Uang
Lama ditukar Uang Baru, Riba?
BI
telah mengeluarkan uang baru. Katanya tukar menukar uang baru dengan uang lama
termasuk riba, apa benar demikian?
Jawab:
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada
6 barang yang diistilahkan dengan ashnaf ribawiyah (komoditas
ribawi). Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ
سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا
كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika
emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum
halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum
syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya
harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh
sesuka hati kalian asalkan tunai.” (HR. Muslim 4147).
Dalam
riwayat lain, Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ
يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى
فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika
emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan
gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan
kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan
dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan
transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada
dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)
Berdasarkan
hadis di atas,
Dari
keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:
[1]
Kelompok 1:
Emas
dan Perak. Diqiyaskan dengan kelomok pertama adalah mata uang dan semua alat
tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.
[2]
Kelompok 2:
Bur,
Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan
makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau
sagu.
Aturan
Baku yang Berlaku
Dari
hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
ketentuan
Pertama,
Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis,
Ada
2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas,
perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis
B, dst.
Dalam
hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
harus sama takarannya, sama ukurannya dan dari tangan ke tangan (tunai).
Dan
jika dalam transaksi itu ada kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ
زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa
menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik
yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Kedua,
jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok,
syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi
wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda
nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai.
Dalam
hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ
“Jika
benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan
tunai”
Ketiga,
jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok. Tidak ada aturan khusus
untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli
beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh
terhutang selama saling ridha.
Menukar
Uang Lama dengan Uang Baru
Oleh
karena itu, menukar uang lama dengan uang baru hukum asalnya boleh, selama
dilakukan secara tunai dan nilainya sama. Tidak boleh ada yang tertunda, dan
tidak boleh ada yang dilebihkan.
Termasuk
praktek yang salah, jika uang lama dilebihkan ketika ditukar dengan uang baru.
Misal, uang baru Rp 100.000 ditukar dengan uang lama Rp 110.000. Selisih
10.000 adalah riba.
Demikian, Allahu a’lam
Dijawab
oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar