Saya mendapatkan pernyataan dari teman, sebagai berikut :
“Beruntunglah kita dilahirkan sudah beragama islam karena orang
tua kita kebetulan juga beragama islam. Yang menjadi pertanyaan saya adalah
bagaimana Tuhan memberikan kelahiran kepada seseorang yg hidup dipelosok ujung
dunia, katakan ujung dunia indonesia yg sangat terpencil, misalnya di Wamena
(Irian Jaya) yang kita nggak ngerti bahasa orang wamena, mereka masih pake
koteka dan nggak pernah tahu akan agama Islam sampe mereka meninggal lalu
apakah mereka kita bilang kafir?”
Mohon tanggapannya dari Bapak atas pernyataan dari temen saya
tersebut. Terimakasih. Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Wisnu
Alamat: Prabumulih – Sumatera Selatan
Email: wisxxxx@yahoo.com
Alamat: Prabumulih – Sumatera Selatan
Email: wisxxxx@yahoo.com
Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh
Banyak kaum muslimin yang bingung menghadapi pertanyaan semacam ini,
tidak jarang pula yang akhirnya meragukan Islam dan menganggap semua agama
benar. Padahal andaikan mereka sedikit berusaha mempelajari Islam dengan benar,
mereka akan menemukan para ulama kita sudah menjelaskan dengan panjang-lebar
jawaban dari pertanyaan semacam ini. Berikut ini kami kutipkan penjelasan bagus
dari Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Wuhaibi dalam
kitabnya, Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir ‘Indas Salaf (1/294):
Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah tentang hukum di
akhirat, bukan hukum di dunia. Tidak ada satupun para ulama yang mengatakan
bahwa orang yang tidak pernah mendengar Islam itu adalah muslim, atau pada
mereka diberlakukan hukum orang muslim di dunia. Oleh karena itu, perbedaan
pendapat yang ada bukanlah tentang hukum di dunia. Al Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“Wajib bagi setiap orang untuk meyakini bahwa setiap manusia yang tidak
beragama dengan agama Islam adalah kafir. Namun wajib juga meyakini bahwa Allah
Ta’ala (di akhirat) tidak akan mengadzab orang yang belum disampaikan hujjah.
Ini secara umum. Adapun secara khusus per individu, hanya Allah yang
mengetahuinya. Ini semua berkaitan dengan balasan dan hukuman di akhirat.
Sedangkan hukum di dunia, diterapkan berdasarkan apa yang nampak. Oleh karena
itu, anak-anak kecil orang kafir dan orang gila yang kafir, di dunia
diberlakukan hukum orang kafir kepada mereka” (Thariqul Hijratain, 384).
Pembahasan mengenai nasib orang yang belum pernah mendengar Islam
di akhirat, adalah permasalahan ijtihadiyah yang banyak dibahas
para ulama. Namun bahasan ini tidak termasuk ushuluddin (pokok
agama) dan bukan ‘ijma. Oleh karena itu tidak dibahas pada kebanyakan
kitab aqidah yang terkenal. Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini:
Pendapat pertama: Orang yang mati dalam
keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk surga
As Suyuthi rahimahullah berkata: “Para imam Asy
‘ariyah yang termasuk ahlul kalam dan ahlul ushul, serta ulama ahli fiqih
madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang mati dalam keadaan belum pernah
mendengar Islam, ia masuk surga” (Al Haawi Lil Fatawa, 2/202). Sebagian
ulama juga berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga,
sebagaimana pendapat Ibnu Hazm, beliau berkata: “Mayoritas ulama berpendapat
bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, dan saya juga berpendapat
demikian” (Al Fashl, 4/73). Juga Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim,
16/208), Ibnu Hajar Al Asqalani juga mengatakan bahwa pendapat ini adalah
pilihan Al Bukhari (Fathul Baari, 3/246), juga Imam Al Qurthubi (At
Tadzkirah, 612) dan Imam Ibnul Jauzi (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam,
24/372).
Pendapat kedua: Orang yang mati dalam
keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk neraka
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Ini
adalah pendapat dari sejumlah ulama ahlul kalam, ulama ahli tafsir, juga salah
satu pendapat dari murid-murid Imam Ahmad. Al Qadhi membawakan riwayat dari
Imam Ahmad tentang hal ini, namun telah dibantah oleh guru kami (Syaikhul
Islam)” (Thariqul Hijratain, 362). Pendapat ini juga diambil oleh
sejumlah murid Abu Hanifah (Jam’ul Jawami’ Imam As Subki, 1/62).
Pendapat ketiga: Tawaqquf (Abstain),
dan menyatakan nasib mereka terserah pada kehendak Allah
Ini adalah pendapat Al Hamidain, Ibnul Mubarak, Ishaq Ibnu
Rahawaih. Ibnu Abdil Barr berkata: “Nasib mereka tergantung kepada keputusan Al
Malik, dan dalam hal ini tidak ada nash yang menjelaskan, kecuali riwayat dari
para sahabat yang menegaskan bahwa anak-anak kecil muslim akan masuk surga dan
anak-anak kecil kafir tergantung pada keputusan Allah” (At Tamhid,
18/111-112).
Pendapat keempat: Mereka akan dites di
depan pintu neraka.
Allah memerintahkan mereka masuk ke dalamnya. Jika mereka patuh,
mereka akan merasakan hawa dingin dan mereka selamat. Namun yang enggan masuk, berarti
ia telah membangkang kepada Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam neraka.
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas para ulama salaf,
sebagaimana disampaikan oleh Abul Hasan Al Asy’ari (Al Ibanah, 33).
Pendapat ini dipilih oleh Muhammad bin Nashir Al Marwazi, Al Baihaqi, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dan Ibnu
Katsir. Syaikhul Islam berkata: “Manusia yang belum ditegakkan hujjah padanya,
seperti anak-anak kecil, orang gila, ahlul fathrah, nasih mereka sebagaimana
terdapat pada banyak atsar, yaitu mereka akan dites pada hari qiamat. Ada yang
diutus untuk memerintahkan mereka pada ketaatan. Jika mereka taat, mereka
diberi surga. Jika mereka enggan taat, diberi neraka”. Imam Ibnu Qayyim setelah
menjelaskan perbedaan pendapat dan dalil-dalilnya, beliau berkata: “Pendapat ke
delapan, mereka berpendapat bahwa anak-anak kecil orang kafir akan dites di
sebuah dataran di hari kiamat. Setiap orang dikirimkan Rasul (utusan). Orang
yang mematuhi utusan tersebut, akan dimasuk surga. Yang membangkang akan masuk
neraka. Dengan kata lain, sebagain mereka ada yang masuk surga dan sebagiannya
ada yang masuk neraka. Pendapat ini yang mencakup dalil-dalil yang ada, dan
didukung oleh banyak hadits” (Thariqul Hijratain, 369). Kemudian Ibnu
Qayyim memaparkan dalil-dalil yang mendukung pendapat ini, lalu berkata:
“Hadits-hadits ini saling menguatkan. Dikuatkan juga dengan ushul dan kaidah
syariat. Dan pendapat yang sesuai dengan hadits-hadits ini adalah mazhab
salafush shalih, sebagaimana dinukil oleh Al ‘Asy’ari rahimahullah”
(Thariqul Hijratain, 371)
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Para
ulama terdahulu dan ulama masa sekarang berbeda pendapat mengenai anak kecil
yang meninggal dalam keadaan kafir, bagaimana statusnya? Demikian juga orang
gila, orang tuli, orang tua yang pikun dan ahlul fatrah yang belum pernah
mendengar dakwah, terdapat beberapa hadits yang membahas status mereka. Dengan
inaayah dan taufiq Allah, akan saya sampaikan kepada anda”. Kemudian beliau
memaparkan hadits-hadits tersebut, lalu menjelaskan pendapat-pendapat yang ada,
dan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mereka akan dites kelak di hari
kiamat. Beliau berkata: “Pendapat inilah yang mencakup semua dalil yang ada.
Dan hadits-hadits yang telah saya sebutkan pun menegaskannya dan saling
menguatkan” (Tafsir Ibni Katsir, 3/30).
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, setelah menyatakan memilih
pendapat ini, beliau berkata: “Ulama bersepakat bahwa selagi masih mungkin,
wajib hukumnya untuk menggabungkan dalil-dalil yang ada. Karena mengamalkan dua
dalil lebih utama daripada beramal dengan salahsatu saja. Dan tidak ada
pendapat yang bisa mencakup seluruh dalil kecuali pendapat ini, yaitu mereka
akan diberi udzur lalu dites” (Adhwa’ul Bayan, 3/440)
Dalil penting yang mendasari pendapat ini ada 2 macam:
1. Dalil Al Qur’an
Para ulama yang berpegang pada pendapat yang terakhir ini berdalil
dengan keumuman ayat-ayat tentang tidak adanya azab sebelum disampaikan hujjah.
Contohnya firman Allah Ta’ala:
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ. قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا
“Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang
kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum
pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan? Mereka
menjawab: “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi
peringatan, lalu kami mendustakan(nya)” (QS. Al Mulk: 8-9)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Sungguh Kami tidak akan mengadzab sebelum mengutus seorang
Rasul” (QS. Al Isra: 15)
Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan adanya udzur bagi ahlul
fatrah, karena utusan yang memberi peringatan belum datang kepada mereka (Dalil
Al Qur’an yang lain silakan lihat Adhwa’ul Bayan, 3/429-433).
Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini:
“Allah Ta’ala Maha Adil. Allah tidak akan mengadzab seseorang, kecuali orang
tersebut sudah ditegakkan hujjah padanya lalu ia menentang. Sedangkan orang
yang belum disampaikan hujjah, maka ia tidak akan diadzab. Ayat ini dijadikan
dalil bahwa Ahlul Fatrah dan anak-anak kecil kafir tidak akan diadzab oleh
Allah, sampai seorang utusan datang kepada mereka. Karena Allah tidak mungkin
berbuat zhalim” (Tafsir As Sa’di, 4/266)
2. Dalil Hadits
Para ulama yang berpegang pada pendapat ini berdalil dengan
hadits-hadits yang tegas menunjukkan bahwa orang yang belum pernah disampaikan
hujjah akan dites kelak di hari kiamat. Hadits yang paling terkenal dalam hal
ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Aswad bin Sari’, bahwa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يكون يوم القيامة رجل أصم لا يسمع شيئاً، ورجل أحمق، ورجل هرم ورجل مات في فترة فأما الأصم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أسمع شيئاً، وأما الأحمق فيقول: رب لقد جاء الإسلام والصبيان يحذفونني بالبعر، وأما الهرم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أعقل شيئاً، وأما الذي مات في الفترة فيقول: رب ما أتاني لك رسول، فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه، فيرسل إليهم أن ادخلوا النار، قال: فوالذي نفس محمد بيده لو دخلوها لكانت عليهم برداً وسلاماً
“Di hari kiamat ada seorang yang tuli, tidak mendengar apa-apa,
ada orang yang idiot, ada orang yang pikun, ada yang mati pada masa fatrah.
Orang yang tuli berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang saat itu aku tuli, tidak
mendengar Islam sama sekali’. Orang yang idiot berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam
datang, saat itu anak-anak nakal sedang memasung aku di dalam sumur’. Orang
yang pikun berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang aku sedang hilang akal’.
Orang yang mati pada masa fatrah berkata: ‘Ya Rabb, tidak ada utusan yang
datang untuk mengajakku kepada Islam’. Lalu diuji kecenderungan hati mereka
pada ketaatan. Diutus utusan untuk memerintahkan mereka masuk ke neraka. Nabi
bersabda: ‘Demi Allah, jika mereka masuk ke dalamnya, mereka akan merasakan
dingin dan mereka mendapat keselamatan‘” (HR. Ahmad no. 16344, Thabrani
2/79. Di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.
1434)
Terdapat juga hadits semisal yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah, namun lafadz akhirnya berbunyi:
فمن دخلها كانت عليه برداً وسلاماً، ومن لم يدخلها سحب إليها
“Diantara mereka yang patuh memasuki neraka akan merasakan
dingin dan akhirnya selamat. Sedangkan yang enggan memasukinya justru akan
diseret ke dalamnya” (HR. Ahmad no. 16345)
Pendapat yang didasari hadits ini merupakan pendapat yang mencakup
keseluruhan dalil, sebagaimana nukilan dari para imam. Syaikhul Islam berkata:
“Dengan penjelasan hadits ini, maka tuntaslah perdebatan yang berupa
pembicaraan panjang lebar sampai menimbulkan perdebatan. Karena bagi yang
berpendapat bahwa mereka semua masuk neraka, terdapat nash yang menyalahkannya.
Dan bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk surga, juga terdapat nash
yang menyalahkannya” (Dar’ut Ta’arudh, 8/401). Syaikh Asy
Syinqithi rahimahullah setelah memilih pendapat ini ia
berkata: “Hadits in shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan
keshahihan hadits adalah solusi dari perdebatan. Maka tidak ada lagi sisi yang
dapat didebat dengan adanya hadits ini” (Adhwa’ul Bayan, 3/438).
Sebagian ulama membantah pendapat ini, semisal Ibnu Abdil Barr, Al
Qurthubi dan Al Hulaimi, ringkasnya mereka mengatakan bahwa hadits-hadits
tentang hal ini tidak shahih, dan ini bertentangan dengan prinsip pokok bahwa
akhirat bukan lagi tempat manusia diuji (At Tadzkirah, 611-612, At
Tamhiid, 18/130).
Namun sanggahan ini dijawab dengan 2 poin:
1. Hadits-hadits tentang hal ini shahih dan diriwayatkan dari
jalur yang banyak. Telah kami paparkan sedikit penjelasannya.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Takliif (beban syariat) berakhir di alam pembalasan, yaitu di neraka atau di surga. Sedangkan mereka yang dites di halaman akhirat itu sebagaimana pertanyaan di alam barzakh. Yaitu mereka ditanya: Siapa Rabb-mu? Apa agamamu? Siapa Nabimu? Dan Allah Ta’alaberfirman:
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Takliif (beban syariat) berakhir di alam pembalasan, yaitu di neraka atau di surga. Sedangkan mereka yang dites di halaman akhirat itu sebagaimana pertanyaan di alam barzakh. Yaitu mereka ditanya: Siapa Rabb-mu? Apa agamamu? Siapa Nabimu? Dan Allah Ta’alaberfirman:
يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk
bersujud; maka mereka tidak kuasa. (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke
bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia)
diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS. Al Qalam:
42-43)
At Thibbi berkata: “Jangan menetapkan bahwa dunia itu alam ujian
dan akhirat itu alam pembalasan. Karena tidak ada pengkhususan seperti itu.
Buktinya di alam kubur, yang merupakan pintu gerbang akhirat, terdapat ujian
dan terdapat kesulitan dengan adanya pertanyaan” (Fathul Baari, 11/451).
Ibnul Qayyim pun membuat telaah singkat dalam membantah sanggahan ini, beliau
berkata: “Jika ada yang berkata bahwa akhirat adalah alam pembalasan bukan lagi
alam pembebanan, maka bagaimana mungkin mereka dites di akhirat? Jawabannya,
pembenanan itu berhenti jika telah memasuki darul qarar(surga dan
neraka). Sedangkan di barzakh dan di halaman akhirat,
pembebanan belum berhenti. Ini dapat dipahami dengan mudah walau tanpa
menelaah, dengan adanya pertanyaan malaikat di alam barzakh dan ini
merupakan takliif (pembebanan). Sedangkan di halaman akhirat,
Allah Ta’ala berfirman:
يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ
Dan ini jelas sekali. Karena Allah Ta’ala menyuruh
makhluk-Nya untuk bersujud di hari kiamat kelak dan orang kafir ketika itu
dihalangi oleh Allah sehingga tidak mampu bersujud” (Thariqul Hijratain,
373).
Dan hadits-hadits banyak menyebutkan tentang adanya pembebanan di
hari kiamat, sebagaimana pada hadits-hadits yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim
dan Ibnu Katsir, serta ulama yang lain.
[Sampai di sini kutipan dari Kitab Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir ‘Indas Salaf (1/294)]
[Sampai di sini kutipan dari Kitab Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir ‘Indas Salaf (1/294)]
Kesimpulannya, di dunia mereka tetap dianggap sebagai orang kafir.
Jika meninggal tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak boleh dikubur di
pemakaman kaum muslimin. Namun tentang nasib mereka di akhirat kelak, pendapat
yang paling kuat, mereka akan diuji. Jika dapat melewati ujian tersebut mereka
akan masuk surga, jika tidak akan masuk neraka. Sebagaimana telah dipaparkan di
atas.
Demikian, semoga dapat dipahami. Semoga Allah menetapkan hati kita
di jalan-Nya.
—
0 komentar:
Posting Komentar