Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
[1] Saya ingin bertanya kepada redaksi Al Furqon sebagai
berikut:
Bagaimana hukum bekerja sebagai pegawai negeri, karena sumber dana pemerintah selain dari dana halal juga dari dana yang tidak jelas seperti pariwisata, pajak? Apakah ada perincian lagi, kalau instasi pajak atau pariwisata tidak boleh tapi instasi lain boleh? Apakah kita termasuk wala’ (loyalitas –red) kepada taghut jika kita bekerja di sana?
[2] Apakah ikhtilat (campur baur lawan jenis –red) di tempat kerja dapat dikatakan darurat karena hampir di semua tempat kita sulit menghindarinya?
Bagaimana hukum bekerja sebagai pegawai negeri, karena sumber dana pemerintah selain dari dana halal juga dari dana yang tidak jelas seperti pariwisata, pajak? Apakah ada perincian lagi, kalau instasi pajak atau pariwisata tidak boleh tapi instasi lain boleh? Apakah kita termasuk wala’ (loyalitas –red) kepada taghut jika kita bekerja di sana?
[2] Apakah ikhtilat (campur baur lawan jenis –red) di tempat kerja dapat dikatakan darurat karena hampir di semua tempat kita sulit menghindarinya?
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullahi wa Barakatuh.
Jawaban: [1]
Dalam soal pertama ini ada tiga permasalahan penting yang
membutuhkan keterangan yang jelas, apalagi pada zaman sekarang, dimana
mayoritas manusia begitu ambisi mengejar dunia dan acuh terhadap hukum-hukum
agama sehingga tidak memperdulikan lagi apakah pekerjaan yang dia geluti selama
ini diridhai oleh Allah ataukah tidak. Kita memohon kepada Allah bimbingan dan petunjuk
untuk menjawab masalah penting ini dengan jawaban yang diridhai-Nya dan
memberikan rizki yang halal kepada kita serta menjauhkan kita semua dari rizki
yang haram. Amiin.
A. Hukum Bekerja Sebagai Pegawai Negeri
Sebelum kita memasuki inti permasalahan, ada baiknya kita
memahami beberapa point penting berikut:
(1). Syari’at Islam menganjurkan kepada kita untuk bekerja dan
memberikan kebebasan kepada kita dalam memilih pekerjaan apa saja selagi
pekerjaan tersebut halal.
Demikian ditegaskan oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/425, Al-Muru’ah
wa Khowarimuha 205, Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ سُئِلَ : أَيُّ
الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi pernah ditanya: Pekerjaan
apakah yang paling baik? Beliau menjawab: “Pekerjaan seorang dengan tangannya
sendiri dan setiap perdagangan yang baik.” (Shahih li Ghairihi.
Riwayat Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar2/83/1257)
عَنِ الْمِقْدَامِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَا أَكَلَ أَحَدٌ
طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ
دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Miqdam dari Nabi bahwa beliau bersabda: “Tidaklah
seorang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari hasil tangannya
sendiri, dan adalah Nabiyullah Dawud makan dari hasil pekerjaannya sendiri.” (HR.
Bukhari 2076)
(2). Dan juga
berdasarkan kaidah berharga “Asal dalam muamalat adalah boleh dan halal.”
Oleh karenanya, apabila kita membaca sirah para salaf, niscaya
akan kita dapati bahwa mereka berbeda-beda pekerjaannya, ada yang menjadi
pedagang, petani, tukang kayu, tukang besi, tukang sepatu, penjahit baju,
pembuat roti, pengembala, buruh dan seabrek pekerjaan lainnya.
(3). Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan menjadi dua
macam:
·
Pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun,
penjual khamr, pekerja di bank riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari
pekerjaan-pekerjaan yang dilarang oleh syari’at Islam.
·
Pekerjaan mubah, contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian
ulama meneyebutkan bahwa “Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang,
industri.” (Al-Hawi Al-Kabir 19/180, Al-Mardawi).
Syaikh Masyhur bin Hasan menambahkan: “Dan diantara pokok
pekerjaan pada zaman kita sekarang -selain tiga di atas- adalah bekerja sebagai
“pegawai” dengan aneka macamnya. Hanya saja terkadang sebagiannya bercampur
dengan hal-hal yang haram atau makruh tergantung keadaan jenis pekerjaan itu
sendiri. Para pekerjanya secara umum banyak mengeluh dari kurangnya barakah. Di
samping itu, pekerjaan ini juga menimbulkan dampak negatif bagi mayoritas
pegawai, di antaranya:
1.
Kurangnya tawakkal kepada Allah dalam rezeki.
2.
