaan berlaku pula pada komoditas lain yang semakna dengan keenam
komoditas tersebut.
Adan
alasan pemersatu antara keenam komidtas ini dengan lainnya ialah sebagai
berikut:
1. Emas
dan perak karena keduanya adalah emas dan perak, yang biasa sebagai standar
nilai kekayaan dan alat transaksi.
2. Sedangkan
pada keempat komoditas lainnya ialah karena keempat komoditas tersebut
merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang.
Pemahaman
ini dkuatkan oleh hadis:
Sahabat
Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu menuturkan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
penjualan emas dengan emas baik berupa batangan atau berupa mata uang dinar
melainkan dengan cara yang sama timbangannya, dan perak dengan perak baik
berupa batangan atau telah menjadi mata uang dirham melainkan dengan cara yang
sama timbangannya. Dan beliau juga menyebutkan perihal penjualan gandum dengan
gandun, kurma dengan kurma, garam dengan garam dengan cara takarannya sama.
Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.”
(Riwayat An Nasai hadis no. 4564)
Dan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut
ini:
“Bahan makanan (dijual) dengan bahan makanan harus sama dengan sama.”
(Riwayat Muslim hadis no. 1592)
Dengan
menggabungkan beberapa dalil di atas dan juga lainnya, dapat disimpulkan bahwa
status keempat komoditas tersebut sebagai bahan makanan yang ditakar atau
ditimbang merupakan alasan berlakunya hukum riba perniagaan padanya. Dengan
demikian setiap bahan makanan yang diperjualbelikan dengan cara ditimbang atau
ditakar, berlaku padanya hukum riba perniagaan.
Penutup
Saudaraku!
Harta kekayaan dunia hanyalah sarana Anda menggapai kedamaian hidup di dunia.
Karenanya, tidak sepantasnya cinta terhadap kekayaan menjadikan Anda terperdaya
sehingga melanggar syariat Allah. Harta adalah sarana Anda mencapai kebahagiaan
bukan sebaliknya. Anda menggadaikan kebahagiaan Anda demi mendapatkan harta
kekayaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga sengsara pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (pemuja harta
kekayaan –pen.), bila ia diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia
menjadi benci, semoga ia menjadi sengsara dan semakin sengsara (bak jatuh
tertimpa tangga, -pent.) dan bila ia tertusuk duri semoga tiada yang kuasa
mencabut duri itu darinya.” (Riwayat Bukhari hadis no. 2730)
Semoga
paparan yang singkat ini menggugah iman kita sehingga bertambah wasapada
terhadap praktik-praktik riba. Wallahu Ta’alaa’lam.
Sumber:
Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Ke-11 1432 H
Artikel www.PengusahaMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar