Oleh ustadz Sufyan Bazweidan, MA
Berikut ini sejumlah adab yang perlu kita perhatikan agar
kegiatan ekspor-impor kita tidak membawa dampak negatif bagi umat Islam.
Dalam dunia perniagaan, ekspor-impor memainkan peranan penting.
Tak ada sebuah negara pun di dunia ini yang bebas dari ekspor-impor. Apalagi
negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang biasanya tergolong “negara
berkembang” atau “terbelakang’; barang-barang impor akan lebih mendominasi
pasaran mereka.
Mengimpor barang dari negara kafir pada dasarnya boleh-boleh
saja. Yakni selama aturan syariat tetap dipelihara. Demikian pula mengekspor
barang ke negara kafir. Hal ini juga dibolehkan dengan syarat yang sama.
Kegiatan ekspor-impor dalam bentuk primitif telah ada sejak
zaman jahiliyah. Bahkan hal ini diabadikan oleh Allah dalam Surat Quraisy,
ketika Allah mengingatkan mereka tentang salah satu nikmat besar yang Ia
berikan kepada mereka. Yaitu dengan membiarkan mereka bebas berniaga ke Negeri
Syam saat musim panas, dan ke Negeri Yaman saat musim dingin. Semua itu
dilakukan dengan perasaan aman karena mereka warga Tanah Suci Mekkah yang tidak
akan diganggu oleh penyamun. Lain halnya selain warga Tanah Suci. (Lihat: Tafsir Al-Qurthubi tentang Surah Quraisy) Oleh
karenanya, nikmat yang besar ini Allah ingatkan kembali dalam firmanNya, yang
artinya,
أَوَلَمْنُمَكِّنْلَهُمْحَرَمًاآمِنًايُجْبَىإِلَيْهِثَمَرَاتُكُلِّشَيْءٍرِزْقًامِنْلَدُنَّاوَلَكِنَّأَكْثَرَهُمْلَايَعْلَمُونَ(القصص:
57)
“Bukankah kami telah menjadikan mereka kaum yang mapan di tanah
suci yang aman? Dan dibawakan kepada mereka berbagai macam buah-buahan sebagai
rezeki dari Kami? Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Qashash: 57)
Tentunya, buah-buahan tadi sebagian besar, atau bahkan
seluruhnya, berasal dari luar kota Mekkah. Dan itu mereka dapatkan lewat rihlah (pengembaraan) mereka ke Negeri Syam dan
Yaman, selain dari yang dibawa oleh Jemaah haji dari berbagai penjuru negeri.
Inilah salah satu fenomena ekspor-impor yang terjadi sejak zaman
jahiliyah, dan masih terus berlangsung hingga hari ini.
Pun demikian, berikut ini ada sejumlah adab yang perlu
diperhatikan agar kegiatan ekspor-impor tidak membawa dampak negatif bagi umat
Islam.
Adab Mengimpor Barang
1. Pilihlah barang yang benar-benar dibutuhkan untuk diimpor.
Hindari mengimpor barang-barang yang dapat diproduksi lokal. Hal ini agar
industri lokal tetap berkembang dan tidak terjadi ketergantungan terhadap
barang impor.
2. Pilihlah produk buatan kaum Muslimin selama hal itu
memungkinkan. Niatkan sebagai ta’awun ‘alal birri wat taqwa,
sehingga Anda akan mendapat pahala lebih.
3. Jika terpaksa mengimpor produk orang kafir, jangan mengimpor
dari negara yang jelas-jelas menunjukkan permusuhannya terhadap Islam dan kaum
Muslimin. Pilihlah negara-negara yang bersifat “netral” dan tidak terkenal
dengan sentimen anti-Islam. Jepang., misalnya.
4. Jika TERPAKSA mengimpor makanan produk orang kafir, pastikan
tidak mengandung barang haram (babi, khamer, darah,
atau binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah). Kalau ada yang berdalih:
bukankah makanan (sembelihan) ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi kita?
Maka jawabnya, yang masih mengindahkan aturan penyembelihan yang benar sehingga
sembelihannya tetap halal, hanyalah kaum Yahudi. Ada pun kaum Nasrani hari ini
mayoritasnya adalah orang liberal yang tidak mengindahkan aturan agama mereka
lagi. Oleh karena itu, janganlah mengimpor daging sembelihan dari negara kafir,
kecuali setelah dipastikan bahwa penyembelihannya telah memenuhi kriteria
syariat.
5. Perhatikan pula fungsi barang yang hendak diimpor. Adakah barang
tersebut mengandung dampak negatif atau sering disalahgunakan? Jika ya,
urungkan saja. Kecuali jika Anda hanya menjualnya kepada pihak yang tidak
menyalahgunakannya, seperti impor senjata.
6. Jangan mengimpor barang-barang yang mendorong kaum Muslimin
untuk menyerupai orang kafir.
7. Hindari cara pembayaran yang bersifat ribawi.
Adab Mengekspor Barang
1. Eksporlah barang-barang yang berkualitas agar nama baik Anda
sebagai seorang Muslim tetap terjaga. Bahkan boleh jadi hal ini menjadikan
pengimpor tertarik kepada Islam.
2. Jangan mengekspor barang-barang yang bisa disalahgunakan dengan
mudah. Seperti mengekspor senjata dan peralatan perang (walaupun hanya suku
cadangnya) ke negara kafir. Sebab ini jelas termasuk ta’awun ‘alal itsmi wal ‘udwan (tolong-menolong
dalam dosa dan permusuhan).Ibnu Baththal mengatakan, “Jual-beli dengan orang
kafir mana pun dibolehkan. Akan tetapi tidak boleh menjual kepada kafir harb apa-apa yang dapat mereka gunakan untuk
membinasakan kaum Muslimin. Baik berupa senjata maupun peralatan lainnya. Tidak
boleh pula menjual apa-apa yang dapat memperkuat mereka dalam melawan kaum
Muslimin.” (Syarh Shahih Bukhari, 11/35).Hal senada juga
dinyatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (11/41),
dan beliau menambahkan, “Tidak boleh pula menjual barang-barang yang dapat
dimanfaatkan orang kafir dalam perayaan-perayaan mereka.” Artinya, walaupun
yang diekspor adalah bahan pangan, namun jika dilakukan saat negara tersebut
terlibat perang dengan kaum Muslimin, ini termasuk memperkuat mereka, yang
hukumnya terlarang. Demikian pula mengekspor pakaian yang biasa dipakai orang
kafir saat berhari raya.
3. Hindari cara pembayaran yang bersifat ribawi.
Itulah beberapa adab yang perlu kita perhatikan dalam
ekspor-impor dari dan ke negara kafir. Wabillaahit taufieq. (PM)
0 komentar:
Posting Komentar