Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad keluarga dan sahabatnya.
Melanjutkan pembahasan makanan yang diharamkan dalam Al Quran,
juga pembahasan anjing yang masih diragukan keharamannya, sekarang kita akan
melihat beberapa hewan yang diharamkan lagi dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami harap
para pembaca sekalian bisa tetap menyimak dua pembahasan sebelumnya.
Semoga bermanfaat.
Pertama: Keledai piaraan (jinak)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa keledai jinak itu haram untuk
dimakan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Anas bin Malik,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ
جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتْ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتْ
الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ
فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ
“Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di konsumsi. ” Selang beberapa
saat orang tersebut datang lagi sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di
konsumsi.” Setelah beberapa saat orang tersebut datang lagi seraya berkata,
“Keledai telah binasa.” Maka beliau memerintahkan seseorang untuk menyeru di
tengah-tengah manusia,sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian
mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu najis.” Oleh karena itu,
mereka menumpahkan periuk yang di gunakan untuk memasak daging tersebut.” (HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940)
Sedangkan keledai liar itu halal untuk dimakan dan hal ini telah
menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya pun memakannya, sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai
hal ini. Abu Qotadah menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – خَرَجَ حَاجًّا ، فَخَرَجُوا مَعَهُ فَصَرَفَ طَائِفَةً مِنْهُمْ
، فِيهِمْ أَبُو قَتَادَةَ فَقَالَ خُذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ حَتَّى نَلْتَقِىَ .
فَأَخَذُوا سَاحِلَ الْبَحْرِ ، فَلَمَّا انْصَرَفُوا أَحْرَمُوا كُلُّهُمْ إِلاَّ
أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ، فَبَيْنَمَا هُمْ يَسِيرُونَ إِذْ رَأَوْا حُمُرَ
وَحْشٍ ، فَحَمَلَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَى الْحُمُرِ ، فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا ،
فَنَزَلُوا فَأَكَلُوا مِنْ لَحْمِهَا ، وَقَالُوا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ
وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِ الأَتَانِ ، فَلَمَّا
أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ،
إِنَّا كُنَّا أَحْرَمْنَا وَقَدْ كَانَ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ ،
فَرَأَيْنَا حُمُرَ وَحْشٍ فَحَمَلَ عَلَيْهَا أَبُو قَتَادَةَ ، فَعَقَرَ مِنْهَا
أَتَانًا ، فَنَزَلْنَا فَأَكَلْنَا مِنْ لَحْمِهَا ثُمَّ قُلْنَا أَنَأْكُلُ
لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِىَ مِنْ لَحْمِهَا .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama mereka (para
sahabat) berangkat untuk menunaikan haji. Lalu sebagian rombongan ada yang
berpisah, di antaranya adalah Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
kepada rombongan ini: “Ambillah jalan menyusuri tepi pantai hingga kita
bertemu”. Maka mereka mengambil jalan di tepian pantai. Ketika mereka hendak
berangkat, semua anggota rambongan itu berihram kecuali Abu Qatadah. Ketika
mereka sedang berjalan, mereka melihat ada seeokor keledai liar. Maka Abu
Qatadah menghampiri keledai itu lalu menyembelihnya yang sebagian dagingnya
dibawa ke hadapan kami. Maka mereka berhenti lalu memakan daging keledai
tersebut. Sebagian dari mereka ada yang berkata: “Apakah kita boleh memakan
daging hewan buruan padahal kita sedang berihram?”. Maka kami bawa sisa daging
tersebut. Ketika mereka berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami sedang berihram sedangkan Abu
Qatadah tidak. Lalu kami melihat ada
keledai-keledai liar kemudian Abu Qatadah menangkapnya lalu
menyembelihnya kemudian sebagian dagingnya dibawa kepada kami, lalu kami
berhenti dan memakan dari daging tersebut kemudian diantara kami ada yang
berkata: “Apakah kita boleh memakan daging hewan buruan padahal kita sedang
berihram?”. Lalu kami bawa sisa dagingnya itu kemari”. Beliau bertanya: “Apakah
ada seseorang diantara kalian yang sedang berihram menyuruh Abu Qatadah untuk
memburunya atau memberi isyarat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Tidak ada”. Maka
Beliau bersabda: “Makanlah sisa daging yang ada itu”.” (HR. Bukhari no. 1824
dan Muslim no. 1196)
Bolehkah mengkonsumsi daging kuda?
Boleh mengkonsumsi kuda sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ
الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ
“Ketika perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang makan daging keledai jinak dan membolehkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)
Kedua: Binatang buas yang bertaring
Setiap hewan yang bertaring dan digunakan untuk menyerang
mangsanya, terserah apakah hewan tersebut liar (seperti singa, serigala, macann
tutul,dan macan kumbang) atau piaraan (seperti anjing dan kucing rumahan) haram
untuk dimakan. Hal ini terlarang berdasarkan hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap
hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ
ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap
binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk
mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan memiliki taring–menurut
ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[1]
Bolehkah makan daging buaya?
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari mengatakan,
وَمِنْ الْمُسْتَثْنَى أَيْضًا
التِّمْسَاح لِكَوْنِهِ يَعْدُو بِنَابِهِ
“Termasuk hewan yang dikecualikan dari kehalalan untuk dimakan
adalah buaya karena ia memiliki taring untuk menyerang mangsanya.”[2]
Imam Ahmad mengatakan,
يُؤْكَلُ كُلُّ مَا فِي الْبَحْرِ إِلَّا الضُّفْدَعَ وَالتِّمْسَاحَ
Bolehkah makan daging kelinci?
Jawabannya, kelinci tidaklah termasuk hewan yang diharamkan
karena kelinci tidak memiliki taring yang digunakan untuk menyerang mangsanya.
Hal ini dikuatkan pula oleh riwayat dari Anas,
أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا وَنَحْنُ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ ، فَسَعَى الْقَوْمُ فَلَغَبُوا ، فَأَخَذْتُهَا فَجِئْتُ بِهَا إِلَى أَبِى طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا ، فَبَعَثَ بِوَرِكَيْهَا – أَوْ قَالَ بِفَخِذَيْهَا – إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَبِلَهَا
“Kami pernah disibukkan untuk menangkap kelinci di lembah Marru
Azh-Zhohran, orang-orang berusaha menangkapnya hingga mereka keletihan.
Kemudian aku bisa menangkapnya lalu aku bawa menghadap Abu Tholhah. Maka dia
menyembelihnya kemudian dikirim daging paha depannya atau paha belakangnya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau menerimanya.”
(HR. Bukhari no. 5535 dan Muslim no. 1953)
Ketiga: Setiap burung yang bercakar
Setiap burung yang bercakar dan cakarnya ini digunakan untuk
menyerang mangsanya (seperti burung elang), maka haram untuk dimakan. Dalilnya
adalah hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ
ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap
binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk
mencengkeram.”( HR. Muslim no. 1934) Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Yang
dimaksud dengan mikhlab (cakar) adalah cakar yang digunakan untuk memotong dan
merobek seperti pada burung nasar dan burung elang.”[4] Artinya di sini, syarat diharamkan burung yang bercakar
adalah apabila cakarnya digunakan untuk menerkam atau menyerang mangsanya. Oleh
karena itu, ayam jago, burung pipit, dan burung merpati tidak termasuk yang diharamkan.
Keempat: Hewan jalalah
Hewan jalalah adalah hewan (seperti unta, sapi, kambing atau ikan) yang
mengkonsumsi yang najis –atau mayoritas konsumsinya najis-. Para ulama katakan
bahwa daging atau susu dari hewan jalalah tidak boleh dikonsumsi. Yang
berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad (dalam salah satu pendapatnya)
dan Ibnu Hazm. Dasar pelarangan hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari
mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu Daud no. 3785 dan At Tirmidzi no. 1824. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hewan al jalalah bisa dikonsumsi lagi apabila bau-bau najisnya
hilang setelah diberi konsumsi makanan yang bersih, inilah pendapat yang
shahih. Ada riwayat dari para salaf, di antara mereka memberikan rentan waktu
hewan al jalalah tadi diberi makan yang bersih-bersih sehingga bisa halal
dimakan kembali. Ada riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu ‘Umar,
أَنَّهُ كَانَ يَحْبِس الدَّجَاجَة الْجَلَّالَة ثَلَاثًا
“Ibnu ‘Umar mengkarantina (memberi makan yang bersih-bersih)
pada ayam jalalah selama tiga hari.” Dikeluarkan pula oleh All Baihaqi
dengan sanad yang bermasalahdari ‘Abdullah bin ‘Amr secara
marfu’ (dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang menyatakan bahwa hewan al
jalalah tidaklah dikonsumsi sampai hewan tersebut diberi makan yang bersih
selama 40 hari. –Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[5]–
Hewan jalalah ini juga bisa terdapat pada ikan seperti lele yang
biasa diberi pakan berupa kotoran tinja. Jika diketahui demikian, sudah
seharusnya ikan semacam itu tidak dikonsumsi kecuali jika ikan tersebut kembali
diberi pakan yang bersih-bersih.Wallahu a’lam.
Kelima: Setiap hewan yang diperintahkan oleh syari’at untuk
dibunuh
Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh, maka ia haram untuk
dimakan. Hewan-hewan tersebut adalah tikus, kalajengking, burung gagak, al
hadaya (mirip burung gagak), anjing (yang suka menggigit), ular, dan tokek.
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى
الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ،
وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika
sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak
dan kalb aqur (anjing galak).” (HR.
Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)
An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam
bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari
perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik
karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan
yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan
bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang
diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.”[6]
Sedangkan yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang
dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa
(penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah
yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy
Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[7]
Hewan yang digolongkan hewan fasik dan juga diperintahkan untuk
dibunuh adalah cecak atau tokek. Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi
Waqqosh, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh
tokek, beliau menyebut hewan ini dengan hewan yang fasik” (HR. Muslim no. 2238). An Nawawi membawakan hadits ini
dalam Shahih Muslim dengan judul Bab
“Dianjurkannya membunuh cecak.”
Dari Ummu Syarik –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata,
عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ « كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
membunuh cecak. Beliau bersabda, “Dahulu cecak ikut membantu meniup api (untuk
membakar) Ibrahim ‘alaihis salam.” (HR. Bukhari no. 3359)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
“Barang siapa yang membunuh cecak sekali pukul, maka dituliskan
baginya pahala seratus kebaikan, dan barang siapa memukulnya lagi, maka baginya
pahala yang kurang dari pahala pertama. Dan barang siapa memukulnya lagi, maka
baginya pahala lebih kurang dari yang kedua.” (HR.
Muslim no. 2240)
Keenam: Setiap hewan yang dilarang oleh syari’at untuk dibunuh
Hewan yang dilarang untuk dibunuh, maka ia dilarang untuk
dikonsumsi karena jika dilarang untuk dibunuh berarti dilarang untuk
disembelih. Lalu bagaimana mungkin seperti ini dikatakan boleh dimakan.
Hewan-hewan tersebut adalah semut, lebah, burung hudhud, burung shurod
(kepalanya besar, perutnya putih, punggungnya hijau dan katanya biasa memangsa
burung pipit), dan katak.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ
وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh empat
binatang: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.” (HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1/332.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman, ia berkata,
أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا.
“Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3/453. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Khottobi mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan bahwa katak itu haram dikonsumsi dan ia tidak termasuk hewan air
yang dibolehkan untuk dikonsumsi.”[8] Imam Ahmad mengatakan, “Setiap hewan yang hidup di air
boleh dimakan kecuali katak dan buaya.”[9]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Segala hewan yang dilarang
untuk dibunuh disebabkan karena dua alasan. Pertama, karena hewan tersebut
adalah terhormat (seperti semut dan lebah, pen) sebagaimana manusia. Kedua,
boleh jadi pula karena alasan daging hewan tersebut haram untuk dimakan seperti
pada burung Shurod, burung Hudhud dan semacamnya.”[10]
Semoga bermanfaat.
Diselesaikan di rumah mertua tercinta, di hari penuh barokah,
Jumat, 2 Jumadil Ula 1431 H (16/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi,
13/83, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/619, Darul
Ma’rifah, Beirut, 1379
[3] Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Abul ‘Alaa
Al Mubarakfuri, 1/189, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah
[4] Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Muhammad Syamsul Haq Al
‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 10/198, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua,
tahun 1415 H
[5] Fathul Bari, 9/648
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114.
[7] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115.
[8] Aunul Ma’bud, 10/252
[9] Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Abul ‘Alaa
Al Mubarakfuri, 1/189, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah
[10] Idem.
0 komentar:
Posting Komentar