Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki geografis dari sumber-sumber yang langka, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. Lokasi berbagai kegiatan seperti rumah tangga, pertokoan, pabrik, pertanian, pertambangan, sekolah, dan tempat ibadah tidaklah asal saja/acak berada di lokasi tersebut, melainkan menunjukkan pola dan susunan (mekanisme) yang dapat diselidiki dan dapat dimengerti.
Dalam mempelajari lokasi berbagai kegiatan, ahli ekonomi regional/geograf terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis adalah datar dan kondisinya di semua arah adalah sama.Walaupun teori yang menyangkut pola lokasi ini tidak banyak berkembang tetapi telah ada sejak awal abad ke-19. Secara empiris dapat diamati bahwa pusat-pusat pengadaan dan pelayanan barang dan jasa yang umumnya adalah perkotaan (central places), terdapat tingkat penyediaan pelayanan yang berbeda-beda.
Walter Christaller pada tahun 1933 menulis buku yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris berjudul Central Places in Southern Germany (diterjemahkan oleh C.W. Baski pada tahun 1966). Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri di mana angka 3 yang ditetapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti. Itulah sebabnya disebut sistem K = 3 dari Christaller.
Christaller mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri-ciri berikut:
1. Wilayahnya adalah daratan tanpa roman, semua adalah datar dan sama.
2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface).
3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebari secara merata ke seluruh wilayah.
4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak/biaya.
Sebelum kita sampai pad kesimpulan yang dibuat Christaller, agar pandangannya dapat dicerna lebih mudah, terlebih dahulu diuraikan range and threshold dari produksi/ peradagangan satu komiditi mengikuti pandangan dari Peter E. Lloyd, dkk. Dalam bukunya Location in Space (1977). Dengan asumsi yang sama seperti Christaller, Llyod melihat bahwa jangkuan/luas pasar dari setiap komoditi itu ada batasnya yang dinamakan range dan ada batas minimal dari luas pasarnya agar produsen bisa tetap berproduksi, luas pasar minimal dinamakannya threshold.Berdasarkan uraian di atas, kita akan mulai membicarakan model Christaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal sebagai berikut:
1. Mula-mula terbentuk areal perdagangan satu komoditi berupa lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dan komoditi tersebut, lingkaran ini tidak tumpang tindih.
2. Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditi tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.
3. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan yang tidak lagi tumpang tindih
4. Tiap barang berdasarakan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri. Dengan menggunakan k = 3, barang orde I lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde II. Barang orde II lebar heksagonalnya 3 kali heksagonal orde III dan seterusnya. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksogonal tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih
Jadi, ada komoditi yang jangkauan pemasarannya cukup luas,ada yang sedang ada yang kecil. Untuk hierarki yang sama daerah pemasarannya tumpang tindih. Christaller mengatakan bahwa berbagai jenis barang pada orde yang sama cenderung bergabung pada pusat dari wilayahnya sehingga pusat itu menjadi lokasi konsentrasi (kota).
Teori Lokasi Biaya Minimum Weber
Alfred Webwer seorang ahli ekonomi Jerman menulis buku berjudul Uber den Standort der Industrien pada tahun 1909. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1929 oleh C.J. Friedrich dengan judul Alfred Weber’s Theory of Location of Industries. Apabila Von Thunen menganalisis kegiatan pertanian maka Weber menganalisis lokasi industri. Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Uraian tentang teori Weber ini mengikuti uraian yang terdapat dalam buku John Glasson, 1974.Dalam perumusan moelnya, Weber bertitik tolak pada asumsi bahwa:
1. Unit telahaan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna;
2. Beberapa SDA seperti air, pasi, dan batu bata tersedia di mana-mana (ubiquitos) dalam jumlah yang memadai;
3. Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas;
4. Tenaga kerja tidak ubiquitos (tidak menyebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.
Teori Lokasi Pendekatan Pasar Losch
August Losch menerbitkan sebuah buku dalam bahasa Jerman pada tahun 1933. Bukunya kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 195 dengan judul The Economics of Location. Apabila Weber melihat persoalan dari sisi produksi, Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar). Weber walaupun tidak dinyatakn secara tegas, membuat asumsi bahwa semua barang yang diproduksi akan laku terjual. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar. Pandangan ini adalah mengikuti pandangan Christaller seperti yang telah diuraikan. Atas dasar pandangan di atas Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.Terhadap pandangan Losch ini perlu dicatat bahwa saat ini banyak pemerintah kota yang melarang industri di dalam kota. Dengan demikian, lokasi produksi harus berada di pinggir kota atau bahkan di luar kota tetapi dengan membuka kantor pemasaran di dalam kota. Artinya, industri itu walaupun berada di luar kota tetap merupakan bagian dari kegiatan kota dalam arti kata memanfaatkan range atau wilayah pengaruh dari kota tersebut.
Teori Lokasi Memaksimumkan Laba
Teori Weber hanya melihat sisi produksi sedangkan teori Losch hanya melihat sisi permintaan. Kedua teori ini hanya melihat dari satu sisi. Sisi produksi hanya melihat lokasi yang memberikan ongkos terkecil sedangkan sisi permintaan melihat pada penerimaan maksimal yang dapat diperoleh. Kedua pandangan itu perlu digabung, yaitu dengan mencari lokasi yang memberikan keuntungan maksimal setelah memerhatikan ongkos terkecil dan lokasi yang memberikan penerimaan terbesar. Permasalahan ini diselesaikan oleh D.M. Smith (dikutip dari Glasson, 1974) dengan mengintrodusir konsep average kost (biaya rata-rata) dan average avenue (penerimaan rata-rat) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka dapat dibuat kurva average cost (per unit produksi) yang bervariasi denga lokasi. Di sisi lain dapat pula dibuat kurva average avenue yang terkait dengan lokasi. Kemudian kedua kurva itu digabung dan di mana terdapat selisih average revenue dikurangi average cost adalah tertinggi maka itulah lokasi yang memberikan keuntungan maksimal.
Model Gravitasi Sebagai Faktor Penting Penentu Lokasi
Ada kegiatan yang harus berada di suatu lokasi tanpa ada pilihan lain, misalnya apabila kegiatan itu terkait dengan potensi alam, seperti pertambangan , daerah pariwisata, olahraga ski (salju), pengelolahan hutan, perkebunan tembakau Deli, dan pelabuhan laut. Ada lokasi kegiatan yang walaupun hasil kreasi manusia telah berada di tempat tersebut sejak dahulu kala sehingga keberadaannya sudah merupakan suatu yang given. Namun berbagai kegiatan yang kemudian muncul dapat dianalisi mengapa kegiatan itu memilih lokasi di tempat tersebut. Salah satu analisis yang memungkinkan kita menjelaskan keberadaan kegiatan pada lokasi tersebut adalah model Gravitasi.
Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut.
Dalam perencanaan wilayah, model ini sering dijadikan alat untuk melihat apakah lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum telah berada pada tempat yang benar. Selain itu, apabila kita ingin membangun suatu fasilitas yang baru maka model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal. Artinya, fasilitas itu akan digunakan sesuai dengan kapasitasnya. Itulah sebabnya model gravitasi berfungsi ganda, yaitu sebagai teori lokasai dan sebagai alat dalam perencanaan. Berbeda dengan teori lokasi lain yang diturunkan secara deduktif maka model gravitasi dikembangkan dari hasil pengamatan di lapangan (secara induktif). Pada abad ke-19 Carey dan Ravenstein (dikutip daro Llyod, 1977) melihat bahwa jumlah migrasi ke suatu kota sangat erat kaitannya dengan hukum gravitasi Newton. Artinya, banyaknya migrasi ke suatu kota sangat terkait dengan besarnya kota tersebut dan jauhnya tempat asal mingran tersebut. Barulah pada abad ke-20 John Q. Stewart dan kelompoknya pada School of Social Physics menerapkan secar sistematik moddel gravitasi untuk menganalisis interaksi sosial dan ekonomi.
Teori Pemilihan Lokasi Kegiatab Industri Secara Komprehensif
Tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan produksi (industri) itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala besar) secara komprehensif, diperlukan gabungan dari berabagai pengetahuan dan disiplin. Pengusaha bertaraf internasional pada umumnya memilih lokasi yang memungkinkan menjangkau pasar yang seluas mungkin. Namun, mereka tidak bisa lepas dari tindakan para pengusaha lain yang telah atau akan beroperasi pada lokasi tertentu.
Dalam era globalisasi saat ini, bagi para pengusaha bertaraf internasional, pemilihan lokasi sekaligus berartu pertama-tama memilih di negara mana lokasi usaha tersebut yang paling menguntungkan. Faktor yang dipertimbangkan, antara lain adalah ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan aksesbilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksebilitas pemasaran ke luar negeri). Belakangan ini faktor stabilitas politik negara merupakan faktor yang paling penting bagi pertimbangan para investor. Mereka lebih memilih kelangsungan usaha dalam jangka panjang ketimbang laba yang besar tetapi tidak terdapat kepastian usaha dalam jangka panjang. Setelah memilih negara, kemudian memilih di provinsi mana, kemudian di kabupaten/kota mana. Dalam memilih provinsi/kabupaten/kota mana, perlu diperhatikan perbedaan kebijakan pemda setempat terhadap kegiatan usaha. Setelah berlakunya otonomi daerah, kebijakan pajak dan retribusi daerah bisa sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Begitupun dengan perbedaan kondisi keamanan dan sikap yang berbeda terhadap investor luar antara suatu daerah dengan daerah lainnya.