Banyaknya korupsi dan suap.
3.
Malas dalam bekerja dan kurang perhatian.
4.
Sangat ambisi dengan gajian akhir bulan.
5.
Banyaknya sifat nifaq di depan atasan.” (Lihat Al-Muru’ah
wa Khowarimuha hal. 193-206).
(4). Bekerja sebagai pegawai negeri -sebagaimana pekerjaan
secara umum- diperinci menjadi dua:
1.
Apabila pekerjaan tersebut tidak ada kaitannya dengan
perkara-perkara haram, maka hukumnya boleh, bahkan bisa jadi dianjurkan.
2.
Apabila pekerjaan tersebut berhubungan dengan perkara-perkara
haram seperti pajak, pariwisata haram, bank ribawi dan sejenisnya, maka hukum
kerjanya juga haram, karena itu termasuk tolong-menolong dalam kejelekan yang
jelas diharamkan dalam Islam.
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا
عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertaqawalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Qs. Al-Maidah: 2)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا
وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir berkata: “Rasulullah melaknat pemakan riba,
pemberinya, sekretarisnya dan dua saksinya.” Dan beliau bersabda: ‘Semuanya
sama.'” (HR. Muslim: 1598)
B. Hukum Gaji Dari Pemerintah
Gaji pegawai negeri tergantung kepada pekerjaan itu sendiri:
1. Apabila dari pekerjaan yang haram, maka gajinya juga haram.
Nabi bersabda:
1. Apabila dari pekerjaan yang haram, maka gajinya juga haram.
Nabi bersabda:
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Dia
mengharamkan pula hasil (upahnya).” (HR. Ahmad 1/247,
293 dan Abu Dawud 3488 dan dishahihkan Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad 5/661)
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدِ الأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ نَهَى
عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Dari Abu Mas’ud Al-Anshari bahwasanya Rasulullah melarang
dari uang hasil jual anjing, mahar (upah) pelacur dan upah dukun.” (HR.
Bukhari 2237 dan Muslim 3985)
2. Apabila gajinya
dari pekerjaan yang halal, maka gajinya juga halal, sekalipun sumber dana
pemerintah yang digunakan sebagai gaji tersebut bercampur antara halal dengan
haram, selagi dia tidak mengetahui bahwa uang gaji yang dia terima jelas-jelas
haram.
Lebih jelasnya, masalah ini dibangun di atas beberapa kaidah:
Lebih jelasnya, masalah ini dibangun di atas beberapa kaidah:
(1). Asal segala sesuatu adalah halal.
Kaidah agung ini berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali dari
Al-Qur’an dan sunnah. Sumber dana pemerintah yang bercampur antara halal, haram
dan syubhat, selagi tidak diketahui secara pasti bahwa uang yang dia terima
adalah uang haram maka termasuk dalam kaidah ini. Patokan masalah ini
tergantung pada keyakinan hati, bukan pada kenyataan perkara, artinya jika dia
mengambil uang gaji tersebut yang kenyataannya adalah tidak halal tetapi dia
tidak mengetahuinya maka hukumnya boleh.
Para ulama ahli fiqih menyebutkan bahwa harta yang di tangan para pencuri, atau titipan dan pergadaian yang tidak diketahui pemiliknya apabila tidak mungkin untuk dikembalikan kepada pemiliknya maka wajib dishodaqohkan atau diberikan ke baitul mal, dan harta tersebut bagi orang yang diberi shodaqoh adalah halal, padahal telah dimaklumi bersama bahwa harta tersebut adalah jelas-jelas milik orang lain yang tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya. Jika harta tersebut saja halal, maka harta yang tidak diketahui keadaannya dan tidak dipastikan kejelasannya tentu saja lebih jelas kehalalannya.
Para ulama ahli fiqih menyebutkan bahwa harta yang di tangan para pencuri, atau titipan dan pergadaian yang tidak diketahui pemiliknya apabila tidak mungkin untuk dikembalikan kepada pemiliknya maka wajib dishodaqohkan atau diberikan ke baitul mal, dan harta tersebut bagi orang yang diberi shodaqoh adalah halal, padahal telah dimaklumi bersama bahwa harta tersebut adalah jelas-jelas milik orang lain yang tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya. Jika harta tersebut saja halal, maka harta yang tidak diketahui keadaannya dan tidak dipastikan kejelasannya tentu saja lebih jelas kehalalannya.
(2). Agama Islam dibangun di atas kemaslahatan dan membendung
kerusakan.
Dana pemerintah tersebut pasti diberikan, mungkin diberikan
kepada orang yang tidak berhak menerimanya, atau kepada orang yang berhak
menerimanya, dan tentu saja yang kedua ini lebih berhak menerimanya. Seandainya
ahli agama yang berhak menerimanya tidak mau menerima uang dari dana pemerintah
tersebut lalu diambil oleh orang yang tidak berhak menerimanya, maka akan
terjadi kerusakan yang banyak sekali dan akan terhambat kemaslahatan yang
banyak, padahal syari’at Islam dibangun di atas kemaslahatan dan menghilangkan
kerusakan.(Lihat Al-Ajwibah As-Sa’diyyah ‘anil Masaail Al-Kuwaitiyyah hal.
163-164 oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, tahqiq Dr. Walid bin Abdillah).
(3). Rasulullah menerima hadiah dan memenuhi undangan makanan
dari Yahudi, padahal kita tahu semua bahwa Yahudi memakan uang dengan bathil
dari riba dan lain sebagainya.
Lantas bagaimana kiranya hukum menerimanya dari seorang muslim?!
Jelas lebih halal.
C. Apakah Bekerja di Pemerintahan Termasuk Wala’ (loyalitas) Kepada
Taghut?
Ada beberapa point penting yang harus kita fahami dalam masalah
ini:
1.
Masalah berhukum dengan selain Allah termasuk masalah basar yang
menimpa para pemerintah pada zaman kita sekarang, maka hendaknya kita tidak
tergesa-gesa dalam menghukumi mereka dengan hukum yang tidak berhak bagi mereka
sehingga masalahnya benar-benar jelas bagi kita, karena ini sangat berbahaya
sekali. Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki para penguasa kaum muslimin.
(Syarh Tsalatsah Utsul hal. 159 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Utsaimin).
2.
Menvonis para pemerintah yang tidak berhukum dengan selain Allah
dengan taghut berarti itu mengkafirkan mereka, ini jelas keliru karena madzhab
salaf memerinci masalah ini; apabila dia berhukum dengan selain hukum Allah
dari undang-undang manusia dan hukum-hukum jahiliyyah, dengan mengingkari
wajibnya berhukum dengan hukum Allah, atau berpendapat bahwa hukum Allah tidak
relevan pada zaman sekarang, atau berpendapat sama saja berhukum dengan hukum
Allah atau selainnya maka dia kafir, tetapi apabila dia berhukum dengan
mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan tidak mengingkarinya, tetapi
karena ambisi terhadap dunia, maka dia adalah fasiq. (Lihat kembali makalah
“Hukum Islam Vs Hukum Jahiliyyah” dalam Al Furqon edisi 11/Th.III, “Fitnah
Takfir” edisi 10/Th. III, “Berhukum Dengan Hukum Allah” edisi 8/Th. IV).
3.
Anggaplah kalau mereka memang melakukan kekufuran nyata,
bukankah menvonisnya dengan kekafiran memiliki kaidah-kaidah yang tidak
ringan?! Harus terpenuhi syarat dan hilang segala penghalangnya?! Sudahkah kita
menegakkan hujjah kepada mereka?! Bukankah mayoritas mereka melakukannya karena
kebodohan dan taklid buta?!
4.
Anggaplah juga bahwa pemerintah adalah taghut dan kafir,
tetap tidak bisa kita pukul rata bahwa setiap para pegawai pemerintahnya
adalah kafir. Sungguh ini adalah pemikiran menyimpang Khawarij yang sesat,
karena haramnya wala'(loyalitas) kepada orang-orang kafir bukan berarti
haramnya muamalah dengan mereka dalam hal-hal yang mubah (boleh). Itu kalau
kita anggap bahwa pemerintah kafir, lantas bagaimana kiranya kalau pemerintah
masih mendirikan shalat?! (Lihat tulisan “Pemboikotan Produk Orang Kafir” edisi
12/Th. IV)
Akhirnya, kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan -semoga Allah menjaganya-:
“Saya tidak percaya kalau ada seorang muslim yang wala’ (loyal) terhadap orang-orang kafir, tetapi kalian mengartikan wala’ (loyal) bukan pada tempatnya. Kalaulah memang ada yang loyal kepada orang kafir, maka dia adalah orang yang jahil atau non muslim. Adapun orang muslim maka dia tidak mungkin loyal kepada orang kafir, tetapi ada beberapa perkara yang kalian menganggapnya loyal padahal tidak, seperti jual beli dengan orang kafir atau memberi hadiah orang kafir…” (Al-Fatawa Syar’iyyah fil Qodhoya ‘Ashriyyah hal. 95, kumpulan Muhammad Fahd Al-Hushayyin).
“Saya tidak percaya kalau ada seorang muslim yang wala’ (loyal) terhadap orang-orang kafir, tetapi kalian mengartikan wala’ (loyal) bukan pada tempatnya. Kalaulah memang ada yang loyal kepada orang kafir, maka dia adalah orang yang jahil atau non muslim. Adapun orang muslim maka dia tidak mungkin loyal kepada orang kafir, tetapi ada beberapa perkara yang kalian menganggapnya loyal padahal tidak, seperti jual beli dengan orang kafir atau memberi hadiah orang kafir…” (Al-Fatawa Syar’iyyah fil Qodhoya ‘Ashriyyah hal. 95, kumpulan Muhammad Fahd Al-Hushayyin).
***
Jawaban: [2]
Bekerja di tempat yang ikhtilath (campur baur antara lawan
jenis) tidak keluar dari dua keadaan:
Pertama: Apabila di sana ada tempat, ruangan atau kantor khusus
bagi kaum laki-laki sendiri, dan bagi kaum wanita sendiri, maka hukumnya boleh.
Kedua: Apabila dalam satu tempat, ruangan atau kantor bercampur
antara laki-laki dan perempuan, maka tidak boleh, sebab hal itu adalah pintu
fitnah dan kerusakan.
Nabi telah memperingatkan kepada umatnya dari fitnah kaum wanita
dalam sabdanya:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ
النِّسَاءِ
“Tidaklah saya tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya
bagi kaum pria daripada fitnah wanita.” (HR. Bukhari 5096 Muslim
6880)
Sampai-sampai dalam tempat ibadah sekalipun, Nabi menganjurkan adanya jarak jauh antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabdanya:
Sampai-sampai dalam tempat ibadah sekalipun, Nabi menganjurkan adanya jarak jauh antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabdanya:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا
وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (barisan shalat) kaum wanita adalah yang
paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang yang paling depan.” (HR. Muslim 440)
Nabi mengatakan sejelak-jelaknya adalah barisan yang terdepan disebabkan lebih dekat dengan barisan kaum lelaki. Demikian pula sebaik-baiknya adalah yang belakang dikarenakan lebih jauh dari kaum lelaki.Hadits ini sangat jelas sekali menunjukkan bahwa syari’at Islam sangat menekankan adanya jarak antara kaum laki-laki dengan wanita. Dan barangsiapa memperhatikan kejadian-kejadian yang terjadi pada umat, niscaya akan jelas baginya bahwa dalam ikhtilath antara lawan jenis merupakan penitu kerusakan dan fitnah hingga sekarang”. (Lihat Fatawa Nur Ala Darb hal. 82-83 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
Nabi mengatakan sejelak-jelaknya adalah barisan yang terdepan disebabkan lebih dekat dengan barisan kaum lelaki. Demikian pula sebaik-baiknya adalah yang belakang dikarenakan lebih jauh dari kaum lelaki.Hadits ini sangat jelas sekali menunjukkan bahwa syari’at Islam sangat menekankan adanya jarak antara kaum laki-laki dengan wanita. Dan barangsiapa memperhatikan kejadian-kejadian yang terjadi pada umat, niscaya akan jelas baginya bahwa dalam ikhtilath antara lawan jenis merupakan penitu kerusakan dan fitnah hingga sekarang”. (Lihat Fatawa Nur Ala Darb hal. 82-83 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berkata:
“Adapun ikhtilath antara kaum lelaki dan wanita di tempat kerja atau perkantoran padahal mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya adalah haram dan wajib bagi orang yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempa/ruangan antara kaum lelaki dan wanita, sebab dalam ikhtilat terdapat kerusakan yang tidak samar bagi seorangpun.” (Fatawa Haiah Kibar Ulama 2/613, Fatawa Ulama Baladi Haram hal. 532).
“Adapun ikhtilath antara kaum lelaki dan wanita di tempat kerja atau perkantoran padahal mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya adalah haram dan wajib bagi orang yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempa/ruangan antara kaum lelaki dan wanita, sebab dalam ikhtilat terdapat kerusakan yang tidak samar bagi seorangpun.” (Fatawa Haiah Kibar Ulama 2/613, Fatawa Ulama Baladi Haram hal. 532).
Akhirnya, kita berdoa kepada Allah agar menambahkan bagi kita
ilmu yang bermanfaat dan meneguhkan kita di atas agama-Nya. Amiin.
***
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Sumber: http://www.abiubaidah.com
Dipublikasikan oleh www.KonsultasiSyariah.com
Sumber: http://www.abiubaidah.com
Dipublikasikan oleh www.KonsultasiSyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar